naruto

naruto

Senin, 26 November 2012

pdk kayu harum51

Episode 51 “Suci, engkau selalu mendahulukan nafsu-nafsumu. Kau tahu aku tidak sudi memperhatikan pria!" Gadis ini membuang muka dan setelah Keng Hong memasuki kereta, barulah ia berkata, "Ambilkan selimut dan suruh dia menutupi tubuh belakangnya yang pantas!" Cui Im terkekeh dan berlarian ke kereta, mengambil selimut dan melemparnya ke arah Keng Hong. "Keng Hong, tutupi badanmu yang sebelah belakang rapat-rapat, kau membikin sumoi menjadi jijik, hi-hi-hik!" kemudian ia melompat ke atas di sebelah depan dan segera membalapkan empat ekor kuda setelah sumoinya pun melompat masuk dan duduk menghadapi Keng Hong dengan sikap tidak acuh. Dari luar terdengar suara seorang di antara Pak-san Su-liong. “Kalian tunggu saja! Suhu sendiri yang akan merampas tawanan itu!” Namun dua orang murid Lam-jai Sin-ni tidak mempedulikan teriakan mereka dan terus membalapkan kereta ke selatan. Kereta berguncang-guncang dan Keng Hong duduk anteng, matanya tak pernah terlepas dari wajah gadis di depannya. Ia menjadi makin kagum. Gadis ini amat lihai ilmu silatnya, jug awataknya jauh berbeda dengan watak Cui Im yang cabul dan suka mengumbar nafsunya. Gadis ini pendiam, bahkan sama sekali tidak pernah memperlihatkan kegembiraan. Betapapun juga dalam hal kekejaman dan keganasan, gadis baju putih ini mungkin sepuluh kali lebih ganas dari Cui Im, sungguhpun agaknya tidak berwatak licik dan curang seperti sucinya itu. Diam-diam dia membuat perbandingan. Yang manakah yang baik di antara kedua orang gadis ini? Cui Im hidup sebagai seorang yang ingin menikmati hidup sebanyaknya, selalu menuruti nafsunya tanpa mempedulikan sesuatu, hendak meraih kesenangan dunia sebanyaknya tanpa peduli dia akan dicap gadis cabul atau tidak. Pendeknya segala hal di dunia ini harus diarahkan demi kesenangan diri pribadi. Gadis seperti itu tentu saja tidak mempunyai kesetiaan terhadap siapapun kecuali dirinya sendiri. Akan tetapi gadis yang jauh lebih muda dan jauh lebih cantik juga lebih lihai yang duduk di depannya ini memiliki type tersendiri dan sukar sekali meraba-raba untuk mempelajari wataknya. Wajah cantik ini seolah-olah memakai kedok dari salju, begitu dingin dan sukar sekali dijenguk isi hatinya karena apa yang terkandung di dalam hati dan pikirannya sama sekali tidak mengubah kulit muka yang halus dan tetap dingin itu. Tiba-tiba saja muka yang jelita ini bergerak dan sepasang mata yang jernih bertemu dengan pandang matanya. Keng Hong terkejut dan tersipu, cepat mengalihkan pandangan matanya, pura-pura melihat pohon-pohon di pinggir jalan. "Engkau lapar?" Pertanyaan itu pun tiba-tiba dan halus merdu. Keng Hong mengangguk dan menjawab perlahan, "Haus....." "Namaku Biauw Eng, dan kau boleh memanggil aku dengan namaku." Keng Hong terkejut. Eh, kiranya ada juga sikap manis budi pada diri nona aneh ini. cepat dia mengangkat muka memandang, mengharapkan ada perubahan muka pada nona itu, perubahan muka yang wajar, yang tersenyum seperti halusnya ucapan yang dikeluarkan. Namun dia kecelik, wajah itu tetap dingin dan tenang, sama sekali tidak membayangkan sesuatu kehangantan. Ia menghela napas panjang dan berkata. "Memang aku lapar, dan terutama sekali haus, Biauw Eng." Song-bun Siu-li atau yang mengaku bernama Biauw Eng, dengan tenang mengambil bungkusan dari sebelah belakangnya, di atas tempat duduk kereta itu, membuka bungkusan dan mengeluarkan sebuah roti kering yang besar. Ia mematah-matahkan roti itu, membagi menjadi tiga, lalu memberi sebagian kepada Keng Hong, sebagian lagi ia lemparkan ke arah Cui Im sambil berseru, "Suci, silahkan makan!" dan dia sendiri lalu memulai makan bagiannya. Cui Im menggigit roti kering sambil tertawa dan berkata, "Sayang, sumoi. Seguci arak Ai-ang-ciu (Arak Merah Asmara) telah dihabiskan sekali teguk oleh bocah itu, hi-hi-hik!" Sepasang alis yang hitam itu berkerut sebentar, namun tidak cukup untuk membayangkan bagaimana perasaan Biauw Eng, apakah kecewa, ataukah marah, ataukah perasaan lain lagi. Hanya bibirnya yang tadi tertutup ketika dia mengunyah roti di dalam mulut, kini terbuka sedikit mengeluarkan kata-kata. "Aku masih ada persediaan air minum, jangan khawatir, suci." Tangan kiri meraih ke belakang dan gadis ini telah mengeluarkan sebuah guci yang mengkilap, berwarna putih, terbuat dari pada porselen yang amat indah. Melihat bahwa Keng Hong paling dulu menghabiskan rotinya, nona ini menyerahkan guci porselen kepadanya sambil berkata. "Minumlah dulu." Keng Hong menerima guci itu, memandang kagum lalu bertanya, "Mana cawannya?" "Hi-hi-hik! Keng Hong, kau selalu bersopan-sopan mencari cawan. Apa kau khawatir diracuni? Ah, jangan takut, sumoi selamanya tidak sudi main-main dengan racun dan segala macam racun yang dimasukan ke dalam guci pusaka itu akan lenyap pengaruhnya." Cui Im tertawa-tawa mengejek sehingga muka Keng Hong menjadi merah sekali. Ia hanya memegangi guci itu dan tidak minum, menanti sampai nona di depannya menghabiskan rotinya. Biauw Eng juga tidak peduli bahwa pemuda itu belum juga minum dari guci. "Kau minumlah dulu, nona Biauw Eng....." katanya memberikan guci itu. Sikap nona ini membuat Keng Hong tidak berani untuk menyebut namanya begitu saja, melainkan menaruh sebutan nona di depannya. Nona ini sikapnya seperti seorang puteri istana saja, begitu halus, angkuh namun dingin. Biauw Eng tidak menjawab, melainkan menerima guci itu, membuka tutupnya dan mengangkat guci ke atas mukanya yang ditengadahkan, lalu dituangnya air dari guci yang memancur memasuki mulutnya yang dingangakan. Keng Hong menelan ludah, bukan karena melihat orang minum atau melihat air yang amat jernih dan segarnya memasuki mulut orang, melainkan melihat mulut yang menggairahkan itu. Mulut yang terbuka, tampak giginya berderet putih, lidah meruncing merah sekali bergerak-gerak ketika kejatuhan air jernih , melihat rongga mulut yang segar kemerahan, yang membayangkan kesedapan dan kenikmatan. Keng Hong diam-diam bergidik dan tidak tahu dari mana datangnya perasaan ini yang timbul semenjak dia jatuh oleh godaan asmara Cui Im. Episode 52 Setelah gadis itu menyerahkan guci kepadanya, barulah dia sadar dan cepat menerima guci itu. Akan tetapi belum dia minum air itu, dia teringat kepada Cui Im. Keng Hong selama berada di Kun-lun-pai mempelajari tata susila, sopan santun dan telah membaca banyak kitab, maka sifat sopan santun sebenarnya telah meresap di hatinya. Kini teringat bahwa Cui Im belum minum, sungguh pun dia kini merasa muak kepada gadis itu setelah dia mengenal wataknya yang keji dan bahwa bujuk rayu yang amat mesra pada malam itu bukan timbul dari hati mencinta melainkan melainkan sebagai alat membujuk saja, namun dia merasa tidak enak kalau harus mendahului gadis itu minum airnya. "Kau minumlah dulu," katanya menyerahkan guci. Cui Im yang duduk di sebelah depan, memutar tubuhnya, memandang Keng Hong dengan mata genit lalu menerima guci, terus diteguknya seperti yang dilakukan sumoinya tadi. kemudian ia mengembalikan guci kepada Keng Hong dan ketika pemuda itu menerimanya, sejenak Cui Im membelai tangan pemuda itu dan mencubit lengannya penuh arti sambil terkekeh. Keng Hong cepat-cepat menarik tangan dan guci itu sambil melirik ke arah Biauw Eng. Namun gadis ini diam saja tidak bergerak-gerak, seolah-olah tidak melihat atau memang tidak peduli akan kecentilan sucinya.Keng Hong menghilangkan rasa kikuknya dengan menenggak iar dari dalam guci dan dia kagum sekali. Roti kering tadi amat enaknya, gurih dan agak manis, berbau sedap. Akan tetapi air ini lebih lezat lagi. Memang rasanya air biasa, namun mengandung keharuman buah apel dan amat sejuk dan segar. Tanpa bicara, dia mengambilkan guci kepada Biauw Eng yang segera menyimpannya kembali dan berkatalah Biauw Eng. "Kita perlu menghimpun tenaga karena kurasa masih banyak penghalang di depan." Setelah berkata demikian, nona baju putih itu melempangkan punggungnya, dan meramkan matanya, napasnya menjadi makin lambat sampai akhirnya seperti tidak bernapas lagi. Tahulah Keng Hong bahwa nona ini kembali telah melatih dirinya dengan samadhi dan ilmu Pi-khi-hoan-hiat. Ia memandang kagum. Setelah mata itu terpejam, tampak bulu mata yang merapat dan hitam panjang melentik. Jantung Keng Hong berdebar dan cepat-cepat dia menekan perasaannya ini. Untuk melawan gelora hatinya menghadapi nona yang luar biasa cantiknya ini, dia pun lalu memejamkan mata menghimpun tenaga? Untuk apa? Untuk membebaskan diri kalau kesempatan muncul, pikirnya. Kalau dia sudah mengikuti nona ini sampai bertemu dengan Lam-hai Sin-ni. Akan tetapi, setelah berhadapan dengan Lam-hai Sin-ni, betapa mungkin dia dapat membebaskan diri? Sedangkan nona Biauw Eng ini saja sudah demikian lihai dan tak mungkin dapat mengalahkannya, apalagi ibunya! Keng Hong diam-diam bergidik ngeri, akan tetapi dia sudah berjanji untuk membalas budi pertolongan nona itu, baru akan membebaskan diri. Hatinya tentram kembali dan Keng Hong pun segera "pulas" dalam samadhinya walaupun kereta itu melalui jalan yang tidak rata dan berguncang-guncang keras. Sampai malam tiba, tidak ada rintangan di jalan. Kereta di hentikan di sebuah gunung yang banyak terdapat gua-guanya dari batu. Setelah makan daging kelinci yang ditangkap oleh Cui Im dan minum air gunung, mereka mengaso di luar kereta, di dalam sebuah gua yang agak besar tak jauh dari situ. Cui Im sudah duduk mendekati Keng Hong, tangannya sudah mulai menggerayangi tubuh Keng Hong dan mulutnya membisikan kata-kata merayu, kadang-kadang hanya mengeluarkan suara seperti seekor kucing memancing belaian. Namun Keng Hong tidak memperdulikannya, bahkan menjadi gemas sekali. Ia merasa canggung dan malu sekali karena gadis ini tanpa malu-malu mengajaknya bermain cinta di depan Biauw Eng! Adapun gadis baju putih itu duduk bersila dan seolah-olah tidak melihat itu semua, tidak mendengar suara merintih-rintih dan meminta-minta yang keluar dari mulut sucinya. "Cui Im, mengapa kau tidak bisa diam? Jangan ganggu aku!" akhirnya Keng Hong berkata lirih dan mengibaskan tangan Cui Im. "Aihhh, mengapa engkau berubah, Keng Hong? Setelah berada di depan sumoi yang jauh lebih cantik dariku, engkau pura-pura tidak tahu.... hi-hi-hik, masih ingatkah malam mesra itu? Masih terasa olehku, Keng Hong..... ahhh....." "Cui Im, diamlah!" Keng Hong membentak, agak keras karena marah. Ia menyesal sekali sekarang mengapa malam hari dulu itu dia mau melayani gadis ini, pengalamannya yang pertama dia hanyutkan begitu saja bersama seorang gadis bermoral bejat seperti ini. Kalau Cui Im benar-benar mencintanya, dia pun tidak akan menyesal karena dia hanya ingin mengikuti jejak gurunya, melayani cinta kasih seorang wanita yang disukanya. Dan dia memang suka kepada Cui Im seperti rasa sukanya kepada segala yang indah. Kalau Cui Im tidak menggunakan daya tariknya sebagai seorang wanita hanya untuk membujuknya, kalau Cui Im tidak palsu cintanya, tentu dia selamanya akan mengenang pengalamannya dengan Cui Im sebagai kenangan yang manis. Sekarang, dia hanya akan mengenangnya sebagai sebuah kenangan yang memalukan dan menjijikan. "Suci, jangan ribut. Ada musuh-musuh datang.....!" Tiba-tiba Biauw Eng berkata halus dan ke dua orang itu merasa jengah sendiri mengapa mereka ribut-ribut saja sehingga tidak mendengar datangnya ancaman musuh. Ketika mereka berdua memandang keluar gua, benar saja, di bawah sinar-sinar bintang-bintang yang suram, tampak berkelebat bayangan belasan orang yang gesit dan ringan. Bagaikan bayang-bayangan setan, belasan orang itu menerjang kereta dan terdengarlah suara hiruk pikuk, suara senjata-senjata dipukulkan pada kereta sampai kereta itu hancur dan roboh, kudanya lari tidak karuan. Agaknya orang-orang itu menjadi marah karena mendapatkan kereta itu kosong, dan melampiaskan kemarahan mereka pada kereta kosong! "Kurang ajar! Mereka merusak kereta!" Cui Im berseru marah. "Tenang, Suci. Mari kita sambut mereka! Dan kau Keng Hong, jangan mencampuri urusan kami, kau tinggal saja di sini dan menonton." Biauw Eng sikapnya tenang sekali dan kini dia mengajak sucinya untuk keluar dari gua menyambut belasan orang yang sudah mendengar seruan Cui Im dan kini menyerbu ke arah gua. Keng Hong duduk saja bersila di dalam gua, membuka mata memandang bayangan-bayangan itu dan telinganya mendengar suara Biauw Eng yang halus merdu dan tenang. "Siapa di depan? Mau apa kalian dan mengapa merusak kereta? Di sini Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li!" Episode 53 Belasan sosok bayangan itu tiba-tiba berhenti bergerak, agaknya tertegun dan kaget mendengar nama-nama itu, kemudian terdengar suara. "Kami empat orang anak murid Hoa-san-pai, mewakili suhu-suhu kami Hoa-san Siang-sin-kiam untuk diminta diserahkannya tawanan yang bernama Cia Keng Hong!” Remang-remang tampak oleh Keng Hong bahwa empat orang yang berkelompok itu adalah tiga orang muda dan yang seorang gadis, kesemuanya memegang pedang. Teringatlah dia akan dua orang tokoh Hoa-san, yaitu Hoa-san Siang-sin-kiam yang bernama Coa Kiu dan Coa Bu, kakak beradik yang hebat ilmu pedangnya itu. Jadi empat orang ini murid-murid mereka? Tentu lihai ilmu silatnya. "Pinceng bertiga adalah murid-murid Siauw-lim-pai, mentaati perintah ketua kami untuk menangkap Cia Keng Hong!" Tiga orang hwesio gundul Siauw-lim-pai itu masing-masing memegang sebatang toya dan tampaknya mereka itu kuat-kuat. "Kami sembilan orang adalah murid-murid Kong-thong Ngo-lojin, mewakili suhu-suhu kami untuk membawa Cia Keng Hong ke Kong-thong-pai!" Sembilan orang ini pun masih muda-muda dan kalau tidak keliru penglihatan Keng Hong dalam gelap itu, terdiri dari enam orang pemuda dan tiga orang pemudi, dengan senjata bermacam-macam, ada pedang, golok, tombak pendek, ruyung dan cambuk saja. Diam-diam Keng Hong menjadi gelisah. Betapapun lihainya Cui Im dan Biauw Eng, mana mungkin dapat menang menghadapi pengroyokan enam belas orang yang kesemuanya adalah murid-murid tokoh besar yang sakti? Namun, baik Cui Im maupun Biauw Eng bersikap tenang-tenang saja, bahkan kini terdengar suara Biauw Eng yang halus dan dingin, mengandung ejekan dan tantangan. "Cia Keng Hong adalah tangkapan yang berada di kekuasaan kami sebagai wakil dari Lam-hai Sin-ni. Tak seorang pun boleh mengganggunya. Kalian ini murid-murid tokoh besar di dunia kang-ouw, sungguh tak tahu malu telah merusak kereta kami. Kalau memang hendak menggunakan kekerasan, majulah , kami berdua tidak gentar menghadapi kalian!" "Omitohud, kiranya Song-bun Siu-li masih seorang bocah yang mulutnya sombong sekali!" bentak seorang murid Siauw-lim-pai yang sudah menerjang maju dengan toyanya, diikuti dua orang sutenya. Yang lain-lain juga segera berseru keras dan menerjang maju, mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng. Dua orang gadis murid Lam-hai Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi dan tampaklah gulungan sinar pedang merah dari tangan Cui Im yang amat gemilang, disusul gulungan sinar putih sabuk sutera Biauw Eng yang lebih gemilang dan lebar lagi. Pertandingan berlangsung dengan seru di malam yang remang-remang itu. Tingkat kepandaian dua orang murid Lam-hai Sin-ni sesungguhnya lebih tinggi daripada tingkat kepandaian murid-murid Siauw-lim-pai, Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai itu, apalagi Biauw Eng. Kiranya kalau hanya menghadapi pengeroyokan lima orang lawan saja, Biauw Eng masih ada harapan untuk menang. adapun takaran lawan Cui Im kiranya hanya dua atau paling banyak tiga orang lawan saja. Kalau mereka dikeroyok tujuh atau delapan orang, barulah ramai dan seimbang. Akan tetapi kini yang mengeroyok mereka adalah enam belas orang! Tentu saja kedua orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi terdesak hebat sehingga terpaksa mereka itu harus saling bela dengan cara berdiri beradu punggung dan memutar senjata secepat mungkin untuk menangkis hujan senjata yang menimpa mereka.Sekali ini pun sabuk sutera putih di tangan Biauw Eng berjasa lagi karena sabuk yang panjang itu selain dapat melindungi tubuhnya sendiri, juga dapat membantu sucinya yang mulai repot. Bahkan beberapa kali Cui Im mengeluarkan teriakan marah ketika betis kirinya dan pangkal lengan kanannya tercium ujung senjata lawan sehingga bairpun bukan merupakan luka parah, namun cukup merobek baju dan kulit mengeluarkan darah. "Nona berdua sebaiknya menyerah saja. Kami tidak bermusuhan dengan nona berdua, juga tidak ingin membunuh. Kami hanya ingin menawan Cia Keng Hong karena guru-guru kami mempunyai urusan dengan dia sebagai wakil gurunya yang sudah berdosa terhadap partai kami," terdengar seorang pemuda murid Hoa-san-pai berkata nyaring. "Mulut besar!" bentak Cui Im. "Keng Hong adalah tawanan kami, kalau kalian dapat membunuh kami, baru boleh bicara tentang menawan Keng Hong!" "Bagus! Memang kaum sesat selalu nekat dan mau menang sendiri!" teriak seorang murid Kong-thong-pai dan kepungan diperketat, serangan diperdahsyat sehingga dua orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi makin repot melindungi tubuh mereka dari cengkraman maut. Kini cuaca mulai makin terang karena bulan sepotong yang munculnya sudah malam itu mulai memuntahkan sinarnya. Keng Hong yang menyaksikan pertandingan itu menjadi gelisah. Ia maklum bahwa kedua orang nona itu sudah pasti akan roboh, kalau tidak tewas sedikitnya tentu terluka hebat. Ia sedang mempertimbangkan pendiriannya. Harus berfihak yang mana? Fihak enam belas orang itu memiliki pamrih yang sama, yaitu menawannya dan memaksanya menunjukan tempat simpanan pusaka gurunya seperti juga guru-guru mereka dahulu memperebutkan Siang-bhok-kiam adalah untuk mencari pusaka gurunya itu. Sebaliknya, fihak kedua, dua orang murid lam-hai Sin-ni itu pun sama juga. Jelas bahwa kedua fihak itu tidak ada yang bermaksud baik terhadap dirinya.dan dia merasa kasihan kepada dua orang gadis itu yang dianggapnya berada di fihak yang harus dia bantu. Dua melawan enam belas. Mana adil? Pula, pantaslah kalau dia kini berpeluk tangan saja menyaksikan gadis itu terancam bahaya? Bagaimana tindakan suhunya kalau suhunya menjadi dia? Pernah suhunya menasehatinya. "Kalau menolong orang, tolonglah saja berdasarkan perasaan hatimu. Jangan menengok latar belakangnya, jangan mengingat keadaannya, jangan pula memperhitungkan urusannya. Kalau kau merasa kasihan dan ingin menolong, tolonglah tanpa ada perasaan pamrih lainnya. kalau tidak ada rasa kasihan dan ingin menolong seperti itu, lebih baik kau tinggalkan tidur dan tidak perlu melibatkan diri dengan urusan orang lain." Keng Hong segera bangkit berdiri. Mingkinkah dia membiarkan saja dua orang gadis itu tewas? Tidak! Biarpun dia tidak suka kepada Cui Im, merasa sebal menyaksikan tingkah laku gadis itu, namun harus dia akui bahwa dia telah mengalami kesenangandengan gadis itu dan dia merasa tidak tega kalau melihat Cui Im tewas di ujung senjata banyak lawan yang mengeroyoknya. Apalagi terhadap Song-bun Siu-li yang bernama Biauw Eng. Gadis ini pernah membebaskannya dari kematian di ujung pedang Cui Im. Tentu saja dia tidak tega membiarkannya mati dikeroyok. Keng Hong melompat ke dekat tempat pertempuran, sebelah tangannya memegang sebatang ranting, dan dia berseru. Episode 54 "Cia Keng Hong berada di sini! Siapa yang hendak menangkap aku, majulah! Mengeroyok anak-anak perempuan kecil, apa tidak malu?" "Keng Hong, tutup mulutmu yang sombong!" Cui Im memaki marah karena dikatakan anak perempuan kecil, juga ia menjadi gelisah karena sekali. Keng Hong keluar, terbukalah kesempatan bagi para pengeroyok untuk melarikan pemuda itu. Benar saja. Mendengar teriakan ini, sebagian besar para pengeroyok meninggalkan dua orang gadis itu dan mengejar Keng Hong! Kini yang mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng hanya tinggal enam orang saja, yaitu seorang hwesio siauw-lim-pai, dua orang murid Hoa-san-pai, dan tiga orang murid Kong-thong-pai. Adapun yang sepuluh orang sudah lari dan berebutan menubruk Keng Hong dengan tangan kosong karena mereka ingin menangkap pemuda itu hidup-hidup seperti yang diperintahkan guru masing-masing. Akan tetapi tubrukan mereka itu disambut sinar yang bergulung-gulung dari ranting yang diputar oleh Keng Hong. Terdengar bunyi plak-plik-pluk ketika ranting di tangan Keng Hong itu menyambet-nyambet mereka, ada yang terkena pipinya, ada yang terkena lehernya atau lengannya. Mereka berseru kaget dan meloncat mundur, tidak mereka sangka bahwa sabetan ranting bisa mendatangkan rasa nyeri yang begitu hebat. Tahulah mereka bahwa murid Sin-jiu Kiam-ong ini tidak boleh dianggap remeh. Mereka kini maju lagi dan mulai mengirim pukulan, sungguhpun hal ini masih dilakukan dengan tangan kosong karena mereka ingin menangkapnya hidup-hidup. Melihat datangnya pukulan-pukulan ini, Keng Hong menggerakan rantingnya lagi. Namun dia merasa kaku sekali untuk mainkan Siang-bhok Kiam-sut dengan ranting itu dalam menghadapi pengeroyokan begini banyak orang. Hujan pukulan dan cengkraman itu ada yang dapat ditangkisnya, namun ada pula yang mengenai tubuhnya, bahkan kini selimut penutup tubuh belakangnya sudah terlepas, bajunya yang kena dicengkram juga mulai robek-robek. Timbulah kemarahan di hati Keng Hong. "Kalian nekat, ya?" bentaknya dan ketika seorang hwesio Siauw-lim yang memiliki sinkang paling kuat mencengkram ke arah pundaknya dengan ilmu cengkraman Eng-jiauw-kang (Cengkraman Kuku Garuda), dia cepat mengulur tangan kanannya memapaki cengkraman itu sehingga kedua telapak tangan itu bertumbukan di udara. "Plakkk!!" Hwesio Siauw-lim-pai itu kaget bukan main, merasa betapa lengannya tergetar dan panas. Cepat dia berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi sia-sia saja, tangannya sudah melekat dengan tangan pemuda itu dan alangkah kaget hatinya ketika merasa hawa sinkang dari tubuhnya berserabutan keluar dari tubuh melalui tangannya itu, disedot oleh telapak tangan Keng Hong! Hwesio itu mengeluarkan teriakan-teriakan aneh dan teriakan-teriakan ini disusul teriakan-teriakan lain ketika banyak tangan sudah menempel di tubuh Keng Hong tanpa dapat ditarik kembali! Ada enam orang di antara para pengroyok yang kini telapak tangannya menempel di tubuh Keng Hong dan sinkang mereka membocor terus disedot oleh tubuh pemuda yang luar biasa ini. Yang menjadi paling bingung dan juga jengah sekali adalah seorang murid perempuan Kong-thong-pai dan seorang murid perempuan Hoa-san-pai. Mereka ini adalah dua orang gadis muda yang cantik dan gagah , kini mereka mebetot-betot kedua tangan mereka tanpa hasil, padahal mereka tadi yang menyerang dari belakang dan tangannya menempel pada pingul Keng Hong yang telanjang seadngkan yang seorang lagi tangannya menempel pada leher pemuda itu. Dilihat begitu saja seolah-olah mereka ini sedang main gila, sedang main raba dan colek terhadap tubuh si pemuda! Empat orang gagah yang lain ternganga keheranan, akan tetapi sebagai murid-murid orang sakti mereka ini dapat menduga bahwa si pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong tentu menggunakan ilmu siluman sehingga teman-teman mereka melekat seperti itu. Seorang hwesio Siauw-lim-pai segera berkata. "Kita kumpulkan sinkang, dan berbareng kita membetot!" Ia lalu memegang tangan teman-temannya yang belum tersedot sinkangnya, kemudian mereka lalu memegang pundak mereka yang tersedot, dan mengerahkan kekuatan secara berbareng untuk menarik. Agar dapat menarik berbareng, hwesio itu memberi aba-aba. "Satu..... dua..... tiga tarik!!" Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka ketika tiba-tiba saja tangan empat orang yang lain ini pun amblas seperti air dicampurkan ke dalam lautan! Jangankan menarik teman-teman yang sudah melekat , menarik diri sendiri pun tidak sanggup lagi karena tenaga mereka yang dipergunakan untuk menarik itu tidak mendapatkan tempat berpijak melainkan molos terus mengalir masuk ke dalam tubuh yang mereka pegang terus mengoper hawa sinkang ini melalui tubuh Keng Hong! Keng Hong sendiri pun mulai bingung. Seperti yang pernah dia alami di Kun-lun-pai,sekarang pun dia merasa betapa tubuhnya kebanjiran hawa sinkang, dadanya serasa hampir meledak-ledak, kepalanya seperti menjadi sebesar gentong beras, berdenyut-denyut, maranya merah dan hampir terloncat keluar dari pelupuknya, seluruh tubuh terasa berdenyutan dan gatal-gatal panas. Biarpun sinkang sepuluh orang ini masih belum menyamai sinkang Kiang Tojin dan beberapa orang sutenya, namun bagi Keng Hong tetap saja merupakan siksaan yang hebat dan dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa untuk melepaskan mereka. Ia maklum, bahwa sekali dia mengerahkan tenaga yang mendesak-desak ini untuk mengibaskan mereka, akibatnya tentu hebat seperti yang pernah dia lakukan di Kun-lun-san. Akn tetapi pada waktu itu, yang dia robohkan hanyalah belasan batang pohon-pohon raksasa. Sementara itu setelah kini Cui Im dan Biauw Eng hanya dikroyok enam orang lawan, mereka sebentar saja dapat merobohkan semua lawan itu. Cui Im merobohkan dua orang dengan pedangnya Biauw Eng membuat empat orang lainya terguling. Kini dua orang gadis itu berdiri melongo memandang Keng Hong yang digelut oleh sepuluh orang! Memang amat aneh pemandangan ini. Keng Hong berdiri dengan tubuh menggigil di tengah-tengah, sedangkan sepuluh orang itu menggeluti tubuhnya, banyak yang diam tak brgerak, ada yang masih mencoba untuk membetot-betot, namun semuanya tidak berhasil dan terdengarlah keluhan dan rintihan putus asa keluar dari mulut sepuluh orang itu. Episode 55 "Itulah, Sumoi. ilmunya yang mujijat, menyedot sinkang orang seperti yang kuceritakan kepadamu..... heiii! Sekarang tahu aku mengapa sinkangku lenyap sebagian besar! Kiranya malam itu .... dia.... dia telah menyedot hawa sakti tubuhku, kurang ajar!" Cui Im memaki. "Heran betul. Benarkah dia bisa memiliki Thi-khi-i-beng? Menurut ibu, di dunia ini tidak ada lagi yang mengerti ilmu itu. Ibu sendiri hanya mengerti sedikit. Bocah ini hebat, Suci. Kalau didiamkan saja, sepuluh orang ini tentu mati semua dan ibu tidak akan senang kalau kita menanam bibit permusuhan dengan partai-partai persilatan besar. Hayo kita lepaskan mereka." "Mana mungkin, sumoi? Jangan-jangan kau akan ikut tersedot! Hiiihhhh..... ilmu setan yang mengerikan!" "Aku mengetahui caranya, suci." "Kau? Kalau begitu subo telah mengajarmu ilmu ini? Ah, mengapa aku tidak diberi tahu sama sekali?" Cui Im bertanya dengan cara mencela, penuh iri. "Hanya mengerti cara membebaskannya, sama sekali aku pun tidak tahu akan ilmu ini. Kalau kau menguasainya, alangkah banyaknya orang-orang yang kausedot habis!" Biauw Eng lalu memunggut cambuk kuda dari atas tanah di dekat kereta yang sudah hancur. "Kau pergunakan cambuk ini. Jangan sekali-kali pergunakan tanganmu untuk menyentuh mereka. Kalau kau sudah menotok pergelangan tangan Keng Hong, kau pergunakan ujung cambuk untuk membetot tangan-tangan yang menempel di tubuhnya. Mengerti?" Cui Im mengangguk dan mereka lalu menghampiri sebelas orang yang brgelut tanpa bergerak sambil berdiri itu. Biauw Eng lalu memutar sabuk sutera putihnya ke atas, terdengar suara berdetak-detak kemudian kedua ujung sabuk itu menyambar ke depan , tepat menotok pergelangan kedua tangan Keng Hong. Dan pada saat itu, selagi Keng Hong merasa seolah-olah kedua lengannya lumpuh dan saluran hawa sakti yang membanjir ke tubuhnya terhenti, Cui Im sudah menggerakan cambuknya melihat tangan-tangan yang menempel di tubuh Keng Hong lalu membetot sekuatnya. Biauw Eng juga mengunakan sabuk suteranya melakukan hal sama sehingga dalam beberapa detik saja sepuluh orang itu telah terjengkang roboh dan sambil mengeluh mereka itu cepat duduk bersila sambil mengatur napas untuk memulihkan, atau setidaknya mendapatkan sedikit tenaga sehingga mereka tidak roboh pingsan terus tewas. Keng Hong yang terlepas daripada kebanjiran hawa sinkang, berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seperti orang mabuk. Ia memang persis seperti orang mabuk arak, bahkan ketika dia berjalan menghampiri Cui Im dan Biauw Eng, dia berjalan dengan kedua kaki diseret, seolah-olah kedua kakinya menjadi kaku dan kejang, kedua lengannya tergantung kaku pula di kanan kiri, matanya yang memandang dua orang gadis itu dikejap-kejapkan karena dalam pandang matanya yang berkunag-kunang, dua orang gadis itu kini berubah menjadi empet! Ia mengusahkan diri untuk tersenyum dan mengucapkan terima kasih, akan tetapi enyumnya berubah menjadi menyeringai menakutkan, dan pandang matanya menjadi liar sehingga Cui Im dan Biauw Eng yang amat lihai itu pun sampai mudur-mundur ketakutan! "Heh-heh-heh, terima kasih..... terima kasih Ji-wi Siocia (Nona Berdua) yang telah membebaskan diriku dari.... hemmm..... lintah-lintah itu....!" Biauw Eng memandang tajam dan berkata halus, "Keng Hong, kausimpanlah kembali ilmumu menyedot sinkang itu." Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa.... tidak bisa....., disimpan bagaimana? Terlalu penuh tubuhku.... dadaku sakit, kepalaku mau meledak...., tenaga ini, mendorong-dorongku..... ahhh.....!" Ia memegangi kepalanya dan meramkan kedua matanya. Ingin dia memukul, menendang, ingin dia merobohkan apa saja, dan keinginan ini timbul secara serentak, mendesak kepadanya menjadi seorang liar yang memuaskan nafsu untuk merobohkan dan membunuh, apa saja. Enam belas orang yang telah terluka semua itu, akan tetapi tidak ada yang tewas karena kedua oang gadis itu memang tidak bermaksud membunuh mereka agar jangan mendatangkan bibit permusuhan kini juga memandang ke arah Keng Hong dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Keadaan pemuda itu memang menyeramkan. Tidak saja mukanya menjadi merah seperti udang direbus, dan matanya jelalatan seperti mata setan, akan tetapi bahkan rambut kepalanya seperti berdiri satu-satu. Tanpa disadari dan dimengerti oleh Keng Hong sendiri, setelah kini tidak ada sinkang orang lain yang membanjiri tubuhnya, otomatis daya sedotnya lenyap dan kini sebaliknya berubah menjadi daya serang yang amat luar biasa. Memang sebetulnya ketika Sin-jiu Kiam-ong mengoper sinkangnya kepada Keng Hong, kakek ini tidak sempat lagi untuk memberi pelajaran tentang menguasai sinkang yang kelebihan di dalam tubuh muridnya. Karena paksaan ini, terjadilah salah susunan salah kerja sehingga sinkang yang membanjiri ke dalam tubuh pemuda itu menjadi liar, ibarat ia ditampung tanpa ada pintu untuk memasukan dan mengeluarkan air, datangnya membanjiri secara liar. Kalu saja Keng Hong sudah dapat mengusai dirinya sendiri, tentu dia akan dapat mengatur sehingga hawa yang masuk disesuaikan dengan tempatnya, dan dapat pula mengatur bagaimana untuk menbuka pntu mengeluarkan sinkang dalam penggunaan sesuai dengan keperluannya. Kini, setelah secara liar hawa sinkang membanjiri masuk, keadaannya menjadi terbalik. Pintu masuk tertutup dan pintu keluar sukar dibuka kalau tidak dipaksa dengan pukulan dan tendangan, tidak dipaksa untuk bertanding! Maka hawa pun mendesak-desak dan membuat tubuhnya seperti sebuah balon karet yang terlalu penuh diisi hawa, siap untuk meletus setiap saat. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Belasan ekor kuda mendatangi dari depan menuju ke tempat itu. Binatang-binatang itu adalah binatang tunggangan para murid ketiga partai persilatan itu yang tadi meninggalkan kuda mereka di dalam hutan sebelah agar mereka dapat mengepung kereta tanpa mengeluarkan suara. Kini belasan ekor kuda itu berlari-larian karena dikejutkan oleh serangan seekor harimau, dan dalam keadaan panik belasan ekor kuda itu lari menerjang ke arah orang-orang yang sedang terheran-heran memandang ke arah Keng Hong dengan mata terbelalak. Biarpun mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun pada waktu itu mereka sedang menderita luka dan sebagian besar hampir habis tenaga sinkangnya tersedot oleh Keng Hong, maka kini menghadapi pasukan kuda yang menerobos liar ini mereka tak sempat untuk menghindarkan diri. Dan jangan dianggap remeh rombongan kuda yang sedang panik dan ketakutan ini. Mereka akan menerjang apa saja dan akan menginjak-nginjaknya sampai lumat!

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger