naruto

naruto

Kamis, 29 November 2012

pdk harum 253

Episode 253 "Subo sudah menyebutmu dewi, berarti engkau menjadi muridnya," kata lagi wanita itu dan setiap kali bicara dengannya, suara wanita baju merah itu tenang dan wajar. Akan tetapi begitu bicara kepada nenek itu atau kepada pasukan baju kuning, gadis baju merah itu lalu ketularan gila! Giranglah hati Biauw Eng. Bukankah dia mengambil keputusan untuk mengasingkan diri dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar kelak dapat menghadapi Cui Im?" Tempat mana yang lebih tepat untuk mengasingkan diri dari dunia ramai daripada tempat aneh di samping sekumpulan orang gila ini? Dan guru mana yang akan dpat menggemblengnya lebih hebat daripada nenek gila yang meiliki kepandaian tidak lumrah manusia ini? Segera ia dapat mengambil keputusan dan cepat Biauw Eng menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata, "Subo...!" "Heh-heh-heh, muridku yang manis, engkau tidak lekas memberi hormat?" Biauw Eng tercengang. Dia sudah berlutut masih disuruh lekas memberi hormat. Penghormatan apalagi yang harus ia lakukan? Cepat ia melakukan pai-kwi (menyembah) sampai delapan kali. Akan tetapi betapa kagetnya ketika nenek itu berkata lagi, "Lekas engkau memberi hormat kepada gurumu. Apakah kau tidak suka menjadi muridku?" Biauw Eng menjadi bingung dan wanita berpakaian merah di dekatnya berbisik, "Lekas kau mencium ujung kedua sepatunya." Kemudian nona baju merah itu tertawa. "Hi-hi-hik, Subo. Bukankah Sumoi ini masih gila dan belum sembuh benar? Akan tetapi teecu percaya dia akan sembuh." Biauw Eng terkejut dan hampir saja ia meloncat berdiri untuk memaki-maki nenek itu. Aturan mana ini kalau bukan aturan orang gila? Masa menjadi murid saja harus merendah diri melebihi budak belian, harus mencium kedua ujung sepatu gurunya! Akan tetapi kesadarannya membuat ia mempertimbangkan. Kalau ia bangkit dan menentang, tentu ia akan mati. Ia tidak takut mati, akan tetapi bukankah kematiannya itu akan sia-sia dan bagaimana ia akan dapat membalas dendamnya terhadap Cui Im dibiarkan enak-enak tak terhukum setelah melakukan kekejian terhadap dirinya dan terhadap ibunya? *** Ia mengeraskan hatinya, lalu menghampiri nenek itu, berlutut dan mencium kedua ujung sepatunya. "Heh-heh-heh, bagus, bagus, engkau mulai sembuh dari penyakit gilamu! Eh, siapa namamu?" "Nama teecu Sie Biauw Eng," jawab Biauw Eng, diam-diam mengharap agar nenek itu tidak mengeluarkan perintah yang gila-gila lagi. "Dukkk...!" Tubuh Biauw Eng terpental dan bergulingan sampai lia meter jauhnya. Kembali nafsu amarah hampir membuat Biauw Eng meloncat bangun, memaki-maki dan melawan. Biarpun tendangan itu tidak melukainya karena ia sebetulnya hanya didorong pada pundaknya dengan ujung kaki, namun penghinaan itu terlampau berat baginya. Untung bahwa sebelum ia melakukan sesuatu yang tentu akan berakibat hebat sesuatu yang tentu akan berakibat hebat bagi dirinya, nenek itu sudah membentak, "Engkau she Sie ? Apa hubunganmu dengan Sie Cun Hong??" Saking herannya mendengar nama mendiang ayahnya disebut-sebut nenek itu. Biauw Eng lupa akan kemarahannya. Nenek ini gila, semua orang yang berada disitu gila. Apa salahnya kalau ia membohong? Semua ucapan mereka pun kacau balau dan tidak ada yang benar! "Teecu tidak mengenalnya. Mengapa Subo menyebut-nyebut nama itu? Siapakah dia?" "Dia? Heh-heh-heh, dia laki-laki yang paling tampan, paling gagah perkasa di dunia ini! Dia laki-laki satu-satunya yang kucinta, akan tetapi.... sikeparat gila dia menolakku dengan mengatakan aku berotak miring! Heh-heh-heh!" Mendengar ini dan melihat nenek itu tertawa terkekeh-kekeh, kemudian mendengar pula nona baju merah tertawa diikuti gelak tawa ketiga belas orang pasukan kuning, Biauw Eng lalu tertawa pula. Tertawa bergelak, lebih nyaring dari yang lain karena gadis ini tertawa sewajarnya, timbul dari hati yang girang bahwa ayahnya dahulu menolak nenek ini yang semenjak mudanya sudah gila! Melihat sikap Biauw Eng ini, nenek itu kelihatan senang. "Heh-heh-heh, muridku yang baik, Biauw Eng dewi manis, ternyata engkau sudah sembuh, tidak gila seperti Sie Cun Hong. Biarlah, biar she-mu Sie akan tetapi engkau tidak ada hubungan dengan dia. Kalau masih keluarga, tentu kubunuh sekarang juga engkau. Dan ibumu, di mana ibumu?" "Ibu sudah meninggal dunia, dibunuh orang. Ayah pun sudah meninggal dunia!" "Heh-heh-heh-ha-ha! Orang tuamu sudah mati, orang tuaku pun sudah mati. Orang tua Hun Bwe juga sudah mati semua. Ha-ha-ha, betapa sengsara hidup kita, merana sebangkara... Heh-heh-heh!" "Hi-hi-hik, sungguh sengsara kita!" Hun Bwe si nona baju merah juga terkekeh. Biauw Eng menjadi bingung, memandang nenek dan "sucinya" itu yang tertawa-tawa. Mereka bilang hidup sebatangkara ditinggal mati orang tua akan tetapi mengapa mereka tertawa-tawa? Benar-benar gila! Tiba-tiba nenek itu menghentikan ketawanya dan memandang Biauw Eng. "Eh, kenapa engkau tidak tertawa? Apakah engkau tidak berduka ditinggal mati orang tuamu?" Biauw Eng terkejut. Ia memang berduka diingatkan bahwa ibunya telah mati dengan mengenaskan. Akan tetapi mengapa dia disuruh tertawa? Karena tidak dapat menyelami isi hati gurunya ia tertawa akan tetapi tidak seperti tertawa, melainkan menyeringai pahit. "Wah, ketawamu tidak sedap! Mulutmu bau kalau tertawa seperti itu!" Nenek itu membentak. Episode 254 "Subo, Sumoi masih belum sembuh dari gilanya." Hun Bwee mengingatkan gurunya yang mengangguk-angguk. "Benar, hampir aku lupa. Mari kita rayakan kedatanganmu Biauw Eng. Kita rayakan datangnya muridku yang baru!" Biauw Eng digandeng tangannya oleh Hun Bwe dan diajak memasuki gedung aneh mengikuti guru mereka. Ternyata di sebelah dalam gedang itu amat luas dan biarpun lantainya tidak rata, namun di dalam gedung itu hawanya dingin dan sejuk. Celaka bagi Biauw Eng, semua perabot rumah itu aneh-aneh. Bangku-bangkunya diletakkan terbalik, tempat duduknya di bawah dan empat kakinya mencuat ke atas. Mereka duduk di atas kaki-kaki bangku itu. Tentu saja amat tidak enak, akan tetapi Biauw Eng yang mulai dapat menyesuaikan diri, bagi orang yang memiliki kepandaian seperti dia, duduk di atas bangku atau di atas ujung tombak sekalipun, sama saja. Mejanya juga aneh, bentuknya segi tiga tidak rata pletat-pletot dan letaknya miring sehingga kalau meletakkan benda di aatas meja itu tentu akan tergelincir jatuh! Akan tetapi melihat permukaan meja yang miring itu kasar dan banyak lubang-lubangnya, mengertilah Biauw Eng bahwa menaruh benda di situ harus menggunakan sinkang sehingga bendanya ditekan menancap pada permukaan meja! Ketika ia melirik ke arah dinding, disitu terdapat gambar-gambar yang aneh. Warnanya menyolok beraneka macam sehingga menyakitkan mata, dan bentuk lukisan itu sendiri aneh sekali. Ada orang yang matanya hanya satu, hidungnya dua, bahkan ada lukisan orang yang kepalanya di bawah kakinya di atas, matanya berada di kuku jempol kaki! Banyak pula lukisan yang membuat Biauw Eng menjadi pening kepalanya hanya dengan memandanginya saja. sampai hampir pecah rasa kepalanya hanya dengan memandanginya saja. Sampai hampir pecah rasa kepalanya ketika ia berusaha untuk mengerti lukisan apa sebenarnya yang tergantung itu. Namun tetap saja ia tidak mengerti! Bayangkan saja. Lukisan itu merupakan coretan-coretan halus, malang melintang dan saling membelit seperti lima macam benang ruwet menjadi satu! Ada pula lukisan yang merupakan titik-titik hitam di atas putih, dan yang lebih gila lagi adalah lukisan yang hanya hitam saja tidak berbentuk, tak tentu garisnya, akan tetapi lukisan-lukisan aneh ini di taruh di tempat tertinggi dan ada yang diberi bingkai emas! "Indah,ya?" tiba-tiba nenek itu bertanya kepada Biauw Eng ketika melihat gadis ini memandangi lukisan-lukisan yang menghias dinding. Biauw Eng terpaksa mengangguk-angguk, akan tetapi ia tidak dapat menahan keingin tahuannya dan bertanya, "Subo, lukisan apakah itu? Apakah lukisan benang lima warna yang ruwet dan awut-awutan?" "Wah, celaka....! Dasar engkau masih gila, belum sembuh benar, maka tidak bisa mengerti. Itu adalah lukisan yang bernama KECERDASAN!" Biauw Eng menelan ludah bersama sumpah serapah yang sudah berada di ujung lidah. Lukisan berjudul Kecerdasan? Kecerdasan orang gila! "Karena engkau gila maka engkau tidak dapat menikmati keindahannya. Lihat saja, betapa goresan si pelukis menjiwai lukisannya. Betapa jelas menggambarkan kecerdasan manusia, seperti benang-benang sutera halusnya, dapat menyusuri setiap liku-liku hidup dan seisi alam mayapada. Hemmm, betapa hebatnya si pelukis!" Nenek itu mengangguk-angguk. "Dan yang hitam semua itu, Subo. Apakah itu lukisan keindahan waktu malam gelap tiada bulan?" "Wah-wah, dasar gila! Itu namanya lukisan ketenangan! Dan yang titik-titik hitam di atas putih itu bamanya lukisan Titik-titik Dosa." Bukan main! Biauw Eng tidak berani memandang atau bertanya lagi, bukan takut disebut gila oleh gurunya, melainkan takut kalau-kalau ia akan betul-betul gila jika ia dapat mengerti lukisan-lukisan seperti itu! Para anak buah pasukan baju kuning yang kemudian ternyata merupakan pelayan-pelayan dan juga murid-murid si nenek, datang membawa hidangan yang masih mengepul panas. Semua mangkok dan panci berisi hidangan itu mereka taruh di atas meja sambil mengerahkan sinkang mangkok-mangkok itu tertekan di dalam permukaan meja dan tidak jatuh biarpun permukaan itu miring. "Mari kita pesta, hayo makan, Biauw Eng!" Biauw Eng mengambil mangkok dan sumpit, akan tetapi begitu sumpitnya menjadi sepotong daging di dalam panci, ia hampir menjerit karena yang disumpinya itu adalah buntut seekor kadal! Tiba-tiba, sebelum ia membuang buntut itu sambil menggigil jijik, kakinya diinjak orang dan ia tahu bahwa yang menyentuh kakinya itu kaki Hun Bwee yang duduk di sebelah kirinya. Ia menoleh dan melihat sedetik mata yang indah dari gadis baju merah itu berkedip. Biauw Eng melihat Hun Bwee sengaja menyumpit sebutir kepala kadal yang mata melotot, lalu memasukkan kepala ini ke mulutnya yang merah dan mengunyah, kelihatan enak sekali! Biauw Eng menelan ludah, hampir muntah. Akan tetapi ia maklum bahwa kalau ia menolak hidangan itu, gurunya yang gila akan marah dan sucinya itu telah memberi isyarat. Mengapa sucinya memberi isyarat ? Ia sambil memejamkan mata seperti orang makan jamu pahit ia memasukkan buntut itu ke mulutnya dan... Ternyata rasanya enak gurih dan baunya sedap. Entah bumbu apa yang digunakan, akan tetapi buktinya enak! Rasa enak ini mengurangi kemuakkannya dan mulailah dia ikut makan. Dapat dibayangkan betapa muak rasa perut Biauw Eng ketika mendapat kenyataan bahwa yang dimasak itu adalah binatang yang tidak biasa dimakan orang waras. Ada sop cacing, ada tim cecak, goreng kacoa kering, ca ular berbisa dan kadal godok! "Hayo makan yang kenyang, ini rasakan sopnya, wah lezat sekali!" Nenek itu berkata dan sekali sumpitnya bergerak seonggok cacing memasuki mangkok Biauw Eng! Gadis ini membelalakan matanya, hampir menjerit, akan tetapi kembali Hun Bwee berkedip kepadanya ! Biauw Eng meramkan mata, menyumpit cacing dan memasukkan ke mulutnya. Ihhhh, memang enak rasanya akan tetapi licin dan seolah-olah cacing-cacing itu masih hidup, terus saja meluncur memasuki tenggorokannya terus ke perut. Perut Biauw Eng mual dan hampir ia muntah, dan hanya dengan kekuatan kemauannya saja ia dapat bertahan. *** Setelah pesta makan, nenek itu lalu menari dan semua orang menari, termasuk Biauw Eng. Gadis ini selalu berusaha mencontoh Hun Bwee, akan tetapi melihat sucinya itu mengegal-egolkan pantatnya yang bulat membusung, menjadi geli dan tertawa bergelak. "Eh, mengapa engkau berduka? Mari bergembira!" Nenek itu menvela melihat Biauw Eng tertawa dan... Dia lalu menangis tersedu-sedu sambil menari. Biauw Eng terbelalak heran, lebih lagi kaget dan herannya melihat Hun Bwee juga juga menangis sambil menari. Juga tiga belas pelayan wanita itu menangis semua, ada yang merauang-raung, ada yang sesunggukan, ada yang mengguguk, ada yang terisak-isak. Mereka menangis sambil menari, menggoyangkan pinggul, meliak-liukkan pinggang yang ramping! Benar-benar lucu dan aneh dan.... Gila! Terpaksa Biauw Eng juga ikut menangis dan karena ia teringat akan nasibnya,betapa ia sampai tersesat ke dunia gila dan terpaksa ikut-ikutan gila, tangisnya paling menyedihkan! Hal ini menyenangkan hati nenek itu. Ia menepuk-nepuk pundak biauw Eng sambil menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara terputus-putus, "Aahhh... Muridku yang baik.... engkau paling gembira... Ah, hu-hu-huuu, bagus... Engkau menikmati pesta ini... Hu-hu-huuukkk!" Episode 255 Biauw Eng merasa pening kepalanya, tidak tahu apakah ia harus tertawa atau menangis. Akan tetapi hatinya penuh duka, dan ia sengaja mengenangkan ibunya, mengenangkan Keng Hong sehingga hatinya seperti diremas-remas dan tangisnya makin mengguguk. Akhirnya pesta berakhir dan Biauw Eng disuruh mengaso, tidur bersama Hun Bwee. Kamar tidurnya juga membuat ia menarik napas panjang. Bukan dipan dengan kasur empuk, melainkan dipan kasar dengan "kasur" batu-batu karang yang runcing dan tajam. Ia bekan beristirahat naanya, melainkan menyiksa diri! Melihat wajah suoinya muram Hun Bwee berbisik. "Sumoi, kau harus pandai menyesuaikan diri. Pilihlah, tidur di atas dipan, atau tidur bersila di lantai atau tidur... Berdiri." Biauw Eng kehilangan kesabarannya. Disabarnya tangan sucinya dan ia berkata, "Suci, apa artinya ini semua? Aku tahu betul, engkau tidak gila!" "Sssttttt....!" Hun Bwee menarik tangan sumoinya, diajak duduk di atas lantai dan ia berbisik lirih sekali di dekat telinga suoinya. "Kalau subo tahu, kita tentu akan dibunuhnya. Engkau ingin memperdalam ilmu silat, bukan?" Biauw Eng mengangguk. "Sudah kuduga, maka engkau mau menjadi murid. Aku pun begitu hanya subolah yang akan dapat menggembleng kita. Aku baru setahun di sini akan tetapi ilmuku maju pesat secara luar biasa. Demi tercapainya cita-cita kita harus berani berkorban dan di sini kita hanya berkorban menyesuaikan diri dalam dunia yang tidak normal. Akan tetapi kau tunggu saja, hal ini bahkan akan dapat memberi kemajuan kepada ilmu silatmu. Setahun yang lalu, ketika aku tiba di sini, kepandaianku masih jauh di bawah tingkatmu sekarang." Biauw Eng terkejut. Kalau begitu jelas bahwa kemajuan yang diperoleh sucinya memang hebat sekali. "Suci, siapakah subo itu.." "Mari kita berbaring di atas dipan batu-batu karang itu. Baik sekali untuk latihan ginkang. Aku dapat menempelkan mulut ke telingamu dan kita dapat mengobrol dengan leluasa tanpa khawatir terdengar orang lain." Hati Biauw Eng girang sekali. Kenyataan bahwa sucinya bukanlah orang gila seperti guru mereka dan para pelayan, memberi hiburan yang amat besar dan berpengaruh sehingga rasa mual di perutnya seketika lenyap. Kalau dia harus berpura-pura gila dan makan masakan yang menjijikan itu, kini ia tahu bahwa dia tidak menderita sendirian, ada Hun Bwee yang juga sama dengan dia nasibnya! Kedua dara ini lalu membaringkan diri di atas dipan berkasur batu karang dan melihat betapa sucinya dapat berbaring dengan enak Biauw Eng menjadi kagum akan ginkang sucinya. Ia pun lalu mengerahkan ginkangnya dan berbaring di sebelah sucinya yang kini ia tahu sengaja mengajak dia untuk dijadikan teman agar penderitaaannya menjadi ringan. Tahulah ia mengapa sucinya ini tadi sengaja memaki-maki dia gila akan tetapi dapat disembuhkan. Diam-diam ia berterima kasih kepada Hun Bwee dan merasa suka kepada sucinya ini. Mereka berbisik-bisik dan Hun Bwee menceritakan pengalamannya lebih dulu. Kini mereka bicara sewajarnya seperti orang waras dan Hun Bwee kelihatan berduka sekali, bercerita sambil bercucuran aiar mata. "Namaku Tan Hun Bwee, orang tuaku meninggal duni karena tekanan batin, tidak berhasil membalas dendam kepada musuh besarnya. Aku berusaha melanjutkan cita-cita mereka membalas dendam, akan teetapi musuh besar itu telah tewas. Aku bertemu dengan murid musuh itu, hendak kubalas dendam kepada muridnya, akan tetapi .... aku.... Aku.... Malah diperkosanya...!" Gadis itu menutupi mukanya dan menangis tanpa suara. Biauw Eng memeluknya. "Aduh, sungguh buruk nasibmu, Suci. Siapakah jahanam itu? Biar kelak aku membantumu menghancurkan kepalanya!" Hun Bwee menggeleng kepala. "Marilah kita berjanji Sumoi. Kita tidak akan mencampuri urursan kita masing-masing. Urusan pribadi kita harus kita selesaikan sendiri dan marilah kita disini saling melatih agar dapat cepat memperoleh hasil, yaitu kepandaian tinggi untuk membalas dendam." Biauw Eng menarik napas panjang. Ada benarnya kata-kata sucinya ini. Urusan pribadi memang tidak baik kalau dicampuri orang lain, biarpun yang mencampuri itu saudara seperguruan sendiri. "Baiklah, Suci." Tentu saja Biauw Eng sama sekali tidak pernah mimpi bahwa musuh besar yang dimaksudkan oleh Hun Bwee adalah ayahnya sendiri. Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, dan bahwa murid musuh besar yang dikatakan memperkosa dirinya itu bukan lain adalah...Keng Hong. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Tan Hun Bwee, puteri mendiang Hek-houw Tan Kai Sek atau Tan-piauwsu yang bersama isterinya mati karena tekanan batin tak mampu membalas dendam kepada Sin-jiu Kiam-ong, telah bertemu dengan Keng Hong dan betapa dia telah diperkosa oleh Lian Ci Tojin tokoh Kun-lun-pai yang menyeleweng dan menjadi hamba nafsu berahi, kemudian betapa Hun Bwee ditolong oleh Keng Hong akan tetapi menyangka pemuda itu telah memperkosanya. "Sumoi, sekarang ceritakanlah pengalamanmu. Tentu pengalamanmu hebat pula, tidak kalah sengsara dari pengalamanku, maka engkau kelihatan seperti orang yang putus asa. Kalau kau tidak keberatan, ceritakanlah pengalamanmu kepadaku, Sumoi." Diam-diam Biauw Eng merasa terharu mendengar ucapan Hun Bwee yang terdengar penuh kasih sayang. Suara seperti ini belum pernah ia dengar, dari mulut ibunya yang bersuara dingin pun belum pernah. Hanya pernah dari suara Keng Hong.... Akan tetapi, pemuda itu hanya menjual madu di bibir! Merasa betapa ia seolah-olah mendapat seorang kakak, ia lalu merangkul leher Hun Bwee dan menangis terisak-isak di dada gadis itu. Hun Bwee mengelus-elus rambut yang hitam berombak itu dan gadis itu pun menangis. Keduanya bertangisan, tangis karena terharu, tangis yang wajar dan tulen, tidak seperti tangis ketika mereka berdua menari-nari tadi. "Kalau berat hatimu, tak usah kau ceritakan, Sumoi." "Tidak, Suci... Engkau kuanggap enciku sendiri.. akan tetapi karena janjimu tadi, biarlah kuceritakan tanpa menyebut nama. Namaku memang Sie Biauw Eng, Ayahku telah meninggal dunia dan ibuku dibunuh secara keji sekali oleh suciku sendiri, murid ibuku! Aku telah mencarinya, akan tetapi dia telah memperdalam ilmunya dan kini menjadi seorang yang amat lihai, aku bukan tandingannya sehingga aku hampir putus harapan untuk dapat mengalahkannya. Episode 256 Selain itu aku... aku, ah... aku mencinta seorang pemuda, akan tetapi dia ternyata berhati palsu, hanya mencinta jasmaniku dan aku tidak sudi... Ahhh...." "Sudahlah, Sumoi. Aku dapat mengerti kesengsaraan hatimu. Aku pun mencinta seorang pria, cinta yang baru bersemi karena melihat dia tampan dan gagah perkasa, akan tetapi dia.. dialah yang memperkosa aku..." Kedua orang gadis itu menjadi akrab, merasa senasib sependeritaan, terutama sekali sependeritaan dalam menyesuaikan diri di tempat itu, di antara sekumpulan orang gila! "Suci, siapakah sebenarnya subo? Benarkah dia amat lihai?" "Untik masa sekarang agaknya sukar dicari orang yang lebih lihai dari dia. Engkau tahu, itu Go-bi Chit-kwi yang disohorkan amat lihai, pernah dihajar mati-matian oleh subo sehingga mereka bertujuh merangkak-rangkak minta ampun, baru dibebaskan oleh subo. Kiraku hanya ada satu orang yang mungkin dapat menandinginya, yaitu laki-laki yang pernah mematahkan hatinya, Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong!" "Ohhhhh....!" Biauw Eng terkejut. "Kenapa, Sumoi? Pernahkah engkau mendengar nama Sin-jiu Kiam-ong?" "Tentu saja. siapakah yang tidak mendengar namanya?" Diam-diam Biauw Eng merasa lega bahwa sucinya tidak pernah mendengar nama julukannya sehingga tidak tahu bahwa dia adalah puteri Lam-hai Sin-ni, sungguhpun andaikata tahu sekalipun, tidak ada halangannya. Demikianlah, sejak hari itu Biauw Eng menjadi murid nenek itu yang tidak ada orang mengenal namanya. Bahkan Tan Hun Bwee pun hanya mengenalnya sebagai Go-bi Thai-houw (Ratu Go-bi). Biauw Eng dilatih bersama Hun Bwee, akan tetapi tidak sama latihan mereka. Hal ini adalah karena dasar ilmu silat yang mereka miliki jauh berbeda. Nenek itu mempunyai cara mengajar yang amat lucu dan aneh, disesuaikan dengan dasar kepandaian mereka, akan tetapi tampaknya ilmu silat murid-muridnya itu malah "dirusak" karena semua diubah variasinya, diisi gerakan-gerakan seperti orang gila, sungguhpun dasarnya tetap tidak diubah. *** Dan Biauw Eng mendapat penjelasan dari sucinya yang membuat ia mulai mengerti mengapa pelajaran nenek itu dapat mendatangkan kemajuan yang cepat luar biasa. Kiranya, keadaan nenek yang gila ini serba terbalik dari orang waras, sehingga kalau bergembira ia menangis, sebaliknya kalau berduka ia tertawa. Justeru orang yang dapat menguasai perasaan ini menimbulkan kekuatan batin yang hebat, yaitu dapat tertawa dalam duka dan dapat menangis dalam suka! Sikap seperti ini biasa saja bagi orang gila, akan tetapi kalau dilaksanakan oleh orang waras, merupakan latihan batin yang amat berat dan hasilnya pun bukan main besarnya, karena orang yang dapat melakukannya, berarti dapat mengatasi perasaan dan nafsu-nafsunya. Orang yang tidak dikuasai oleh nafsu, berati selalu dalam keadaan "tiong-yong" (lurus, tegak, tidak berat sebelah). Kalau datang nafsu-nafsu seperti suka-duka marah dan lain-lain, maka perimbangannya menjadi tidak lurus lagi, menjadi miring dan tentu saja hal ini membayangkan kelemahan batin yang dapat mendorong orang lupa diri dan melakukan hal-hal yang menyeleweng. Dalam ilmu silat pun perlu sekali orang dapat mengatasi semua nafsu, karena ia akan menjadi kuat batinnya dan dengan cepat tenaga sakti (sinkang) di tubuh yang terbenam dalam pusar akan menjadi makin kuat. Karena pada dasarnya ilmu kepandaian Biauw Eng memang lebih tinggi daripada tingkat Hun Bwee, setelah belajar selama setahun saja, tingkat kepandaian Biauw Eng sudah melampaui tingkat Hun Bwee. Melihat ini, diam-diam, Hun Bwee menjadi kagum dan menduga-duga siapakah tadinya guru sumoinya ini. Akan tetapi ia tidak menjadi iri hati karena selama setahun ini ia mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng seorang dara yang amat baik budi sehingga hubungan di antara mereka seperti kakak beradik saja. mereka berdua tekun belajar dan berlatih terus di bawah pengawasan Go-bo Thai-houw yang biarpun gila, akan tetapi ternyata amat tekun mengajar dan banyak macam ilmu aneh ia turunkan kedua muridnya. Kita tinggalkan dulu Hun Bwee dan Biauw Eng yang belajar dengan tekun sekali karena keduanya mempunyai cita-cita. Mari kita mengikuti perjalanan Keng Hong yang telah lama kita tinggalkan. Semenjak pertemuannya dengan Siauw-bin Kun-cu, mulailah Keng Hong dengan sabar sekali melakukan pengintaian untuk dapat bertemu dengan Cui Im di luar kota sehingga ia akan dapat menyergap dan memaksa wanita itu mengembalikan semua pusaka peninggalan gurunya. Akan tetapi sampai tiga bulan lebih ia mengintai dan menunggu, tidak pernah Cui Im mendatangi pondok merah di luar kota raja yang ditunjukkan oleh Tio Hok Gwan itu. Ternyata bahwa Cui Im amat cerdik dan sudah dapat menduga bahwa Keng Hong tentu takkan tinggal diam dan akan berusaha menemuinya di luar istana atau luar kota raja sehingga gadis yang cerdik ini jarang sekali meninggalkan istana. Selain itu, juga Cui Im menyebar banyak mata-mata untuk menyelidiki sehingga akhirnya ia malah tahu bahwa Keng Hong mengintai dan menantinya di luar kota raja, menunggu dia datang ke pondok merahnya! Tentu saja diam-diam Cui Im menetertawakan Keng Hong, malah gadis ini yang mencari akal muslihat bagaimana caranya melenyapkan Keng Hong dari muka bumi karena selama pemuda itu masih hidup, tentu dia tidak akan merasa aman. Cui Im mengerti bahwa dia sendiri takkan dapat mengalahkan Keng Hong, bahkan biarpun ia dibantu oleh Siauw Lek sekalipun, belum tentu akan dapat menandingi Keng Hong. Dia merasa ngeri ketika menyaksikan pertandingan antara Hok Gwan dan Keng Hong, apalagi melihat betapa Keng Hong telah menguasai Thi-khi-I-beng demikian mahirnya, tidak seperti dulu. Tidak ada jalan baginya, untuk dapat menandingi Keng Hong, selain bantuan Siauw Lek. Dia harus mendapat bantuan orang-orang pandai seperti Pak-san Kwi-ong dan beberapa orang rekannya pengawal rahasia yang berilmu tinggi. Mereka berjumlah tujuh orang. Tentu saja tugas mereka tak mungkin dapat ditinggalkan. Sedikitnya harus tiga orang yang menjaga keselamatan kaisar. Kalau ia dibantu Pak-san Kwi-ong dan Kemutani saja, datuk persilatan peranakan Mongol itu, bersama Siauw Lek, agaknya mereka berempat akan dapat menandingi Keng Hong. Mendengar dari para penyelidiknya bahwa Keng Hong selalu menanti di luar kota raja sebelah barat, tak jauh dari sebuah pondok kecil mungil warna merah yang telah lama selalu kosong seperti kosongnya hati Keng Hong yang mengintai dengan sabar sampai berbulan-bulan, Cui Im lalu mengajak Pak-san Kwi-ong berunding, "Engkau telah menyaksikannya sendiri, Kwi-ong, ketika Keng Hong melawan Tio Hok Gwan. Dia telah menguasai Thi-khi-I-beng (Mencuru Hawa Pindahkan Nyawa). Kalau dia tidak dilenyapkan dari muka bumi, bukankah kelak nama kita akan hancur olehnya?" "Ha-ha-ha-ha-ha! Nama siapa yang akan hancur, Ang-kiam?" Pak-san Kwi-ong seperti biasa tertawa bergelak dan dia memang tidak pernah mau menyebit Cui Im dengan julukan lengkapnya, yaitu Ang-kiam Bu-tek. Dia tidak mau menyebut gadis itu Bu-tek (Tanpa lawan) karena hal ini akan membuat dia seperti mengaku bahwa gadis itu tidak ada lawannya, berarti dia sendiri pun menyatakan takluk! Maka ia hanya menyebut Ang-kiam (Pedang Merah) saja. "Antara dia dan aku tidak ada urusan sesuatu yang dicarinya bukan aku melainkan engkau. Urusan pribadimu dengan dia kau bereskan sendiri saja kalau kau mampu menghadapinya, ha-ha-ha! Mengapa harus aku mencapuri urusanmu?"

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger