naruto

naruto

Jumat, 30 November 2012

harum 324--329

Episode 324 Hanya beberapa menit saja berlangsungnya pertandingan yang berat sebelah itu, seperti seekor burung garuda dikeroyok dua belas ekor anak ayam! Kini Yan Cu berdiri tegak dengan kedua tangan masih siap menghadapi pengeroyokan selanjutnya, matany mengerling ke kiri kanan penuh kemarahan. Akan tetapi, ketika ia mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang lagi yang menyerangnya kecuali tiga belas batang tubuh yang berserakan di sekelilingnya, sebagian besar sudah mati dan yang masih bergerak hanya mereka yang sedang sekarat berkelojotan, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas. Muka gadis itu menjadi agak pucat. Belum pernah selama hidupnya ia melakukan pembunuhan massal seperti ini. Ia merasa ngeri dan bergidik memandangi korban-korban kemarahannya. Kemudian ia melangkah pergi meninggalkan tempat yang menimbulkan kengerian itu, melangkah pergi dan tak terasa begitu teringat kepada Keng Hong ia menangis lagi sambil berjalan. Makin berduka hatinya karena kalau saja ada Keng Hong, kiranya dia tidak akan mengalami peristiwa tadi dan tidak harus membunuhi orang, sungguhpun orang-orang yang dibunuhnya itu adalah orang-orang yang jahat. "Keng Hong suheng....! Mengapa engkau mau saja ditawan......? Suheng..... Keng Hong.......... mengapa engkau begitu lemah..........?" Orang yang sejak tadi membayanginya, di dalam persembunyiannya tadi terbelalak heran dan kagum menyaksikan sepak terjang gadis itu yang dalam segebrakan saja merobohkan setiap orang perampok dan dalam waktu singkat sekali membunuh tiga belas orang perampok kasar! Hal ini sungguh amat tidak disangka oleh si pengintai, dan membuat dia makin tertarik maka kini pun diam-diam dia membayangi gadis cantik itu yang pergi sambil menangis. Keluhan Yan Cu itu perlahan, akan tetapi saking sedihnya, ketika menyebut nama suhengnya, suara Yan Cu mengeras sehingga terdengar oleh pengintai itu. Si pengintai kaget sekali mendengar disebutnya nama Keng Hong, selain kaget juga gembira karena dia segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan sekali meloncat saja pengintai ini telah berada di depan Yan Cu. *** Yan Cu sedang berduka, namun pendengarannya amat tajam. Ia mendengar gerakan orang dan cepat mengangkat muka memandang. Melihat bayangan berbaju hijau berkelebat. Yan Cu bersikap waspada, dapat menduga bahwa ada orang pandai muncul dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan gerombolan perampok yang terdiri dari orang-orang kasar tadi. Tentu yang datang ini adalah pemimpin perampok yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi sekali ini Yan Cu kecelik dan ia memandang pemuda yang berdiri di depannya itu dengan mata terbelalak dan pandang mata terheran. Yang berdiri di depannya adalah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah sekali, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, berpakaian warna hijau dengan model sastrawan, sikapnya halus dan pemuda itu berdiri sambil memberi hormat kepadanya. Pemuda itu adalah Yap Cong San, jago muda dari Siauw-lim-pai. Setelah pemuda ini menerima dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab I-kiong-hoan-hiat dan Seng-to Cin-keng, dari tangan Keng Hong, pemuda ini membawa dua buah kitab itu kepada suhunya. Tiong Pek Hosiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua, menerima dua buah kitab itu dengan girang sekali. Ketika kakek sakti ini mendengar penuturan muridnya tentang Keng Hong dan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, dia lalu menyuruh muridnya pergi menyusul Keng Hong dan membantu Keng Hong menghadapi wanita jahat itu sebagai pernyataan terima kasih dan membalas budi Keng Hong yang sudah mengembalikan dua buah kitab, dan juga untuk menghukum Cui Im atas kematian Thian Ti Hwesio. Demikianlah sebabnya mengapa kini tiba-tiba muncul Cong San di tempat itu dan secara kebetulan Cong San melihat Yan Cu dan amat tertarik hatinya. Begitu mendengar gadis itu menyebut nama Keng Hong, tentu saja cepat meloncat keluar dan menemuinya. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika baru saja dia muncul dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, belum sempat mulutnya bicara, dara jelita yang mengguncangkan hatinya itu telah menerjangnya maju dan menyerangnya dengan pukulan maut! Gerakan Yan Cu amat cepatnya dan pukulan tangan kanan yang meluncur ke arah dada kiri Cong San itu mengandung tenaga sinkang yang mengeluarkan angin keras! "Ehhh...... jangan sekarang, Nona.......!" Cong San cepat mengelak sambil berseru keras. Sepasang mata yang bening itu berkilat. Melihat wajah tampan itu tersenyum kepadanya, Yan Cu makim marah, menganggap bahwa pemuda yang ternyata benar lihai dan dapat mengelak pukulannya secara mudah itu tentu hendak berkurang ajar pula kepadanya, maka ia hanya membentak, "Datuk perampok, kau pun harus dibasmi!" Lalu ia menerjang pula, sekali ini dengan pengerahan kecepatannya sehingga secara bertubi kepalan tangan kanannya menonjok perut, disusul tangan kiri mencengkeram ke arah hidung, kemudian dibarengi kedua kakinya melakukan tendangan berantai kanan kiri mengarah pusar dan lutut! Cong San makin terkejut. Serangan ini benar-benar amat berbahaya! Pukulan ke perut terpaksa dia tangkis sambil mengerahkan tenaga lunak karena dia tidak ingin mengadu tenaga keras lawak keras khawatir melukai lengan berkulit halus itu, akan tetapi cengkeraman pada hidungnya membuat dia kaget dan cepat dia miringkan kepala, dan ketika dua tendangan susul-menyusul menyambar, dia berseru kaget, "Wah, galak.....!" Dan terpaksa dia meloncat ke belakang menghindarkan diri. Yan Cu menjadi penasaran dan marah sekali. Lupa ia akan kesedihannya karena kini kemarahan menguasai hatinya dan membuat ia lupa segala. Dengan muka merah dan mata berapi ia menudingkan telunjuknya ke arah hidung Cong San sambil memaki, "Kau bilang aku galak? Memang aku galak, akan tetapi engkau ceriwis, cabul, tidak sopan, jahat dan keji, tukang merampok dan memperkosa........" "Wah, wah....... cukup, Nona! Aku bukan orang jahat.....!" Cong San menangkis dengan kata-kata menyangkal sambil bersikap waspada karena agaknya nona yang amat jelita ini pun amat galak. Yan Cu tertawa mengejek. Serrrrr! Jantung Cong San membuat loncatan salto di dalam rongga dadanya dan agaknya terbanting kembali dalam keadaan terbalik karena debar jantungnya kini sampai terdengar oleh telinganya, amat keras! Melihat wajah itu tertawa benar-benar membuat dia terpesona, apalagi kini melihat mulut yang biarpun tertawa mengejek masih terlalu manis tampak olehnya itu mengeluarkan kata-kata, membuat pandang matanya seolah-olah melekat pada sepasang bibir yang bergerak-gerak itu, "Tidak jahat? Engkau mengintai aku secara sembunyi, masih bilang bukan orang jahat? Hayo katakan, mengapa engkau mengintai dan membayangiku!" Episode 325 Sampai lama Yan Cu menanti, pemuda itu tidak menjawab, hanya melongo memandang mulutnya. Memang Cong San tidak mendengar ucapan dan pertanyaan tadi. Pemuda ini masih terpesona, seperti melayang semangatnya, debar jantungnya yang keras membuat telinganya terngiang-ngiang dan tidak dapat menangkap kata-kata Yan Cu. Bagaimana mungkin ada mata seindah itu? Cong San bukan seorang pemuda mata keranjang. Jauh daripada itu. Selama berada dalam gemblengan Tiong Pek Hosiang di Siauw- lim-si, kakek ini selain mengajarkan ilmu silat tinggi, juga mengajarkan kebatinan dan karena itu dia tidak pernah memikirkan wanita. Karena batinnya yang kuat dan dasar susilanya tebal, tidaklah mudah kecantikan wanita menggiurkan hati pemuda jago Siauw-lim-pai ini. Akan tetapi, sekali ini berhadapan dengan Yan Cu, dia benar-benar terpesona dan kehilangan akal, seolah-olah matanya menjadi silau seperti langsung memandang cahaya matahari di tengah hari! "Heiii! Jawab pertanyaanku!!" Yan Cu membentak makin marah. "Eh.....! Ohhh.....! Apa..... apa yang kau kehendaki, Nona?" Cong San bertanya gugup. Akan tetapi karena tidak ingin mendapat kesan buruk, otomatis pemuda ini tersenyum ramah. Kembali Yan Cu menganggap senyum yang membuat wajah itu makin tampan sebagai senyum kurang ajar, seperti senyum kepala rampok tadi. Kemarahannya memuncak dan ia memaki, "Cengar-cengir seperti monyet kurang ajar!" Dan serta merta gadis ini sudah mencabut sebatang pedang. Tampak sinar berkilat dan ketika pedang itu digerakan menyerang Cong San, terdengar bunyi berdesing dan pedang berubah menjadi gulungan sinar putih menyilaukan mata. Gulungan sinar ini berkelebat menyambar dan hendak "mengalungi" leher Cong San! Tentu saja pemuda ini kaget setengah mati, dan cepat mengelak. Kalau lehernya dikalungi rangkaian bunga atau lebih hebat lagi dikalungi kedua lengan berkulit halus nona itu, tentulah amat menyenangkan. Akan tetapi dikalungi pedang! Tujuh kali berturut-turut sinar pedang menyambar, akan tetapi dengan cekatan dan tubuh ringan sekali Cong San dapat mengelak. Dia amat terkejut menyeksikan kehebatan gerak dan serangan yan Cu, akan tetapi lebih kaget dia mengenal pedang itu. "Pokiam (pedang pusaka) Hoa-san-pai.....!" Ia berseru ketika untuk ketujuh kalinya dia meloncat tinggi ke belakang untuk menghindarkan babatan pedang kepinggangnya. Memang Yan Cu telah mencabut pedang pusaka Hoa-san-pai yang oleh Keng Hong diserahkan kepadanya brsama pusaka-pusaka yang lain. Ia menahan serangnya, sebagian karena kagum sekali menyaksikan betapa pemuda itu dengan tidak banyak kesukaran dapat menghindarkan serangan-serangannya, dan sebagian lagi karena tertarik mendengar seruan yang menyatakan bahwa pemuda ini mengenal pokiam dari Hoa-san-pai. "kau mengenal Hoa-san Po-kiam? Dan masih tidak cepat-cepat minggat dari sini?" bentaknya. *** Cong San cepat memberi hormat, bersoja, tanpa dibalas oleh Yan Cu, "Nona, harap maafkan, aku bukan orang jahat......" Yan Cu membanting-banting kakinya tak sabar. "Sudahlah, berapa kali kau hendak bilang bahwa kau bukan orang jahat? Seperti penjual kecap saja yang memuji-muji dagangan sendiri! Kau jahat atau baik, apa hubungannya dengan aku? Apa kau mau mencari muka dengan memuji-muji diri sendiri?" "Wah...... wah.....!" Cong San tak dapat bicara, menelan ludah dan mukanya menjadi merah sekali. "Masih wah-wah-weh-weh mau apa lagi? Pergilah dan jangan mengganggu aku, dan jangan pula membayangiku!" Akan tetapi Cong San masih belum pergi, menoleh pun tidak melainkan menunduk karena masih mengatur napasnya yang tidak karuan. "Mau apa lagi?!" Yan Cu membentak, pedang di tangannya siap menyerang. "Maaf, Nona. Aku...... aku memang bersalah, membayangimu karena aku tadi melihat kau berjalan sambil menangis. Kemudian muncul perampok-perampok itu...... dan aku kagum melihat betapa engkau merobohkan mereka........." "Hemmmm...... dan kau diam saja, ya? Laki-laki apa ini? Melihat seorang wanita diganggu perampok malah menonton gratis. Senang, ya? Pertunjukan menarik, ya? Sudahlah, aku jemu mendengar dongengmu, Pergilah!" "Maaf......." Yan Cu membanting kakinya lagi. "Maaf....... maaf....... apa kaukira aku ini tempat orang minta maaf? Kalau mau minta maaf, pergilah ke kelenteng menebus dosa!" Cong San makin guguk. Ia harus cepat menjelaskan, kalau tidak bisa berabe benar berurusan dengan gadis jelita yang galak ini. "Begini, Nona. Aku sama sekali tidak bermaksud kurang ajar. Melihat sepak terjangmu terhadap perampok-perampok itu, bagaimana aku berani lancang turun tangan? Seratus orang seperti mereka masih tidak akan sanggup mengganggumu. Aku sudah hendak pergi, akan tetapi aku tertarik mendengar engkau menyebut nama Keng Hong. Cia Keng Hong adalah sahabat baikku, dan aku justeru sedang pergi mencarinya. Dapatkah engkau menunjukan di mana adanya sahabat Cia Keng Hong?" Tiba-tiba timbul harapan di hati Yan Cu. Setelah agak lama melihat pemuda ini, ia pun merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang jahat dan kini mengaku sebagai sahabat suhengnya. Agaknya pemuda ini pun lihai sekali. Kalau pemuda ini membantunya menghadapi Biauw Eng dan Hun Bwee, kiranya mereka berdua akan dapat membebaskan Keng Hong! Akan tetapi ia masih belum yakin benar. Biauw Eng amat lihai, juga Hun Bwee wanita gila itu lihai sekali. Dia akan mencoba dulu! "Tidak percaya! Engkau tentu akan mencelakakan suhengku Cia Keng Hong!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah menerjang maju lagi dengan Hoa-san Po-kiam, mengirim serangan hebat. Cong San kaget. Bukan hanya oleh serangan ini, akan tetapi mendengar pengakuan gadis ini sebagai adik seperguruan Keng Hong. Dia cepat mengelak akan tetapi sinar pedang yang putih menyilaukan mata itu terus mendesaknya. Biarpun dia merasa yakin akan dapat mengatasi gadis lihai ini, namun dengan tangan kosong menghadapi amukan pedang seperti itu, amatlah berbahaya. Episode 326 Di samping ini, timbul pula di hatinya untuk menguji kelihaian gadis yang telah menjatuhkan hatinya tanpa dia sadari ini. Orangnya cantik jelita, wataknya lincah, galak, apalagi sebagai sumoi dari Keng Hong, tentu kepandaiannya hebat. Cepat dia pun mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang Im-Yang-pit yang berwarna hitam dan putih. "Kau memaksaku, Nona. Apa boleh buat, marilah kulayani Nona berlatih sebentar!" Yan Cu yang melihat pemuda itu memegang sepasang alat tulis, mendadak menghentikan serangannya. Con San sudah menggerakan sepasang senjatanya, yang kiri siap menjaga diri yang kanan siap membalas serangan. Ia sudah memasang kuda-kuda dengan sikap gagah, akan tetapi karena lawannya menghentikan serangan, dia pun melongo dengan tubuh memasang kuda-kuda. "Engkau ini sengaja hendak menghinaku ataukah barangkali memang engkau sudah begini?" Berkata "begini" Yan Cu melintangkan telunjuknya di depan dahi. Cong San mengkal hatinya. Ingin dia membanting sepasang senjatanya. Sialan benar! Senjata yang ampuh darinya itu tidak dipandang mata, bahkan dia disangka sudah miring otaknya! Ia mengendurkan urat-urat tubuhnya dan menghentikan kuda-kudanya, hatinya kecewa dan murung. Susah payah dia tadi memasang gaya kuda-kuda agar kelihatan gagah..... eh, malah disangka menghina atau gila! "Nona, yang menghina itu aku ataukah engkau? Sepasang Im-yang-pit ini adalah senjataku!" Ia berkata setengah membentak, suaranya serak seperti ingin menangis. Tiba-tiba Yan Cu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Biarpun ditutupi, masih tampak mulutnya merekah dan Cong San yang tadinya mengkal dan marah, sekaligus lenyap kemarahannya. Hati yang panas mendadak menjadi dingin hangat melihat betapa wajah cantik itu kini benar-benar tertawa, bukan tertawa mengejek seperti tadi. Dan setelah tertawa wajar, bukan main manisnya! Manis memabukkan. Kalah arak merah! "Pena bulu itu senjatamu? Hi-hi-hik! Untuk apa? Senjata untuk menulis bisa jadi, akan tetapi senjata bertanding ?Sobat, jangan kau main-main, sekali pedang pusaka ini membabat, engkau takkan dapat menulis lagi. Lebih baik kau pergilah kembali ke bangku sekolahmu, belajar menulis sajak dengan tekun agar kelak bisa menjadi hak-su atau menjadi Siu-cai." "Nona, kulihat engkau lihai, akan tetapi engkau kurang pengalaman sehingga tidak mengerti bahwa senjataku sepasang Im-yang-pit ini dapat melawan seratus buah pedang pusaka seperti yang kaupegang itu." "Wiiihhhhh, sombong! Makan pedangku!" Yan Cu kini meloncat maju dan langsung menyerang dengan pedangnya. "Singgggg..... trang-cring-cringggg.....!!" Yan Cu meloncat mundur dan memeriksa pedangnya. Ternyata pedangnya tiak apa-apa. Hatinya lega. Pedang itu bukan miliknya dan harus ia kembalikan ke Hoa-san-pai dan sekarang ia hanya "meminjammya". Kalau sampai rusak kan repot! Ketika tadi tiga kali pedangnya ditangkis sepasang Im-yang-pit secara bergantian, ia merasa betapa tangan dan lengannyatergetar hebat dan benturan senjata yang ketiga tadi disusul totokan pit hitam ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Tentu saja ia cepat menarik tangannyadan mencelat ke belakang. Kini ia memandang pemuda itu dan berdiri tersenyum sambil memasang kuda-kuda. Begitu gagah pemuda itu, dan wajahnya amat tampan.Yan Cu menjadi panas. "Kaukira aku kalah?" Ia membentak dan kembali ia mnerjang maju dengan amat ganas. Cong San yang maklum bahwa gadis ini sudah memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu pedangnya juga tidak boleh dipandang ringan, cepat bergerak mengelak, menangkis, dan tidak lupa membalas dengan totokan-totokan kedua senjatanya. Tentu saja dia menotok secara hati-hati karena tidak ingin mencelakai gadis itu. Pertandingan berjalan dengan seru. Setelah mereka bertempur selama lima puluh jurus lebih, tahulah Cong San bahwa kepandaian gadis itu benar-benar amat lihai dan kalau saja dia bukan murid pilihan dari ketua Siauw-lim-pai sendiri, agaknya tidak akan mudah menahan serangan-serangan pedang yang demikian ganasnya. Di lain pihak, hati Yan Cu yang tadinya menjadi girang mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar lihai sekali dan boleh diandalkan untuk membebaskan Keng Hong, makin lama menjadi makin penasaran. Tadi ia sudah membuktikan kelihaiannya. Tiga belas orang perampok liar ia robohkan dalam waktu singkat hanya dengan tangan kosong saja. Masa kini menghadapi seorang pemuda baju hijau yang hanya memegang dua batang alat tulis yang pendek kecil saja ia sama sekali tidak mampu mendesak? Apalagi melihat selama bertanding ini pemuda itu terus tersenyum ramah dan amat manis kepadanya, pandang mata pemuda itu begitu........ entah bagaimana dia sendiri tidak tahu, pendeknya pandang mata yang membuat jantungnya berdebar dan kedua pipinya terasa panas karena malu. Sikap pemuda ini ia anggap mengejek dan membuat ia merasa makin penasaran! Dia tidak boleh sampai kalah! Kalau kalah, tentu pemuda itu akan memandang rendah kepadanya! Dia harus membuktikan bahwa dia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, seorang yang lihai, seorang gadis yang jarang terdapat bandingnya! "Bocah sombong!" Tiba-tiba Yan Cu membentak dan dalam suaranya terkandung isak penasaran dan kemarahan yang makin memanas. Pedangnya berkelebat cepat sekali. Cong San kaget. Tak disangka bahwa gadis itu akan menjadi marah lagi. padahal tadi sudah hilang marahnya. Kalau dilanjutkan begini bisa berbahaya, pikirnya. Memang dia mendapat kenyataan bahwa biarpun tingkat ilmu kepandaiannya lebih tinggi daripada gadis itu, namun selisihnya tidaklah banyak dan dia hanya dapat mengandalkan kematagannya dalam gerakan. Ilmu silat gadis ini benar-benar dahsyat dan aneh. Untuk merobohkannya pun tidaklah mudah. akan tetapi kalau dipertahankan terus juga akan berlarut-larut dan menjadi berbahaya bagi kedua fihak. "Nona, sudahlah, Nona...... mari kita bicara....... aku mengaku kalah........!" "Siuuuuttttt...... singggg....... cringggg......!" Kembali pedang bertemu dengan sepasang pit yang disilangkan. "Tidak! Aku tidak sudi bicara denganmu! Aku tidak sudi kauberi hadiah dengan mengaku kalah! Coba kaukalahkan aku dengan benar-benar kalau mapu! Aku tidak takut mati!" Yan Cu yang merasa penasaran dan merasa malu kalau kalah itu sudah menyerang lagi. Melihat pedang itu meluncur ke arah dadanya, Cong San menangkis dengan tangan kiri yang memegang pit putih, akan tetapi sengaja mengurangi tenaga sehingga pedang lawan itu hanya menyeleweng sedikit ke pinggir dan masih menyerempet pangkal lengan kirinya. Secepat kilat dia pun membarengi dengan menotok pergelangan tangan kanan Yan Cu yang memegang pedang itu dengan pit hitamnya. Yan Cu merasa lenganya lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangannya! Episode 327 Cong San berdarah pada pangkal lengan kirinya. Baju hijaunya robek berikut kulit dan sedikit dagingnya. Ia membungkuk, mengambil pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Yan Cu sambil berkata, "Sudah kukatakan, Nona. Aku mengaku kalah. Agaknya engkau belum puas kalau belum melukai aku." Sejenak Yan Cu tercengang ketika melihat pangkal lengan dari lawannya berdarah. Akan tetapi sebagai seorang ahli yang mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, ia melihat bahwa luka itu tidak ada artinya sama sekali, hanya luka kulit dan sedikit daging. Ia menerima pedangnya dengan kasar dan berkata lagi, "Aku belum menang atau kalah! Pedangku jatuh akan tetapi lenganmu terluka. Kita masih belum ada yang menang atau kalah. Hayo lanjutkan!" Ia sudah siap lagi dengan pedangnya, ditodongkan ke depan. Cong San menggeleng kepalanya. "Aku sudah menerima kalah, tidak akan melawan lagi." Berkata demikian, Cong San melemparkan kedua senjatanya ke atas tanah di depan kaki gadis itu. Sikap pemuda ini mengingatkan Yan Cu kepada sikap Keng Hong yang juga mengalah dan "pasrah bongkokan" kepada Biauw Eng. Maka ia menjadi makin marah. ""Kau laki-laki pengecut! Mengapa mengalah begini? Mengapa kau mengalah kepadaku? Hayo lawanlah! Masa ada laki-laki begini lemah? Apakah semua laki-laki menjadi lemah dan pengecut kalau berhadapan dengan wanita?" Cong San tidak mengerti mengapa gadis ini marah-marah seperti ini. Akan tetapi pertanyaan itu dengan tepat menusuk hatinya dan membuat dia sendiri terheran akan sikapnya sendiri. Mengapa berhadapan dengan gadis yang belum dikenalnya ini dia benar-benar telah kehilangan akal? Sampai dia rela mengorbankan diri dilukai dan rela pula mengalah padahal dia tidak bersalah? "Aku..... aku tidak akan melawanmu, Nona." "Benar? Bagaimana kalau sekarang ini kutusukkan pedangku ke dalam dadamu?" Yan Cu meloncat maju dan ujung pedangnya menyentuh kulit dada di balik baju pemuda itu. Cong San mengangkat muka, memandang wajah gadis itu. Dua pasang mata bertemu dan Yan Cu merasa aneh. "Entah mengapa, Nona. Akan tetapi andaikata engkau membunuhku, aku pun rela dan tidak akan melawan." Yan Cu merasa tubuhnya menjadi lemas. Pedangnya yang menodong diturunkan, disarungkannya kembali dan sepintas lalu ia bertanya, "Apakah engkau jatuh cinta kepadaku?" Pertanyaan ini sepintas lalu saja, akan tetapi Cong San hampir roboh terjengkang saking kagetnya. Muka pemuda ini menjadi merah sekali sampai ke daun telinganya. "Aku....... aku tidak tahu, Nona. Apakah engkau tahu.......?" "Tahu apa?" "Tentang........ eh, tentang jatuh cinta......" Yan Cu menggeleng kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu tentang cinta dan bersama suhengku tadinya sedang menyelidiki tentang cinta." Cong San meloncat kaget, teringat akan Keng Hong. "Menyelidiki tentang...... cinta.....? Di mana dia, Nona? Di mana Cia Keng Hong? Aku diutus oleh suhu untuk membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang jahat." Yan Cu tertegun dan memandang tajam. "Siapa gurumu?" Cong San memberi hormat. "Aku bernama Yap Cong San dan guruku adalah ketua Siauw-lim-pai." Kini gadis itu terkejut. Kiranya seorang jagoan Siauw-lim-pai! Dan dia mengira tadi seorang kepala perampok! "Ahhhhh, kenapa kau tidak bilang dari tadi? Dan aku telah melukaimu. Hemmmmm, biarkan kuobati lukamu itu!" Tanpa menanti jawaban Yan Cu menghampiri Cong San, merobek baju pemuda itu di bagian pangkal lengan yang luka, memeriksa kemudian memberi obat bubuk dan membalut lengan dengan sehelai saputangan bersih. Ia melakukan pengobatan ini dengan cekatan, cepat dan tanpa bicara apa-apa. Cong San tidak percaya kepada mulutnya sendiri, mengapa dia pun tidak berkata-kata, hanya matanya memandang penuh kagum dan penuh perasaan kepada dara jelita yang mengobati luka di pangkal lengannya itu. "Terima kasih, Nona. Engkau sugguh amat baik hati......." Cong San berkata dengan suara gemetar. "Sudahlah, yap-twako. Maafkan saja aku tadi tidak mengenalmu maka menganggapmu musuh. Tak perlu terima kasih-terima kasih! Sekarang mari bantu aku membebaskan suheng!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah menarik tangan pemuda itu dan diajak lari cepat. Tentu saja Cong San girang sekali, akan tetapi dia pun bingung. Terpaksa dia berlari cepat mengimbangi dara jelita yang aneh ini. "Eh, Nona...... di manakah dia? Di mana Keng Hong, dan siapa yang menangkapnya?" Sambil berlari-lari cepat Yan Cu menjawab, "Ditangkap seorang gadis dan dibawa pergi!" Tidak enak bicara sambil berlarian cepat itu. Akan tetapi karena heran Cong San bertanya lagi, "Mengapa? Siapa gadis itu?" "Gadis yang dicintainya....... dia menyerahkan diri, tidak melawan......." karena sedang mengerahkan tenaga untuk berlari cepat, tentu saja ketika bercakap-cakap, banyak angin memasuki mulut membuat suara Yan Cu terputus-putus dan napasnya megap-megap. Cong San makin heran dan penasaran. Mendengar Keng Hong ditangkap orang saja sudah merupakan hal mengejutkan dan juga mengherankan. Siapa yang dapat menangkap pemuda sakti itu? Kini dia mendengar bahwa yang menangkapnya adalah seorang gadis yang dicintanya! Dan dia menyerah tidak melawan! Tentu saja mendengar ini dia menjadi penasaran. Episode 328 "Dicinta mengapa menangkap? Mengapa pula dia ditangkap? Apa salahnya?" Tiba-tiba Yan Cu berhenti berlari dan memandangnya dengan mata marah, mulutnya mengomel, "Wah, kau ini amat cerewet seperti seorang nenek-nenek pikun!" *** Cong San juga berhenti. Mereka saling berpandangan. Kini pemuda itu mulai mengerti atau sedikitnya mengenal watak Yan Cu, maka dia tidak kaget melihat gadis yang tadi mengobati pangkal lengannya dengan lemah lembut itu kini marah. Ia malah tersenyum dan berkata, "Nona, aku seorang laki-laki, mana mungkin seperti nenek-nenek yang cerewet ?" "Kalau tidak seperti nenek-nenek yang cerewet, kenapa bertanya saja? Lari-lari sambil bicara mana enak?" "Kalau begitu, kenapa kita tidak berhenti dulu dan bicara yang enak di bawah pohon yang teduh?" Yan Cu menghapus keringatnya di leher dengan ujung lengan baju. "Kita harus cepat mengejar suheng, engkau ini memperlambat saja." "Maaf, Nona. Aku pun ingin sekali segera menolong Keng Hong, akan tetapi aku ingin mendengar dulu siapa yang menangkapnya, dan kenapa dia ditangkap?" "Baiklah, baiklah. Kalau tidak kuturuti, engkau tentu akan rewel seperti anak kecil minta kembang gula dan mengganggu terus. Nah, dengarkan baik-baik!" Yan Cu terpaksa ikut duduk di bawah pohon ketika melihat Cong San memberi isyarat dengan tangan kepadanya, mempersilahkan duduk di atas akar-akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah. Akan tetapi setelah mereka berdua duduk berhadapan, keduanya hanya saling pandang dan diam saja. "Eh, bagaimana ceritanya, Nona?" "kau dulu ceritakan keadaanmu dan bagaimana engkau bisa menjadi sahabat suheng." Cong San menghela napas. Agaknya gadis ini masih belum percaya benar kepadanya. Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Keng Hong ketika dia menyerbu ke Phu-niu-san untuk membalas dendam Siauw-lim-pai kepada Ang-kaim Bu-tek Bhe Cui Im dan betapa Keng Hong menyelamatkannya, kemudian mengembalikan dua buah kitab Siauw-lim-pai. "Ketika aku menyerahkan dua buah kitab itu kepada suhu, suhu lalu memerintahkan aku agar pergi mencari Cia-taihiap dan membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang lihai sebagai pembalas jasa. Nah, sekarang harap kau suka ceritakan keadaan Cia Keng Hong taihiap, Nona." "Dia ditawan oleh gadis yang dicintanya." "Mengapa? Dicinta mengapa malah menawannya?" "Justeru karena suheng mencintanya, maka dia menyerahkan diri. Kalau tidak, mana mungkin Sie Biauw Eng itu dapat menawannya?" "Sie Biauw Eng? Nona maksudkan Song-bun Siu-li puteri mendiang Lam-hai Sin-ni?" Cong San bertanya, kaget karena nama Sie Biauw Eng amat terkenal.Apalagi kalau diingat bahwa Song-bun Siu-li adalah sumoi dari Bhe Cui Im musuh besarnya! Yan Cu mengangguk. "Bukan dia saja, masih ada seorang lagi yang begini!" Kembali ketika berkata "begini" Yan Cu melintangkan telunjuk di depan dahinya yang berkulit putih halus. "Gila? Siapakah dia? Mengapa..........?" Yan Cu cemberut. "Mengapa? Pertanyaanmu tak masuk akal dan bodoh. Mana bisa aku tahu mengapa dia gila?" "Bukan gilanya yang kumaksudkan, Nona. Mengapa Cia-taihiap sampai ditawan?" "karena dia dituduh memperkosa si gila itu dan oleh Biauw Eng, dia ditawan untuk dipaksa menikah dengan perempuan gila itu!" Cong San sedang terpesona memandang wajah itu. Kini setelah dia mengenal sifat baik dara ini, wajah jelita itu makin menarik. Sepasang mata indah yang kini bersinar-sinar penuh semangat, dengan alis yang hitam kecil menjelirit, bulu mata yang panjang melengkung dan tebal sehingga membentuk garis hitam di seputar matanya. Hidung yang kecil mancung, yang cupingnya dapat bergerak-gerak kembang-kempis kalau sedang marah. Dan bibirnya! Ketika bicara bergerak-gerak demikian manisnya, seolah-olah bertetesan madu dari bibir itu, dan sepasang bibir itu bergerak demikian indahnya, seindah seekor kupu-kupu menggerak-gerakan sepasang sayapnya yang beraneka warna, ataukah seperti setangkai bunga mawar jambon tertiup angin, seperti cahaya keemasan bulan purnama bermain di permukaan air telaga? Entah seperti apa, namun yang sudah pasti, amat manis menarik, amat indah mempesona. "Heeeiiii!" Kenapa kau mengangguk-angguk?" Yan Cu membentak heran. Cong San yang sedang tenggelam dalam hikmat keindahan yang menyentuh perasaannya, bagaikan mabuk arak simpanan yang amat halus kerjanya, tadi mendengar penuturan Yan Cu, akan tetapi hanya setengah-tengah menangkap inti dan artinya. Kini dibentak dia menjadi kaget sekali dan menjawab sekenanya, "Memang betul! Sudah semestinya mengawini perempuan yang diperkosa!" Yan Cu meloncat berdiri, kedua tangannya dikepal, matanya mengeluarkan sinar berapi-api! Cong San terkejut sekali dan dia pun memandang dengan melongo, masih duduk dan menengadahkan kepalanya seperti orang tersadar dari mimpi. "Apa kau bilang? Hati-hati engkau menjaga mulut, sembarangan saja bicara!" "Eh...... aku bicara apakah, Nona? Apa yang salah?" "Engkau percaya bahwa suheng Cia Keng Hong memperkosa perempuan gila itu?" Barulah Cong San sadar bahwa yang dibicarakan adalah Keng Hong. Tentu saja dia tidak percaya. Setelah sadar kini dia menjadi pemuda murid Siauw-lim-pai yang tenang dan gagah perkasa kembali. Perlahan dia bangkit berdiri dan menjura, "Maaf, seribu kali maaf, Nona. Demi tuhan, aku tidak percaya bahwa Cia-taihiap melakukan perbuatan sekeji itu. Kalau tadi aku bicara seperti itu, hemmm......... aku lupa dan aku hanya mengatakan bahwa siapapun juga, kalau betula dia sudah memprkosa orang, harus bertanggung jawab! Akan tetapi............" Episode 329 "Suheng tidak diperkosa wanita itu! Itu fitnah belaka!" Cong San mengangguk. "Tentu begitu. Siapa sih wanita gila itu yang menjatuhkan fitnah keji terhadap Cia-taihiap?" "Namanya Tan Hun Bwee, suci dari....." "Tan Hun Bwee........? Ah, aku tahu! Bukan Cia-taihiap yang memperkosa, melainkan orang lain!" Bukan main kaget dan girangnya hati Yan Cu. Seketika kemarahannya terhadap Cong San lenyap seperti api disiram air, bahkan saking gembiranya ia memegang tangan pemuda itu dan menariknya lari lagi! "Lekas! mari kita susul mereka!" Kembali keduanya berlari-larian cepat sekali. "Nona, nanti dulu....." "Ssttt.....! Jangan cerewet lagi!" Yan Cu memotong. Cong San terpaksa menelan kembali kata-katanya. Akan tetapi dia tidak tahan. Sepuluh menit kemudian dia memaksa diri bertanya, "Aku hanya ingin mengetahui siapa Nona yang menyebut suheng kepada Cia-taihiap. Siapakah namamu, Nona?" "Namaku Gui Yan Cu, guruku bernama Tung Sun Nio, dahulu isteri Sin-jiu Kiam-ong. Sudah, cukup!" Cong San melongo. Mendengar bahwa gadis ini murid bekas isteri Sin-jiu Kiam-ong, dia terheran-heran. Sin-jiu Kiam-ong mempunyai isteri? Baru sekarang dia mendengarnya. Karena melongo memandang wajah gadis itu sambil berlari cepat, kakinya tersandung akar pohon dan dia roboh terguling! Yan Cu berteriak dan cepat menyambar lengannya sehingga pemuda ini tidak sampai terguling ke dalam jurang di sebelah kirinya. Karena tarikannya yang tiba-tiba ini, padahal Cong San tadi ketika akan jatuh sudah menggerakan tubuh, maka tubuhnya bertumbukan dengan tubuh Yan Cu sehingga kedua lengan Cong San merangkul pinggang yang ramping itu sedangkan kedua tangan Yan Cu juga memeganginya, yang satu memegang lengannya yang ke dua memegang pundaknya! "Ihhh! Yan Cu melepaskan pegangannya dan meronta. "Maaf! Maaf!" Cong San cepat melepaskan "pelukannya" dan keduanya menjadi tersipu-sipu dengan muka merah sekali. "Matamu kau taruh di mana sih?" Yan Cu mengomel, akan tetapi melihat wajah gadis itu, Cong San maklum bahwa Yan Cu tidak marah, karena gadis ini pun mengerti bahwa peristiwa itu terjadi diluar kesengajaan Cong San. "Aku...... aku sedang memandangmu, Gui-moi-moi!" Yan Cu mengerling akan tetapi juga tidak marah disebut moi-moi oleh pemuda itu. "Sudahlah, hayo cepat!" Mereka berlarian lagi, cepat sekali. Wajah Cong San berseri-seri dan ia sendiri merasa heran sekali mengapa mendadak dia merasa amat gembira, mengapa daun-daun dan rumput di sepanjang jalan yang dilaluinya tampak lebih segar dan lebih hijau dalam pandang matanya, langit tampak begitu cerah, sinar matahari yang terik terasa hangat dan pemandangan alam tampak jauh lebih indah daripada biasanya. Belum pernah selama hidupnya Cong San merasa begitu gembira. Betapa nikmat dan bahagianya hidup ini, pikirnya sambil lari mengimbangi kecepatan Yan Cu. Memang demikianlah Cinta! Amat besar kuasanya atas perasaan manusia. Sekali Cinta menyentuh hati sanubari insan, Cinta merupakan titik terang satu-satunya yang meniadakan segala persoalan hidup, menjadi satu-satunya tujuan hidup penuh dengan hasrat dan harapan, melambungkan cita-cita setinggi angkasa, membuat yang terkena terapung muluk dan satu-satunya hal yang penting dalam hidup hanyalah tercapainya hasrat dan harapannya. Cinta memang indah, namun keindahan yang cemerlang menyilaukan hati sehingga terlupakan orang bahwa di dalam keindahan itu terdapat lika-liku yang ruwet dan rumit, lika-liku yang mudah menyesatkan dan sekali terpeleset, segala kemanisan berubah kepahitan, madu berubah empedu, keindahan berubah keburukan dan kebahagiaan terbang pergi, kegembiraan berganti kedukaan! Cinta! Bagaikan pohon kembang, indah sekali, namun sesungguhnya mengandung duri, mengandung ular yang mudah pula layu. Kalau pandai merawatnya, menghindarkan durinya, pandai memupuknya, barulah akan subur dan semakin indah! "Tar-tar-tar!" Ujung sabuk sutera di tangan Biauw Eng melecut tiga kali dan mengenai kedua pipi dan leher Keng Hong. Pemuda ini menerima lecutan ujung cambuk itu dengan mata terbuka dan bibir tersenyum, sedikitpun tidak mengerahkan sinkangnya sehingga kulit pipi dan lehernya pecah berdarah! "Sumoi jangan pukul dia!" Tiba-tiba Hun Bwee menubruk maju dan memukul Biauw Eng. Biauw Eng cepat mengelak dan berkata, "Suci, aku hanya hendak memaksa dia mengakui perbuatannya yang keji terhadap dirimu. Engkau diperkosa olehnya, bukan?" Hun Bwee berhenti menyerang, sejenak memandang Keng Hong dengan mata liar namun membayangkan kemesraan. Dia maju berlutut dan menggunakan saputangannya mengapus darah yang mengalir di pipi dan leher pemuda itu. "Koko........, sakitkah.......? Ah, kasihan kau." Hun Bwee mengusap kedua pipi Keng Hong dengan sentuhan jari tangan mesra. Diam-diam Keng Hong menjadi terharu sekali dan dia mengutuk Lian Ci Tojin dalam hatinya. Hun Bwee bangkit berdiri menghadapi Biauw Eng. Gadis ini terkejut melihat sinar mata sucinya, maklum bahwa sucinya itu sedang kumat lagi gilanya! Namun ia menjadi terharu pula menyaksikan sikap Hun Bwee tadi terhadap Keng Hong, dan anehnya, di samping rasa haru terhadap Hun Bwee, ada pula rasa marah yang luar biasa terhadap Keng Hong dan ketika menyaksikan mesranya sentuhan-sentuhan tangan Hun Bwee pada pipi dan leher Keng Hong, ia hampir menjerit dan menangis! "Sumoi, kalau kau memukulnya lagi, kubunuh kau!" *** Biauw Eng menghela napas panjang. Kalau sucinya sedang kumat begini, dia harus mengalah. "Baiklah, Suci. Aku tidak akan memukulnya, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah memperkosamu." Ia lalu menghadapi Keng Hong yang berdiri sambil tersenyum dan memandang Biauw Eng dengan sinar mata penuh kemesraan. Diam-diam Keng Hong merasa kasihan dan terharu sekali terhadap Biauw Eng. Dia mengerti betapa tersiksanya hati kekasih hatinya itu, seolah-olah dia dapat merasakan kepedihan hati gadis itu, jauh lebih pedih dari pada pipi dan lehernya.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger