naruto

naruto

Senin, 26 November 2012

pendekar kayu harum75

Episode 75 "Harap para tosu Kun-lun-pai jangan sampai kena terbujuk oleh mulut para pembrontak hina! Kami percaya bahwa Kun-lun-pai tidak berjiwa pembrontak! Kitab Thai-yang-tin-keng adalah milik kaisar kami, maka sudah semestinya dikembalikan kepada kami!" "Manusia sombong! Kami bukan pembrontak, melainkan pejuang yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan, pembela kepentingan rakyat! Raja kalian yang merupakan raja lalim, penyerobot mahkota, orang muda yang tidak tahu menghormat orang tua!" Perwira utara yang bernama Han Tek Thai itu membentak marah. "Kau pemberontak laknat! Sudah jelas membrontak terhadap pemerintahan yang syah, masih banyak cakap lagi?" bentak perwira tinggi besar dari selatan sambil menerjang maju. Dua oang perwira itu tanpa dapat dicegah lagi sudah saling terjang maju dan terjadilah saling serang. dalam gebrakan pertama, keduanya dengan marah mengirim pukulan dengan tangan dan terdengar suara keras, keduanya terhuyung ke belakang dan baju besi perisai di depan dada mereka ternyata sudah retak-retak! Akan tetapi tubuh mereka rupanya cukup kebal dan kuat sehingga tidak mengalami luka hebat. kini mereka mencabut pedang masing-masing dan siap untuk bertanding, sedangkan pasukan kedua belah fihak juga sudah berlari-lari untuk saling terjang. Dua bayangan yang gesit sekali melayang turun dari atas batu. Mereka ini adalah Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin. Bagaikan burung garuda yang besar mereka melayang turun, Sian Ti Tojin menghadapi perwira utara sedangkan sutenya menghadapi perwira selatan. Begitu kedua orang tosu ini menggerakan tangannya, pedang kedua orang perwira itu telah dapat mereka rampas sehingga dua orang perwira itu menjadi kaget dan melongo. "Ji-wi Ciangkun adalah tamu-tamu, mengapa tidak mengindahkan kedaulatan tuan rumah dan hendak membikin kacau Kun-lun-pai?" Kiang Tojin dari atas batu berseru menegur. Han Tek Thai menjura dan berkata, "Maafkan kami yang terburu nafsu....." "Apa? Kun-lun-pai hendak membela pembrontak?" bentak perwira tinggi besar dari selatan. Menyaksikan sikap kedua orang perwira yang saling bermusuhan ini, Thian Seng Cinjin menghela napas dan mengelus jenggotnya. "Siancai...., kehendak tuhan terjadilah....! Kembalikan padang mereka!" lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin mengembalikan pedang mereka lalu melangkah mundur namun masih bersiap-siap untuk bergerak apabila tamu-tamu yang tak dikehendaki ini membikin kacau lagi. "Ji-wi Ciangkun dari utara dan selatan, dengarlah baik-baik omongan pinto! pinto Thian Seng Cinjin ktua Kun-lun-pai selama hidup tidak suka berbohong dan apa yang akan pinto katakan ini hendaknya ji-wi sampaikan kepada junjungan ji-wi masing-masing!" Suara Thian Seng Cinjin terdengar jelas sekali biarpun kakek ini bicara perlahan saja. Suaranya penuh dengan wibawa sehingga bukan hanya kedua orang perwira itu yang mendengarnya penuh perhatian, bahkan pasukan kedua fihak yang tadinya sudah bersiap-siap untuk saling hantam, kini tidak berani mengeluarkan suara, memandang kakek itu dan mendengarkan kata-katanya. Episode 76 Thian Seng Cinjin dengan gerakan tenang mengeluarkan sebatang pedang kayu dari balik jubahnya dan mengangkat pedang itu tinggi di atas kepala sambil berkata. "Hendaknya Ji-wi Ciangkun ketahui bahwa kami sama sekali tidak tahu akan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, juga tidak tahu-menahu tentang kitab Thai-yang-tin-keng itu! Satu-satunya benda peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang berada pada kami hanyalah pedang Siang-bhok-kiam ini dan kami pun tidak menghendaki pusaka-pusaka yang lainnya. Pedang ini telah berada di wilayah Kun-lun-pai selama puluhan tahun dan setelah berada di tangan kami, tidak akan kami serahkan kepada siapapun juga. Nah, kiranya sudah jelas keterangan kami, harap Ji-wi Ciangkun membawa pulang pasukan masing-masing dan kami melarang pasukan Ji-wi bertempur di wilayah kami. Jika larangan yang menjadi hak Kun-lun-pai ini dilanggar, terpaksa kami turun tangan tanpa memandang bulu, tanpa memihak siapapun juga!" Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti kaleng dipukul disusul suara keras, "Ha-ha-ha-ha-ha, tosu tua bangka, berikan Siang-bhok-kiam kepadaku!" "Tidak, aku lebih berhak!" "Berikan kepadaku!" "Padaku!" Semua tosu Kun-lun-pai terkejut dan kiranya berturut-turut di situ telah muncul banyak orang-orang kang-ouw yang menggunakan kesempatan selagi semua tosu Kun-lun-pai bersiap menghadapi dua pasukan yang bermusuhan itu, menyelinap masuh dan tiba di tempat! Melihat tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, Kong-thong-pai dan orang-orang kang-ouw yang sejak dahulu mengejar-ngerjar Sin-jiu Kiam-ong, para tokoh Kun-lun-pai ini tidak mengambil pusing, akan tetapi melihat orang yang tadi mengeluarkan suara ketawa dan dua orang lain di dekatnya, Thian Seng Cinjin sendiri menjadi terkejut dan maklum bahwa sekali ini Kun-lun-pai benar-benar menghadapi saat gawat. Orang yang tertawa tadi keluar dari mulut seorng kakek tinggi besar yang tubuhnya berkulit hitam seperti arang, matanya lebar, putih dan telinganya seperti gajah, tubuh hitam itu berbulu dan di pinggangnya tergantung rantai baja terhias dua buah tengkorak manusia. Ketua Kun-lun-pai mengenal orang ini yang bukan lain adalah Pak-san Kwi-ong datuk dari utara! Dan tak jauh dari situ, berdiri sambil tersenyum-senyum tampak Pat-jiu Sian-ong kakek tua renta yang bertubuh kecil kate, berkepala besar dengan muka sempit, mengebut-ngebut lehernya dengan sebuah kebutan hudtim dengan sikap tenang sabar seolah-olah dia benar-benar seorang dewa! Agak dibelakang kelihatan nenek yang menyeramkan, menyeringai sehingga gigi yang besar-besar itu menonjol keluar, mukannya merah darah, rambut riap-riapan dan pakaiannya serba hitam. Nenek yang menjadi datuk di timur, yang namanya tidak kalah terkenalnya dari Pat-jiu Sian-ong datuk barat atau Pak-san Kwi-ong datuk utara, yaitu Ang-bin Kwi-bo! Thian Seng Cinjin yang biasanya tenang itu kini harus menarik napas panjang untuk menekan guncangan hatinya, sedangkan para muridnya, kecuali Kiang Tojin yang juga masih tenang seperti gurunya, semua menjadi pucat wajahnya. Tiga orang datuk hitam telah hadir di situ, berarti bahwa urusan ini bukan main-main lagi! Tidak hanya para tosu Kun-lun-pai yang menjadi gelisah, bahkan pasuka-pasukan dari utara dan selatan tercengang menyaksikan munculnya banyak orang-orang aneh ini , sedangkan dua orang perwira yang memimpin pasukan masing-masing tidak berani bergerak . Mereka maklum bahwa sekali ini mereka bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang biasanya aneh-aneh wataknya dan kejam-kejam sekali perbuatanya, maka mereka menjadi berhati-hati dan tidak ada yang berani bergerak. "Pak-san Kwi-ong," kata Thian Seng Cinjin dengan suara sabar, "kiranya engkau ikut pula mengunjungi Kun-lun-pai! Ucapanmu tadi kurang jelas bagi pinto, harap kauulangi lagi, apakah benar kedatanganmu ini untuk meminta pedang Siang-bhok-kiam ini?" ia mengangkat lagi pedang kayu itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Kiang Tojin melihat dengan hati geli betapa semua mata ditujukan ke arah pedang kayu itu, mengingatkan dia akan mata segerombolan anjing kelaparan melihat sepotong tulang! "Ha-ha-ha, benar sekali! Kalau bukan untuk pedang itu, apa kau kira aku datang karena kangen kepadamu? Ha-ha-ha!" jawab Pak-san Kwi-ong. "Baik sekali. Kalau begitu akan kutanya pula yang lain. Ang-bin Kwi-bo, engkau juga muncul, jauh-jauh datang dari timur. Apakah kehendakmu mengunjungi pinto dan perkumpulan pinto?" "Cih, tosu bau! Siapa sudi mengunjungimu ? Aku datang untuk mengambil Siang-bhok-kiam dari tanganmu!" Ang-bin Kwi-bo menjawab sambil memandang dengan mulut mengilar ke arah pedang kayu di tangan ketua Kun-lun-pai itu. "Kalau begitu sama kehendakmu dengan Pak-san Kwi-ong. Bagaimana dengan engkau Pat-jiu Sian-ong? Apakah engkaupun menginginkan pedang kayu yang tak berharga ini?" "Hemmm, kalau tidak berharga masa diperebutkan, Totiang?" jawab kakek ini dengan suara yang halus dan ramah, akan tetapi kehalusan ini malah mendatangkan sesuatu yang menyeramkan . "Kalau tidak berharga, engkau pun jangan terlalu pelit, lebih baik diberikan saja kepadaku." "Bagaimana dengan para enghiong yang hadir di sini? Apakah kedatangan Cu-wi ini pun untuk memiliki Siang-bhok-kiam ?" "Benar, serahkan kepadaku!" "Padaku saja!" "Padaku.....!" Ribut sekali suara mereka itu sehingga sambil tersenyum pahit Thian Seng Cinjin mengangkat tangan kirinya, memberi isyarat agar mereka tidak berteriak-teriak. Keadaan mereka itu bagi kakek ketua Kun-lun-pai ini seperti anak-anak kecli yang patut dikasihani. Ia lalu berkata dengan penuh kesabaran. Episode 77 "Kasihan sekali Sin-jiu Kiam-ong! Sesudah mati, barangnya masih dipakai perebutan. Cu-wi sekalian! Benda ini hanya sebuah, yang menginginkan begitu banyak, bagaimana baiknya? kalau dibiarkan, tentu kita semua akan menggunakan kekerasan saling gempur sehingga akan banyak roboh korban yang tidak ada gunanya. Pinto tidak menghendaki permusuhan, tidak menghendaki darah tertumpah di tanah Pegunungan Kun-lun-san yang suci. Karena itu, biarlah pinto menguji, siapa yang paling kuat maka dia yang akan memiliki Siang-bhok-kiam. Tidak boleh menggunakan kekerasan, dan siapapun juga yang berani menggunakan kekerasan, akan dikeroyok oleh semua yang hadir di sini. Bagaimana?" Biarpun tokoh-tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat seperti tiga orang Bu-tek Sam-kwi (Tiga Iblis Tak Terlawan) ini pun menjadi gentar. Mereka itu maklum bahwa kalau seorang di antara mereka menggunakan kekerasan lalu dikeroyok oleh semua yang hadir, biarpun mereka itu ditambah tiga kepala dan enam tangan pun takkan menang! Apalagi kakek ketua Kun-lun-pai itu bersama tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang hadir, merupakan lawan-lawan yang takan mudah dikalahkan. Karena itulah, tiga orang datuk ini mengangguk-ngangguk dan semua menyatakan setuju sambil berteriak-teriak, "Akur, akur!" "Syukur kalau Cu-wi sekalian setuju. Nah, sekarang pedang Siang-bhok-kiam berada di tanganku. Jikat di antara Cu-wi ada yang mampu mengambilnya dari tanganku, tidak menggunakan penyerangan kasar, hanya menggunakan tenaga untuk merampasnya, berarti pedang ini berjodoh dengannya." Setelah berkata demikian, tubuh kakek ini melayang turun dari atas batu besar itu, diikuti lima orang muridnya yang lain karena dua orang muridnya sudah turun. Kini kakek ini berdiri di tempat yang luas, dan tujuh orang muridnya, dikepalai oleh Kiang Tojin, siap melindungi guru mereka berdiri di belakang guru ini membentuk setengah lingkaran.Sikap ini saja sudah memberi tahu kepada semua yang hadir bahwa siapa yang hendak menggunakan kecurangan dan untuk memiliki pedang itu menyerang tubuh Tian Seng Cinjin, tentu tujuh orang tokoh Kun-lun-pai ini sekaligus turun tangan melindungi guru mereka dan menyerang dia yang bermain curang! "Nah, silakan!" kata pula Thian Seng Cinjin yang sudah memegang gagang pedang kayu itu erat-erat dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka ditempelkan di pusarnya sendiri, sikap yang amat baik untuk mengerahkan sinkang yang disalurkan ke tangan kanan untuk mempertahankan pedang itu. Sebagian besar para tokoh kang-ouw yang hadir di situ sudah mengenal, atau setidaknya sudah mendengar akan kehebatan kakek yang menjadi ketua Kun-lun-pai ini, seorang di antara para lo-cianpwe yang sukar dicari tandingangannya di waktu itu. maka mereka ini menjadi jerih. "Maafkan aku!" Tiba-tiba han-ciang-kun pemimpin pasukan utara sudah melangkah maju dan pada saat yang sama perwira tinggi besar yang memimpin pasukan selatan juga sudah maju. Akan tetapi mereka ini sama sekali bukan bermagsud mencoba kekuatan Thian Seng Cinjin, karena Han-ciangkun berkata, "Kalau berhasil merampas pedang kayu ini, apakah akan bisa mendapatkan Thai-yang-tin-keng?" "Kalau bisa, aku pun akan mencoba!" kata perwira selatan tak mau kalah. Kiang Tojin mewakili suhunya menjawab, "Sudah kami katakan bahwa kami tidak tahu-menahu tentang kitab itu. Siapa berhasil merebut pedang menggunakan kekuatan hanya akan memiliki pedang Siang-bhok-kiam ini dan selebihnya kami tidak akan mencampuri urusan lainya!" "Kalau begitu, buat apa pedang kayu bagi kami?" Perwira selatan berkata kecewa sambil mundur, diturut pula oleh perwira utara yang melihat bahwa tidak akan ada gunanya merampas pedang kayu. "Nanti dulu, Thiang Seng Cinjin!" Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong berkata dengan suaranya yang keras. "Andaikata aku maju dan berhasil dan merampas pedang Siang-bhok-kiam, pedang itu menjadi miliku?" "Begitulah yang sudah diputuskan Suhu," jawab Kiang Tojin. "Dan yang lain-lain tidak boleh merampas dari tanganku?" "Selama Locianpwe berada di sini, kami akan menjamin bahwa tidak akan ada yang mengganggu tanpa berhadapan dengan kami. Tentu saja mereka berhak pula mencoba merampasnya dari tangan Locianpwe tanpa menggunakan kekerasan. Sudah diputuskan oleh suhu bahwa tidak boleh dipergunakan kekerasan di wilayah Kun-lun-pai. Tentu saja di luar wilayah Kun-lun-pai, bukanlah menjadi kewajiban kami lagi untuk mencampuri urusan siapapun juga." "Ha-ha-ha, cukup adil! Nah, biar kucoba tenagamu, Thian Seng Cinjin!" sambil tertawa-tawa Pak-san Kwi-ong melangkah maju lalu memasang kuda-kuda di depan kakek yang menjadi ketua Kun-lun-pai itu. Dua orang datuk hitam yang lain tidaklah sekasar tokoh hitam ini. Mereka, seperti Ang-bin Kwi-bo dan Pat-jiu Sian-ong, lebih cerdik dan lebih hati-hati. Mereka itu tidak dapat mengukur sampai di mana tingkat kepandaian dan sampai di mana kekuatan sinkang ketua Kun-lun-pai ini. Sebaliknya, mereka ini sudah tahu sampai di mana kekuatan Pak-san Kwi-ong yang kalau dibandingkan dengan mereka setingkat. maka mereka itu merasa lebih "sip" untuk menanti. Mereka baru akan mencoba kalau Pak-san Kwi-ong gagal, atau baru akan berusaha merampas pedang itu dari tangan datuk hitam utara itu andaikata pedang dapat dirampas oleh Pak-san Kwi-ong. Semua orang memandang dengan penuh ketegangan ke arah dua orang kakek yang kini sudah siap mengandu tenaga untuk memperebutkan pedang kayu itu. Sejenak mereka hanya berdiri saling tatap dengan pandang mata penuh mengeluarkan getaran karena penuh dengan tenaga sinkang. Kemudian, perlahan-lahan Pak-san Kwi-ong mengangkat tangan kanan dan menggenggam tubuh pedang kayu yang gagangnya dipegang oleh Thian Seng Cinjin, sedangkan tangan kirinya ditumpangkan ke atas sebuah di antar dua tengkorak yang tergantung di pinggangnya. Dua orang kakek itu kelihatannya hanya diam saja seperti arca, akan tetapi sesungguhnya mereka itu mulai mengerahkan tenaga sinkang yang disalurkan melalui lengan kanan terus ke pedang kayu, saling dorong, dan saling membetot pedang. Dua tenaga sinkang raksasa yang tak tampak saling bertemu dengan hebatnya, kedua lengan tergetar dan pedang kayu itu tergetar lebih hebat lagi, sampai bergoyang-goyang mengeluarkan suara berkeretekan , kemudian....."prokkkk....!" pedang itu hancur menjadi berkeping-keping! Episode 78 Terdengar seruan-seruan kaget dari semua yang menonton pertandingan itu, bahkan muka Thian Seng Cinjin sendiri menjadi pucat. Pak-san Kwi-ong yang biasanya tertawa-tawa itu kini terbelalak memandangi bagian peadng yang atas, yang telah pecah-pecar telah menjadi kepingan kayu-kayu tak berguna di tangannya. Kiang Tojin, Ang-bin Kwi-bo dan Pat-jiu Sian-ong masing-masing telah melangkah maju dan mengambil kepingan kayu yang berhamburan di atas tanah, lalu mereka meneliti kepingan-kepingan kayu itu, menciumnya. "Ahhhhh.....!" "Kayu biasa....!" "Sama sekali bukan kayu mujijat!" "Tidak harum bagian dalamnya!" "Bukan Siang-bhok-kiam......!!" Seruan Kiang Tojin yang terakhir inilah yang membuat semua orang tercengang dan saling pandang. Thin Seng Cinjin sendiri melongo, memandang gagang pedang di tangannya dan baru ternyata olehnya bahwa gagang pedang itu kasar buatannya. "Bu..... bukan.... Siang-bhok-kiam....?" tanyanya gagap. Kiang Tojin berlutut di depan suhunya. "Benar , suhu. Teecu telah kena diakali Cia Keng Hong! Pedang itu tadi sama sekali buka Siang-bhok-kiam!" "Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa pedang itu bukan Siang-bhok-kiam?" tanya Thian Seng Cinjin dan mukanya menjadi merah karena malu. Masa dia seorang tokoh besar, ketua Kun-lun-pai, sampai dapat diakali oleh seorang bocah yang masih ingusan seperti murid Sin-jiu Kiam-ong itu? Yang lain-lain, termasuk ketiga orang Bu-tek Sam-kwi para datuk golongan hitam itu mendengarkan penuh perhatian. "Teecu yakin. Pedang ini terbuat dari kayu pohon yang tumbuh di sini, yang memang agak wangi baunya. Pedang ini tidak mungkin Siang-bhok-kiam karena menurut kabar, pedang Siang-bhok-kiam terbuat daripada kayu yang kerasnya melebihi baja, sedangkan pedang ini terbuat dari kayu biasa. Sekarang mengertilah teecu mengapa bocah itu memberikan pedang ini kepada kita secara demikian mudah!" "Bocah setan!" Tiba-tiba Lin Ci Tojin memaki. "Sudah kuketahui dia bukan manusia baik-baik! Ilmunya menyedot sinkang saja sudah menunjukan bahwa dia seorang calon iblis! Dan Twa-suheng begitu percaya kepadanya! Sungguh memalukan sekali!" "Lian Ci, diam kau!" bentak Thian Seng Cinjin dengan suara nyaring karena malu dan marah. Di depan orang-orang luar yang begitu banyak, dia tidak senang sekali mendengar muridnya itu menyalahkan saudara sendiri. Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Para tosu hidung kerbau di Kun-lun-pai samapi kena dikentuti oleh murid Sin-jiu Kiam-ong bocah yang masih ingusan! Betapa lucunya hal ini akan menjadi buah percakapan mengembirakan di dunia kang-ouw. Dan tahukah kalian bahwa bocah yang sudah menipu kalian itu kini bersenang-senang main gila dengan dua orang gadis cantik murid Lam-hai Sin-ni? Ha-ha-ha, benar-benar bocah itu melebihi gurunya dalam segala hal! Kita semua telah tertipu, akan tetapi yang benar-benar makan kotoran yang dilempar anak itu adalah para tosu Kun-lun-pai!" Wajah Thian Seng Cinjin sebentar merah sebentar pucat. Pukulan batin ini amat hebat dan elamanya baru sekali ini Kun-lun-pai mengalami hal yang benar-benar amat memalukan. Ia pun merasa tak senang kepada Kiang Tojin karena sesungguhnya penipuan ini terjadi karena rasa sayang Kiang Tojin kepada Keng Hong. Andaikata tidak begitu mendalam kasih sayang muridnya itu terhadap Keng Hong, tentu tidak begitu mudah ditipu karena sudah ada kecurigaan. Karena marah, ketua Kun-lun-pai ini lalu berkata kepada Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin, justeru dipilihnya dua orang di antara muridnya yang tadi menentang Kiang Tojin. "Sian Ti dan Lian Ci! Sekarang juga pinto perintahkan kalian berdua pergi mencari dan menangkap Cia Keng Hong, membawa dia ke sini!" "Baik, Suhu!" jawab dua orang tosu itu yang segera meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar. Kiang Tojin hanya memandang dengan hati prihatin karena dia sendiri pun tidak mengerti mengapa Keng Hong sampai berani melakukan penipuan seperti itu. Kalau begitu pedang Siang-bhok-kiam tentu masih dipengang anak itu, dan entah disembunyikan di mana karena kalau pedang itu dibawa-bawa, dia merasa yakin bahwa pedang itu tentu telah dirampas tokoh kang-ouw yang sakti. Akan tetapi seperti telah dilakukan para tokoh kang-ouw yang semua menyerbu ke Kun-lun-pai, hal ini menandakan bahwa mereka tidak berhasil mendapatkan Siang-bhok-kiam dari Keng Hong. Kiang Tojin mengerti bahwa suhunya marah dan kecewa kepadanya, maka dia diam saja, maklum bahwa sekali ini dia memang salah, meleset perhitungannya menilai diri Keng Hong. Karena kesal hatinya, Kiang Tojin lalu berkata lantang kepada para tamu yang tak dikehendaki itu. "Cu-wi sekalian membuktikan dengan mata sendiri betapa kami pihak Kun-lun-pai sendiri telah tertipu, bahwa di sini sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang menyangkut warisan Sin-jiu Kiam-ong. Harap Cu-wi meninggalkan tempat ini karena di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi!" Sambil tertawa-tawa, Bu-tek Sam-kwi berkelebat pergi, diikuti pula para tokoh kang-ouw yang pergi mengambil jalan masing-masing, namun dapat dimengerti bahwa isi hati mereka tak banyak berbeda, yaitu selain kecewa, juga masing-masing tentu mengambil ketetapan hati untuk mencari Cia Keng Hong, satu-satunya orang yang menjadi kunci rahasia dan dapat membawa mereka kembali menuju ke simpanan pusaka warisan Sin-jiu Kiam-ong. Juga kedua pasukan dari utara dan selatan itu cepat pergi kembali ke asal masing-masing tanpa bertanding. Hal ini memang lucu karena dalam keadaan biasa, dua pasukan yang bermusuhan itu tentu akan berperang mati-matian. Agaknya karena mereka bertemu dengan tokoh-tokoh yang sakti itu, hati mereka menjadi kuncup, takut kalau-kalau orang-orang sakti itu menjadi marah dan membantu salah satu fihak apabila mereka mengadakan perang di tempat itu. Episode 79 Seperti telah diceritakan di bagian depan perang saudara yang terjadi antara utara dan selatan itu adalah akibat perebutan mahkota setelah kaisar Thaicu meninggal dunia pada tahun 1398. Ketika itu, putera sulung kaisar Thaicu telah lebih dahulu meninggal dunia dan oleh karena itu, maka sebelum dia meninggal, kaisar Thaicu telah mewariskan tahta kerajaan kepada cucunya, anak dari putera sulung itu, yang bernama Hui Ti. Di bawah perlindungan dan dukungan para pembesar yang mempergunakan kesempatan untuk mengangkat diri sendiri mencapai kedudukan tinggi dan berkecimpung dalam kemuliaan duniawi, setahun kemudian setelah kaisar Thaicu meninggal, Hui Ti naik tahta dan menjadi Kaisar Kerajaan Beng. Peristiwa inilah yang mengakibatkan perang saudara karena Raja Muda Yung Lo, putera yang lain dari kaisar Thaicu dan yang pada waktu itu bertugas mempertahankan wilayah Beng-tiauw di bagian utara melawan penyerbuan bangsa mongol , menjadi marah dan tidak menerima pengangkatan kaisar baru itu. Menurut pendapatnya, tidaklah adil kalau mahkota diwariskan kepada keponakannya itu, dan dia yang sudah banyak berjasa terhadap kerajaan, dia sebagai putera ke dua, merasa lebih berhak mewarisi mahkota. Demikianlah, Raja Muda Yung Lo yang berkedudukan di Peking ini lalu membawa bala tentara dan menyerbu ke Nan-king dan timbullah perang saudara memperebutkan tahta Kerajaan Beng-tiauw. Telah menjadi kenyataan dalam catatan sejarah bahwa setiap kali terjadi perang, apalagi perang saudara sesama bangsa, rakyatlah yang menderita. Yang memperebutkan kekuasaan demi kemuliaan diri sendiri adalah beberapa gelintir orang besar, akan tetapi yang dijadikan makanan golok dan pedang adalah perajurit-perajurit, anak rayat jelata. Peadng mendatangkan akibat yang lebih buruk lagi, yaitu kekacauan dan kejahatan merajalela, mempergunakan kesempatan selagi pemerintah mencurahkan kekuatan untuk berperang, di mana penjagaan keamanan untuk rayat menjadi kosong sehingga terjadilah perampokan-perampokan, pembakaran dusun-dusun, penculikan dan pemerkosaan semena-mena. Tidak jarang pula terjadi pasukan-pasukan yang selalu hidup berhadapan dengan maut, yang oleh perang digembleng menjadi manusia-manusia haus darah yang selalu menderita karena tekanan-tekanan batin, karena tekanan-tekanan lahir, berubah menjadi manusia-manusia yang lebih ganas daripada para penjahat. Dengan dalih "berfihak kepada musuh" banyaklah rakyat jelata menjadi korban keganasan mereka, hanya karena mereka itu silau oleh harta dan silau oleh kecantikan wanita! Keadaan yang kacau-balau di sepanjang jalan yang dilalui Keng Hong inilah sesungguhnya yang bahkan menolong Keng Hong, membuat para tokoh kang-ouw termasuk dua orang tosu Kun-lun-pai kehilangan jejaknya. Setahun lebih Keng Hong merantau, tujuannya adalah kembali ke Kun-lun-san karena dia sudah mengambil keputusan untuk memperdalam ilmunya setelah mengalaman-pengalaman pahit yang dia derita. Ia harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi kalau dia tidak menghedaki gangguan-gangguan di masa depan. Akan tetapi, kekacauan yang terjadi dimana-mana membuat dia tersasar dan ada kalanya mengambil jalan memutar, ada kalanya harus kembali lagi kalau terhalang oleh perang yang dahsyat. Pada suatu pagi dia memasuki dusun Ciang-cung yang terletak di kaki gunung Min-san, di lembah sungai Cia-liang. Karena sungai Cia-liang ini mengalirkan airnya ke sungai Yang-ce-kiang yang merupakan jalan perhubungan yang terbaik dan tercepat menuju ke pedalaman, maka dusun Ciang-cung ini cukup ramai. Tanpa diketahuinya secara tepat, Keng Hong sudah makin dekat dengan Kun-lun-san yang berada di sebelah barat Gunung Min-san. Makin ke barat, makin berkuranglah perang, karena bala tentara kedua fihak memperebutkan daerah-daerah antara Peking-dan Nanking. Biarpun demikian, wilayah barat ini tak dapat dikatakan tenteram sama sekali dan akibat perang saudara melanda juga daerah yang jauh dari pusat tempat perang itu sendiri. Di sini timbul kekacauan-kekacauan dan para penjahat merajalela, berpesta-pora seolah-olah gerombolan tikus yang berada dirumah kosong, ditinggal pergi oleh kucing-kucing yang mereka takuti. Ketika Keng Hong memasuki dusun Ciang-chung di pagi hari itu, segera dia melihat akibat kekacauan yang melanda di mana-mana. Sepagi itu telah ada orang berkelahi. Seperti biasa, dan Keng Hong akhir-akhir ini sering kali melihat orang bertempur, dia hendak mengambil jalan lain agar tidak terlibat dalam perkelahian itu. Terlalu banyak orang berkelahi bunuh-membunuh yang dijumpainya di mana-mana sehingga dia menjadi muak dan bosan. Tidak mungkin dia mencampuri urusan orang-orang lain itu yang semua diakibatkan oleh perang sehingga masing-masing membela fihak pilihannya sendiri. Sekali ini pun dia tidak peduli dan tentu Keng Hong sudah meninggalkan dusun itu untuk melanjutkan perjalanannya kalau saja dia tidak mendengar bentakan-bentakan nyaring suara wanita. Yang berkelahi itu ternyata adalah seorang wanita yang dikeroyok banyak laki-laki! Hal ini menarik perhatian keng Hong dan menggerakan hatinya untuk menghampiri tempat pertempuran. Betapapun juga, kalau melihat seorang wanita dikeroyok belasan orang laki-laki seperti itu, tak mungkin dia tinggal diam saja. Gurunya pasti akan memakinya kalau dapat melihat dia mendiamkan saja seorang wanita dikeroyok belasan orang laki-laki! Setelah dekat dengan tempat pertempuran itu, dia melihat dua belas orang laki-laki mengeroyok seorang gadis berpakaian biru muda. Hatinya menjadi kagum sekali. Bukan hanya kagum akan kegesitan dan keindahan gadis itu bermain pedang melayani pengeroyokan belasan orang lawan yang kasar-kasar, kuat dan bersenjata golok itu, melainkan terutama sekali melihat wajah yang cantik jelita, mata yang bersinar-sinar seperti mata burung hong, mukanya yang putih kemerahan, tubuh yang padat ramping, pendeknya, seorang gadis yang amat cantik! Yang membuat Keng Hong terheran-heran dan penasaran adalah ketika dia melihat bahwa di situ tidak ada orang yang berani mendekat, apalagi melrai perkelahian, bahkan rumah-rumah dan warung-warung terdekat sudah menutup pintu dengan tergesa-gesa. Tampak olehnya ada empat orang laki-laki tinggi besar yang sudah roboh berlumuran darah, juga seorang pemuda remaja terduduk di atas tanah memegang pundaknya yang terluka terkena bacokan. Ilmu pedang gadis itu lihai, akan tapi menghadapi pengeroyokan dua belas orang laki-laki kasar itu, si gadis menjadi repot juga. Apalagi karena para pengeroyoknya mengeluarkan kata-kata yang kasar dan kotor, dengan ancaman-ancaman yang menjijikan, membuat gadis itu makin merah mukanya dan makin kacau gerakan pedangnya. "He, kawan, jangan sampai dia terluka!" Episode 80 "Jangan membikin cacat wajahnya yang cantik halus!" "Biarkan dia kehabisan tenaga, tentu akan menyerah sendiri, ha-ha-ha!" "Wah, kalau tenaganya habis, bagaimana bisa melayani kita?" "Jangan khawatir, gadis kang-ouw simpanan ini tenaganya kuat, heh-heh-heh!" "Robek-robek dan tanggalkan semua pakaiannya, berikan padaku lebih dulu!" "Aku dulu!" "Aku dulu!" "Eh, kawan-kawan. Mengapa ribut-ribut? Biar dia kita tangkap dulu , baru kita mengadakan undian siapa yang akan menikmatinya lebih dulu!" Muka Keng Hong menjadi merah sekali. Dia hendak turun tangan membantu, akan tetapi dia masih belum tahu apa urusanya, dan apa yang menyebabkan mereka berkelahi. Kalau dia langsung membantu gadis itu, apakah itu adil namanya? Siapa tahu, gadis ini yang berada di fihak salah. Maka dia menanti dan memandang penuh perhatian. Gadis baju biru itu sudah mulai lelah. Gerakannya lambat dan ketika tiga buah golok secara berbareng menangkis pedangnya dengan pengerahan tenaga kasar, gadis itu menjerit, pedangnya terlempar dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Banyak tangan menyambarnya dan..... "brettt.... aihhh.....!!" sebagian bajunya terobek berikut baju dalamnya sehingga tampaklah leher, pundak dan sebagian dada kiri yang berkulit putih halus seperti susu. Keng Hong tak dapat lagi menahan kemarahannya. Ia meloncat maju dan membentak, "Orang-orang kuang ajar! Mundur....!!" Sekali tangkap dia telah mencengkeram dua orang laki-laki di bagian tengkuknya dan bagaikan melempar rumput kering saja, dia melontarkan dua orang itu ke belakang sehingga mereka terpental dan terlempar sejauh empat meter, terbanting dan bergulingan. Dia tidak berhenti sampai di situ, kaki tangannya bergerak dan kembali empat orang laki-laki terlempar jauh dan jatuh bangun! Empat orang yang lain cepat mebalikan diri dan golok-golok di tangan mereka menyambar. Akan tetapi, mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan keberanian, tenaga kasar dan golok. Begitu Keng Hong menggerakan tangannya, angin dorongan tangan itu membuat keenam orang pengeroyok terhuyung mundur. Dua orang yang agaknya menjadi pimpinan mereka menjadi penasaran, berseru keras dan menerjang maju lagi dengan golok mereka. Keng Hong mendahului mereka, menyapok keras dan terdengar bunyi "krek-krek!" ketika tangan Keng Hong bertemu dengan pergelangan tangan mereka yang menjadi patah tulangnya. Mereka meringis kesakitan dan melompat mundur, tidak berani maju lagi. "Masih tidak lekas minggir dari sini?" Keng Hong menghardik, pandang matanya tajam menusuk. Dua belas orang itu tidak berani untuk mencoba-coba lagi, mereka lalu pergi membawa teman-teman yang terluka. Ternyata jumlah mereka semua ada enam belas orang, yang empat telah dirobohkan gadis cantik itu. Setelah mereka semua kabur, Keng Hong menoleh dan melihat gadis itu tengah menolong pemuda remaja yang terluka pundaknya. Terdengar olehnya suara gadis itu halus, "Bagaimana, adikku? Parahkah lukamu?" Pemuda remaja itu mengigit bibirnya dan menggeleng kepala. "Kurasa tulangnya patah....Cici, lekas haturkan terima kasih...." Gadis baju biru itu agaknya seperti baru teringat, cepat ia membalikan tubuhnya menghadapi Keng Hong yang berdiri memandang mereka , kemudian ia menjatuhkan diri berlutut sambil berkata. "Saya Sim Ciang Bi dan adik saya Sim Lai Sek menghaturkan terima kasih atas pertolongan Taihiap (Pendekar Besar) yang telah menyelamatkan nyawa kami." Dua macam perasaan memenuhi hati Keng Hong mendengar ucapan itu. Dia disebut taihiap! Dia merasa bangga dan juga jengah. Tentu gadis ini menganggap dia seorang pendekar yang berilmu tinggi karena dalam segebrakan saja mampu mengusir dua belas orang laki-laki kasar tadi. Padahal kalau mempergunakan ilmu silat, tanpa disertai tenaga sinkang yang luar biasa, belum tentu dia menang lihai daripada gadis itu sendiri. Bangga karena mulut yang manis dan mungil itu menyebutnya taihiap, namun jengah dan malu karena dia sendiri merasa amat tidak pantas disebut seorang pendekar besar. "Ah, harap jangan sungkan, bangkitlah, Nona," katanya sambil mengangkat bangun gadis itu. Ketika kedua telapak tangannya menyentuh pundak itu, terasa hawa yang hangat lunak keluar dari daging pangkal lengan yang halus itu dan berdebarlah jantung Keng Hong, apalagi ketika matanya bertemu pada sebagian dada yang telanjang itu. Pandang matanya seperti lekat pada kaki dan lereng bukit dada yang putih halus. "Cici.... bajumu....!" Pemuda remaja itu memperingatkan cicinya yang saat itu sedang memandang wajah Keng Hong. Gadis itu merintih perlahan dan mukanya menjadi merah sekali. Keng Hong cepat membuka jubahnya dan menyelimutkan jubah ini pada tubuh si gadis yang memandangnya dengan sinar mata berterima kasih. Hal ini membebaskannya dari rasa malu, apalagi kalau diingat bahwa kini banyak orang mendatangi tempat itu. Mereka ini adalah penduduk dusun yang baru berani keluar setelah perkelahian itu berakhir. "Ah, masih untung Sam-wi dapat lolos dari pengeroyokan mereka. Harap Sam-wi segera pergi meninggalkan dusun ini, karena kalau tidak ..... mereka pasti datang lagi dan menyusahkan Sam-wi (Tuan bertiga)." Yang berkata demikian adalah seorang kakek, mukanya membayangkan kegelisahan.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger