naruto

naruto

Kamis, 29 November 2012

pdk haru 262 --- 266

Episode 262 "Benar, Yap-siangkong. Karena itu, marilah kau ikut denganku dan kucarikan tempat penginapan yang patut untukmu. Marilah!" Pemuda kelihatan canggung dan malu, akan tetapi dia melangkah dan berjalan di samping nona itu yang bicara dengan senyum-senyum, "Percayalah, Siangkong, saya tidak mempunyai niat buruk terhadap Siangkong, saya tahu bahwa Siangkong seorang yang pandai dan terpelajar. Sebagai seorang asing di sini, kasihan kalau Siangkong tidak mendapatkan tempat yang layak." *** Cui Im membawa Cong San ke sebuah hotel terbesar di kota raja. Melihat pakaian para pelayan di situ dan melihat tempat penginapan yang besar, tamu-tamu yang berpakaian mewah, Cong San dapat menduga bahwa kalau dia muncul sendirian di situ agaknya dia akan dipandang rendah dan tentu biaya penginapan di situ amat ahal. Diam-diam ia menghitung bekalnya yang tidak banyak. Akan tetapi karena dia datang bersama Cui Im, para pelayan sibuk menyambut mereka berdua, bahkan kuasa hotel itu sendiri menyambut sambil membongkok-bongkok sehingga pinggangnya hampir patah. "Selamat datang, selamat datang, Lihiap (Pendekar Wanita)! Sungguh merupakan kehormatan besar mendapat kunjungan Lihiap. Apakah Lihiap hendak menggunakan kamar? Ataukah ada perintah lain yang harus kami lakukan?" kata kuasa hotel itu tersenyum-senyum dan juga tidak lupa menyoja dengan hormat kepada Cong San. Cui Im tersenyum dan melirik ke arah Cong San seperti hendak membanggakan diri atas sikap kuasa hotel dan para pelayan itu. "Tidak, bukan aku yang membutuhkan kamar, melainkan sahabat baikku, Yap-siangkong ini. Harap kau suka memberi kamar terbaik untuknya dan melayaninya dengan baik pula." "Tentu... Tentu, Lihiap. Marilah, Yap-siangkong!" Kuasa hotel itu menjura kepada Cong San. Pemuda ini cepat berkata kepada Cui Im, "Banyak terima kasih, Nona." "Ah, diantara sahabat mengapa banyak sungkan, Siangkong?" bantah Cui Im mengharap Siangkong akan memenuhi undanganku untuk minum arak malam nanti." Cong San hendak membantah, akan tetapi nona itu sudah melangkah keluar, di ruangan depan ia menengok sambil tersenyum dan berkata, "Saya akan mengirim utusan mengundangmu, Siangkong." Lalu dengan langkah ringan dan lincah, Cui Im keluar, meloncat ke atas kudanya dan membalapkan kuda pergi dari situ, meninggalkan debu mengepul di halaan hotel. "Yap-siangkong amat beruntung menjadi sahabat baik Bhe-lihiap," kuasa hotel itu berkata sambil tertawa, "Silakan, Siangkong." Terpaksa Yap Cong San mengikuti kuasa hotel itu, dipandang oleh para pelayan yang tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk. Setelah mereka memasuki sebuah kamar yang besar, lengkap dengan perabotan dan amat bersih, Cong San menjadi khawatir dan berkata, "Twako, terus terang saja, sahabatku nona Bhe Cui Im itu agak berlebihan. Aku seorang miskin, bagaimana dapat menyewa sebuah kamar sebesar dan semewah ini? Beri padaku sebuah kamar yang kecil saja, yang paling murah." "Aiiihhhhh, mana bisa begitu. Saya masih sayang akan nyawa saya, Siangkong. Lihiap telah menentukan kamar yang terbaik untukmu, mana berani saya melanggar perintahnya? Harap Siangkong tidak merendahkan diri. Sebagai sahabat lihiap, saat ini Siangkong menjadi tamu agung bagi kamu." "Tapi.... tapi... " Cong San memegang lengan kuasa hotel yang hendak meninggalkan kamar itu. "Saya... Tidak akan kuat membayar! Berapa sewanya sehari semalam, Twako?" "Ha-ha-ha-ha-ha! Siangkong berkelakar! Mana berani saya menerima uang sewa dari Siangkong? Tidak usah bayar, biar sampai sebulan sekalipun. Nah, selamat beristirahat, Siangkong. Pelayan akan siap menjaga di luar dan menanti segala perintah Siangkong." Cong San berdiri tertegun di tengah kamar, kemudian dia menghela napas panjang dan menutup daun pintu, meletakkan buntalan besar di atas meja kemudian dia tertawa seorang diri mengingat segala peristiwa, peristiwa-pwristiwa yang sama sekali tidak pernah diduganya! Benar saja pelayan hotel itu bersikap amat hormat kepadanya dan melayani segala keperluan. Cong San juga tidak sungkan-sungkan lagi, malah minta disediakan air panas untuk mandi dan pada sore hari itu ia memesan makanan yang cepat diantar ke kamarnya. Setelah makan sore, dengan pakaian yang bersih, sedangkan pakaiannya yang kotor cepat-cepat dicuci oleh para pelayan, dia duduk di kamarnya membaca buku. Melihat kitab yang dibacanya, yaitu kitab-kitab Susi Ngokeng, para pelayang maklum bahwa pemuda ini adalah seorang terpelajar yang datang dari jauh untuk mengikuti ujian negara. Sementara itu, Cui Im sudah berunding dengan tiga orang pembantunya, yaitu Siauw Lek, Pak-san Kwi-ong dan Kemutani. Penjagaan sekitar kamar kaisar diserahkan kepada Gu Coan Kok, Hok Ku dan Cou Seng. Kemudian tiga orang pembantunya itu diam-diam berangkat keluar dan bersembunyi di dekat pondok merah di luar kota raja sebelah barat. Adapun Cui Im lalu mengirim seorang pelayan ke rumah penginapan untuk memberi tahu kepada Cong San, melalui sebuah surat yang ditulisnya sendiri. Ketika Cong San yang sedang membaca kitab di kamarnya itu diberi tahu oleh pelayan hotel dan menerima surat dari pelayan istana, dia terkejut dan cepat merobek sampulnya dan membaca surat dengan kertas merah wangi dengan tulisan yang tidak terlalu buruk bagi seorang wanita yang begitu ditakuti orang. Ternyata surat itu memberitahukan bahwa Bhe Cui Im mengundangnya untuk minum arak sambil bicara tentang sastra di pesanggrahan wanita itu, dan bahwa Cong San diminta untuk bersiap-siap karena akan dijemput sendiri oleh wanita cantik itu! Cong San, mengangguk-angguk dan berkata kepada pelayan utusan, "Harap sampaikan terima kasihku kepada nona Bhe, dan katakan bahwa aku siap." Setelah utusan itu pergi, Cong San cepat berganti pakaian yang paling baik, juga berwarna hijau pupus, kemudian dia menanti di luar kamarnya. Malam telah mulai gelap dan lampu-lampu telah di nyalakan ketika terdengar derap kaki kuda dan seorang pelayan hotel berlari-lari menyampaikan warta bahwa "lihiap" telah menanti di luar. Cong San menutup pintu kamarnya dan dia berjalan keluar. Episode 263 Diam-diam dia kagum juga melihat Cui Im yang berdandan serba indah, kelihatan cantik dan gagah perkasa, sedangkan bau yang harum semerbak menyambut hidungnya ketika wanita itu mendekat. "Ah, engkau baik sekali, Siangkong. Ternyata telah siap. Mari kita segera berangkat sebelum malam terlalu gelap." "Berangkat ke mana? Di manakah pesanggrahan itu, Nona?" "Tidak jauh kalau berkuda. Marilah arak dan hidangan telah tersedia di sana! Siangkong duduk di depan atau di belakang?" Muka Cong San menjadi merah sekali. Untung bahwa cahaya lampu di ruangan depan hotel itu juga merah sehingga warna mukanya tidak terlalu kentara, akan tetapi andaikata ketahuan juga, para pelayan yang berada di situ tidak ada yang berani mentertawainya. "Maksudmu... Kita berboncengan?" tanyanya, agak gugup karena memang selama hidupnya, biar usianya sudah dua puluh lima tahun, belum pernah dia berdekatan dengan wanita, apalagi boncengan menunggang kuda!" Cui Im tertawa senang. Makin sukalah ia kepada pemuda yang masih "murni" itu, dan ia berkata merdu, "Maaf, Siangkong. Karena tergesa-gesa, saya hanya membawa seekor kuda. Terpaksa kita boncengan!" "Ah, mana saya berani, Nona? Biarlah Nona menunggang kuda aku berjalan kaki saja." "Mana bisa begitu, Siangkong? Apakah Siangkok merasa jijik duduk dekat dengan saya? Ataukah ... Siangkong tidak sudi menerima undanganku?" "Eh...., eh, bukan begitu, Nona. Engkau sudah begitu baik... Hanya, saya suka berjalan kaki dan... Saya senang sekali memenuhi undangan Nona..." Cong San berkata gagap. "Nah, kalau begitu, kita harus boncengan. Jangan khawatir, kudaku ini kuat sekali, biar ditunggangi empat orang yang kuat. Tempat saya itu dekat kalau menunggang kuda, akan tetapi terlalu jauh kalau jalan kaki, di luar kota raja. Siangkong telah melakukan perjalanan jauh, tentu lelah kalau berjalan. Marilah Siangkong suka di depan atau di belakang?" Melihat wanita cantik itu bicara terang-terangan di depan banyak pengawal yang tentu ikut mendengarkan, Cong San khawatir kalau menjadi buah tertawaan maka dia lalu berkata, "Biarlah.... Aku di belakang saja, Nona." Cui Im tertawa dan Cong San merasa betapa pipi dan telinganya panas. Ia sadar akan kebodohannya. Kalau dia di belakang, ah, seolah-olah dia merasa senang memangku tubuh yang montok itu. Akan tetapi bagaimana? Masa dia seorang laki-laki harus duduk di depan? Akan tetapi Cui Im sudah meloncat ke atas punggung kuda, menggeser ke depan dan berkata, "Memang seharusnya Siangkong di belakang, karena saya yang tahu jalan dan saya yang mengendalikan kuda. Marilah, Siangkong!" Yap Cong San menghampiri kuda dan kelihatan bingung dan malu. "Kuda begitu tinggi.." "Meloncatlah!" kata Cui Im yang menganggap meloncat ke punggung kuda seperti permainan kanak-kanak saja. "Saya... Saya tidak bisa....!" Cong San berkata dan para pelayan yang mendengar ini pun tidak dapat menyalahkan si pemuda karena bagi yang tidak ada kepandaian, apalagi yang tidak biasa menunggang kuda, meloncat setinggi itu bukan pekerjaan mudah. Lebih-lebih karena di atas punggung kuda itu sudah ada orangnya! "Mari tanganmu, kubantu!" Cui Im berkata, kehilangan kesabaran karena ia sudah ingin cepat-cepat berdua dengan pemuda yang menggugah nafsunya ini. Cong San mengulur tangan, ditangkap oleh tangan kecil halus itu dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas, ditarik oleh tenaga yang hebat bukan main. Tahu-tahu dia telah duduk di belakang tubuh nona itu. *** "Berpeganglah kuat-kuat!" kata Cui Im dan kuda itu sudah meloncat ke depan. Cong San memegangi sela kuda dengan kaku, tubuhnya terguncang dan miring-miring. "Eh, awas, engkau nanti jatuh. Berpeganglah padaku, peluk pinggangku kata Cui Im yang membalapkan kudanya lebih cepat lagi dengan maksud agar si pemuda menjadi ketakutan. Benar saja, terpaksa Cong San merangkul pingang yang ramping itu sehingga diam-diam Cui Im menjadi girang bukan main, tubuhnya terasa panas semua karena nafsu berahinya sudah berkobar! Sela kuda itu legok bagian tengahnya. Karena Cui Im duduk di pinggir depan dan tubuh Cong San duduk di pinggir belakang tentu saja tubuh mereka merosot ke tengah dan berada di bagian yang melekuk. Cong San yang jauh daripada pengaruh nafsu, merasa malu dan canggung dan malu sekali. Tubuh bagian depannya terpaksa berhimpitan dengan tubuh belakang wanita itu yang lunak, halus dan hangat. Beberapa kali Cui Im terkekeh genit dan sengaja menggeser makin ke belakang sehingga tubuh mereka merapat berhimpitan! Bahkan kadang-kadang, kalau kuda meloncat, tubuh wanita itu melambung dan terjatuh di atas paha Cong San sehingga tubuh wanita itu seperti dipangkuannya, sedangkan pinggang wanita itu dipeluknya! Para penjaga pintu gerbang di barat tadinya menghadang, akan tetapi melihat Cui Im, mereka memberi hormat dan tertawa lalu membukakan pintu gerbang, membiarkan kuda wanita itu lewat tanpa gangguan sedikit pun. Setelah keluar dari pintu gerbang, kuda membalap cepat dan tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah pondok merah yang indah dan diterangi lampu-lampu dengan teng berkembang. Tiga orang pelayan yang bertubuh tinggi besar segerta menyambut, seorang menerima kuda, dan dua orang mengiringkan Cui Im dan Cong San memasuki pondok merah. Cong San terbelalak kagum menyaksikan isi pondok yang ternyata mewah dan serba indah. Di dalam pondok terdapat sebuah ruangan dan disitu tampak sebuah pintu terbuka, memperlihatkan sebuah kamar tidur yang mentereng dan bau harum semerbak keluar dari kamar tidur yang terbuka menantang itu. Di dalam ruangan terdapat sebuah meja dengan dua bangku dan hidangan yang masih hangat mengepul telah tersedia di atas meja. "Duduklah, Siangkong. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa dan enak sambil akan minum." Episode 264 Yap Cong San mengerutkan alisnya sebentar, akan tetapi dia mengangguk dan duduk di atas bangku, berhadapan dengan Cui Im. Dua orang pelayan yang kelihatan kuat dan sigap itu keluar dari ruangan setelah menutupkan pintu ruangan itu. Sambil tersenyum-senyum Cui Im menuangkan arak ke dalam cawannya dan cawan di depan Cong San sambil berkata, "Siangkong, mari kita minum demi persahabatan kita!" Cong San mengangkat cawan dan minum araknya sekali teguk. Cui Im tertawa manis. "Siangkong sungguh amat baik, suka bersahabat dengan seorang kasar seperti saya." "Ah, Nona. Sesungguhnya sayalah yang harus malu. Nona adalah seorang yang berpengaruh dan berkuasa, dan.... hemmm, melihat sikap semua orang, melihat cara Nona menunggang kuda dan tadi menarikku ke atas kuda dan tadi menarikku ke atas kuda, saya dapat menduga bahwa Nona tentulah seorang yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi. Bahkan pengurus hotel menyebut Nona lihiap. Sedangkan saya, seorang kutu buku yang lemah, seorang pelajar yang canggung dan seorang sasatrawan yang miskin." "Wah-wah-wah, Siangkong terlalu merendah diri!" Cui Im menuangkan lagi arak dari guci ke dalam cawan mereka. "Silakan minum demi....eh, rasa suka di hatiku terhadap Siangkong!" Ia mengerling tajam penuh arti. Merah wajah pemuda itu ketika mengangkat cawannya. "Terima kasih, Nona. Aku ...., eh, tidak berharga untuk rasa suka Nona yang gagah perkasa dan terhormat." Akan tetapi ia minum juga araknya. Setelah meletakkan cawan kosong di atas meja Cong San berkata, "Semenjak dahulu, banyak saya membaca tentang sepak terjang seorang pendekar wanita. Kini dapat bertemu, bersahabat, bahkan bercakap-cakap dengan seorang pendekar wanita, betapa bangga dan girang hattti saya. Tentu Nona seorang pendekar yang kenamaan. Maukah Nona menceritakan tentang pengalaman Nona bertualang di dunia kang-ouw seperti yang saya baca di dalam buku-buku?" Cui Im sudah mabuk, bukan mabuk arak melainkan mabuk nafsu berahinya sendiri. Pemuda ini tadi ketika berhimpitan tidak tergerak nafsunya, hal itu menandakan bahwa dia termasuk golongan laki-laki kuat. Dia harus dapat membangkitkan gairahnya, menarik perhatiannya, menggugah berahinya. Dia tahu dari pengalamannya bahwa laki-laki yang tenang dan kuat seperti ini, sekali tergugah berahinya seperti laut yang tadinya tenang diamuk badai. Menghanyutkan dan menenggelamkan. Membayangkan ini, Cui Im makin mabuk, maka mendengar pertanyaan Cong San, ia berniat untuk membanggakan diri agar pemuda itu tertarik. "Yap Cong San, engkau belum mengenal siapakah wanita yang menjadi sahabatmu ini," katanya tersenyum sambil berdiri dan menarik kedua pundak ke belakang sehingga dadanya yang penuh membusung ke depan, pakaiannya yang ketat itu membuat bentuk tubuhnya yang ramping padat tampak nyata. "Aku terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Ang-kiam Bu-tek ! Bukan julukan kosong karena pedang merahku belum pernah ada yang mampu menandinginya!" Ia duduk kembali, matanya bersinar penuh bafsu berahi dan kegembiraan ketika melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan mata bersinar-sinar. "Wah, engkau tentu hebat sekali, Nona! Aku belum pernah mendangar nama itu, akan tetapi aku dapat menduga bahwa engkau tentulah murid orang pandai, mungkin murid hwesio-hwesio Siauw-li-pai yang kudengar merupakan orang-orang sakti yang berkepandaian seperti dewa." "Hi-hi-hi-hi-hi-hik! Hwesio Siauw-lim-pai? Mereka itu bukan apa-pa! Thian Ti Hwesio, tokoh Siauw-lim-pai tingkat dua itu dengan mudah saja roboh dan tewas di ujung pedang merahku!" "Aaaahhhhh!" Pemuda itu berseru kaget. "Tidak perlu kaget, sahabatku yang tampan! Aku mempunyai banyak musuh dan jangan kau kaget kalau andaikata malam ini ada musuhku datang menyerangku, karena pedangku akan melindungimu. Nah, katakanlah, wahai pemuda pujaan hati, apakah engkau suka kepadaku?" Cong San menelan ludah, sukar menjawab dan dia hanya dapat menggangguk. Diam-diam Cui Im girang, akan tetapi dia masih belum puas benar karena sikap pemuda itu masih membayangkan bahwa dia belum terangsang. "Mari kita makan hidangan ini!" Ia mempersilakan dan mereka lalu mulai makan. Melihat sikap Cong San masih canggung dan belum kelihatan pemuda itu tertarik, Cui Im kembali menuangkan arak, akan tetapi kini ia menuangkan arak dari sebuah guci emas yang kecil dan begitu arak dituang di dalam cawan tercium bau yang harum dan arak itu berwarna merah. "Minum, sahabatku. Mari kita minum demi.... Cinta kasih kita!" Cong San mengangkat cawan dan minum habis arak itu. Cui Im tertawa genit, lalu menawarkan masakan-masakan lezat, diterima oleh Cong San yang tidak banyak bicara lagi. Arak yang diminum Cong San adalah arak istimewa, arak buatan Cui Im yang mengandung obat perangsang yang amat kuat, yaitu Ai-ang-ciu. Belum pernah Cui Im mempergunakan arak perangsang ini sebelumnya karena setiap orang pria yang di bawanya ke pondok merah itu, tanpa minum obat perangsang pun sudah terangsang hebat oleh keindahan wajah dan tubuh Cui Im. Sekali ini terpaksa dia menggunakan araknya yang lihai karena melihat bahwa Cong San benar-benar merupakan seorang pemuda istimewa yang sukar sekali dibangkitkan gairahnya. Mereka sudah kenyang akan dan arak di guci sudah habis. Pemuda itu telah minum secawan penuh Ai-ang-ciu dan belasan cawan arak biasa, arak tua dan harum yang keras. Akan tetapi masih kelihatan "dingin" saja. hal ini membuat Cui Im yang sudah tidak kuat menahan gelora nafsunya menjadi penasaran sekali. Ia bangkit, memindahkan bangkunya ke sebelah Cong San, duduk merapatkan tubuhnya dan berbisik, "Cong San.... ah, Cong San.... belum tergerak jugakah hatimu...?" Aku suka sekali padamu..." Dalam gairah nafsunya, Cui Im memegang tangan kanan Cong San, mempermainakn jari-jari tangan pemuda itu yang halus seperti jari tangan wanita, jari tangan yang biasa dimiliki kaum sastrawan lalu menciumi tangan itu. Melihat pemuda itu masih saja dingin, Cui Im membawa tangan itu ke dadanya, dan ia mencondongkan tubuh ke depan mencium pipi Cong San. Karena gerakan ini, sebelah kakinya bergeser ke depan dan kaki itu menginjak sesuatu yang basah di lantai bawah meja. Cui Im melepaskan pipi yang diciumnya, melongok ke bawah meja. Episode 265 "Aihhh...!" Ia menjerit lirih dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, bangku yang didudukinya terguling sehingga kini tidak mengalingi lagi lantai di bawah meja yang ternyata basah oleh arak! Pada saat itu, berkelebat bayangan putih dan terdengar suara bentakan halus penuh kemarahan dan amat berpengaruh, "Cui Im, akhirnya kita dapat berhadapan juga!" Cui Im cepat memutar tubuhnya dan ia tidak kaget melihat Keng Hong telah berdiri di situ, bahkan ia lalu tertawa terkekeh, kemudian mencabut pedangnya ke arah Keng Hong sambil membentak, *** "Cia Keng Hong! Karena mendengar engkau masih berkeliaran di sini, aku memang sengaja datang untuk memancingmu keluar dari tepat sembunyimu. Sekarang dapat masuk ke pondok ini akan tetapi jangan harap akan dapat keluar sebelum meninggalkan nyawa!" Keng Hong tersenyum, mengerling ke arah pemuda tampan yang kini mundur-mundur ketakutan dan berdiri di pojok ruangan. "Sobat, seorang terpelajar seperti engkau tidak semestinya dapat terpikat oleh wanita iblis ini!" Kemudian Keng Hong memandang Cui Im dengan sinar mata tajam penuh teguran, "Bhe Cui Im, agaknya setelah engkau mati baru engkau akan menghentikan perbuatanmu yang selalu berlandaskan nafsu! Semua perbuatanmu yang telah engkau menjatuhkan fitnah atas diri Biauw Eng menipuku dan berusaha membunuhku di Kiam-kok-san, membunuh gurumu sendiri, membunuh tokoh-tokoh kang-ouw yang tidak berdosa, sungguh membuktikan bahwa engkau bukanlah manusia, melainkan iblis! Akan tetapi, masih belum terlambat bagimu untuk sadar dan bertobat." "Heh-heh-heh, Keng Hong manusia sombong! Engkau memaki aku jahat seperti iblis, apakah engkau sendiri suci dan bersih seperti dewa? Dahulu aku cinta padamu dan bersumpah untuk membasmi semua wanita yang berani mencintamu. Dan Biauw Eng ternyata cinta kepadamu! Perbuatanku itu ada dasarnya, yaitu dasar cinta padamu. Apakah kau sendiri tidak sadar bahwa engkau pun seorang yang tidak mengenal cinta dan budi? Lupakah engkau betapa kita bersama menikmati cinta kita? Kemudian engkau malah menghinaku! Dan aku membunuhi tokoh-tokoh besar, apa hubungannya denganmu? Kalau aku tidak membunuh mereka, mana bisa aku disebut Ang-kiam Bu-tek, dan apa gunanya pula susah payah mempelajari semua ilmu, hidup tersiksa selama lima tahun di dalam neraka bersama seorang pria macam engkau yang tiada ubahnya sebuah arca batu? Huh, engkau sekarang mau apa, Keng Hong?" "Cui Im, mengingat bahwa engkau, biarpun secara tidak resmi, adalah murid guruku juga, biarlah aku mengampunimu asal engkau suka memenuhi dua syaratku!" "Hi-hi-hik! Keng Hong, engkau benar-benar sombong bukan main. Akan tetapi biarlah aku mendengar dulu apa syaratmu itu?" "Pertama, sekarang juga engkau harus mengembalikan semua pusaka peninggalan suhu. Aku tidak ingin benda-benda itu, akan tetapi benda-benda itu menjadi hak milik orang-orang dan partai-partai persilatan lain, tidak boleh kau rampas dan curi begitu saja. Ke dua, mulai detik ini engkau harus bertobat, menghentikan perbuatan-perbuatamu yang jahat. Kurasa, dengan bekerja di istana, apalagi di bawah pengawasan pembesar-pembesar-pembesar sakti bijaksana seperti The-taijin, engkau akan dapat menjadi seorang manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa." Cui Im membanting kakinya dan mengelebatkan pedangnya sehingga tampak sinar merah, "Keng Hong, syarat-syaratmu adalah syarat yang hendak menang sendiri. Kau katakan aku merampas dan mencuri pedang. Hendak kutanya, bagaimana pusaka-pusaka milik Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain bisa berada di tangan Sin-jiu Kiam-ong gurumu itu? Bukankah dia juga dahulu merampas dan mencurinya? Kau bilang sendiri bahwa aku juga murid Sin-jiu Kiam-ong, nah kalau benar begitu, akulah murid yang berbakti dan setia, melanjutkan cita-cita dan perbuatan guru. Sebaliknya engkau hendak mengembalikan pussaka-pusaka itu kepada peilik asal, berarti engkau hendak menentang perbuatan mendiang guru sendiri! Tidak, aku tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali tidak kepada engkau! Dan soal ke dua, kau mengatakan aku melakukan perbuatan jahat! Yang mana? Apakah bersenang-senang dengan dia itu kau anggap jahat? Bagaimana dengan engkau sendiri dengan Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai, dengan Kim Bwee Ceng dan Tan Swat Si murid-murid Kong-thong-pai itu?" "Cui Im, perempuan iblis! Engkau yang membunuh mereka, masih berani menyebut nama mereka?" "Engkau mau apa?" Cui Im menantang dan mengejek. "Kalau begitu terpaksa aku akan membunuhmu!" bentak Keng Hong yang sudah marah sekali. Cui Im mengeluarkan suara ketawa melengking tinggi sambil memutar pedangnya sehingga sinar merah bergulung-gulung menyilaukan mata. "Engkau sudah kutunggu-tunggu!" Agaknya suara ketawa melengking itu dijadikan tanda rahasia, karena tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari jendela dan Siauw Lek bersama Pak-san Kwi-ong telah berada di ruangan itu. Keng Hong tidak kaget melihat ini. Biarpun dia tidak tahu bahwa dia dipancing, namun dia sudah menduga bahwa kalau Cui Im berani muncul di malam hari itu, tentu perempuan itu mempunyai andalan dan ternyata Cui Im diam-diam membawa dua orang lihai ini untuk mengeroyoknya. "Bagus! Pak-san Kwi-ong dan Kim-lian Jai-hwa-ong memang bukan manusia baik-baik. Membunuh mereka amat berjasa bagi manusia!" Keng Hong mengeluarkan Siang-bhok-kiam dengan gerakan tenang. "Sombong..!" Teriak Siauw lek dan begitu tangannya bergerak, sinar hitam menyambar ke arah Keng Hong dan ternyata laki-laki ini membacokkan pedang Hek-liong-kiam ke arah kepala Keng Hong dari samping. Tanpa menoleh Keng Hong mengangkat Pedang Kayu Harum di tangannya. "Cringgg..!!" Hek-liong-kiam tergetar hebat sehingga hampir saja Siauw Lek tidak mampu mempertahankannya. Cepat dia memutar pedangnya sehingga getaran itu terhenti dan dia melangkah mundur. Pak-san Kwi-ong sudah melolos senjatanya pula, yaitu rantai panjang yang di kedua ujungnya bergantung dua buah tengkorak. Sambil memutar-mutar tengkorak di ujung rantai, Pak-san Kwi-ong melangkah miring, demikian pula Cui Im menggerakkan kaki sehingga Keng Hong terkurung oleh tiga orang lawannya. Episode 266 Yap Cong San yang berdiri di pojok ruangan, dengan kedua tangan gemetar menuangkan isi guci arak ke dalam cawan di tangan kirinya. Entah kapan dia mengambil guci dan cawan itu, mungkin tadi dia meninggalkan meja dengan kedua tangan masih memegang guci cawan dan kini menyaksikan ketegangan di depan mata yang membuat kakinya seperti terpaku di lantai, dia ingin menenangkan hatinya dengan minum arak! Sungguh sial bagi peuda sastrawan ini, dia mundur-mundur sehingga punggungnya menempel daun pintu untuk lebih menjauhkan diri dari mereka yang hendak bertanding, akan tetapi baru saja dia menuangkan arak, tiba-tiba daun pintu terbuka dari luar. Daun pintu itu menumbuk punggung Cong San membuat pemuda ini kaget dan hampir terperosok ke depan. Ia terhuyung-huyung dan menoleh marah saking kagetnya. Ternyata yang menerjang masuk adalah tiga orang pelayan yang bertubuh kuat tinggi besar yang tadi melayani Cui Im dan dia. Akan tetapi tiga orang pelayan itu kini memegang golok besar dan sikap mereka bukanlah seperti pelayan lagi, melainkan seperti algojo, gerakan mereka tangkas dan kuat. Memang tiga orang ini adalah tiga orang pengawal istana yang berhasil "dikait" oleh Cui Im untuk membantunya menghadapi Keng Hong malam itu. "Matamu kau taruh di mana?" Cong San membentak marah. "Membuka daun pintu tidak melihat-lihat lebih dulu!" "Eh, oh.... apa kau bilang?" Seorang di antara pengawal itu balas membentak. Dalam keadaan seperti itu mereka bukanlah pelayan-pelayan lagi, melainkan pengawal yang galak, apalagi mendengar betapa ucapan pemuda itu tidak sehalus tadi, bahkan membentak kasar. Cong San yang masih memegang guci arak di tangan kanan, cawan penuh arak di tangan kiri, berkata, "Aku bilang kalian ini tiga ekor anjing gendut yang matanya buta dan tidak tahu aturan, masuk tanpa permisi dan menubruk-nubruk seperti anjing gila!" Cui Im juga mendengar suara Cong San ini dan sedetik ia merasa heran, teringat pula akan lantai di bawah meja. Akan tetapi karena ia sedang siap mengeroyok Keng Hong yang lihai, ia tidak menengok. Adapun tiga orang pengawal yang mendengar maki-makian ini menjadi marah bukan main. "Kutu buku busuk, mulutmu lancang sekali!" Teriak mereka dan ketiganya berluba aju untuk memukul Cong San. Sungguh amat mengherankan kalau orang menyaksikan perubahan sikap pemuda sastrawan itu. Kalau tadi dia amat penakut, bahkan meloncat ke punggung kuda pun merasa ngeri, kini menghadapi ancaman tiga orang pengwal tinggi besar yang marah itu kelihatan tenang saja. Juga perubahan sikapnya yang tadi lunak halus menjadi kasar amat aneh. Melihat tiga orang itu berlumba-lumba menghampirinya, entah hendak memukul atau membacok dengan golok mereka. Cong San tenang-tenang saja, dan setelah ketiga orang itu mendekat, dia hanya menggerakkan kedua tangan dan mengangkat kaki kiri. Mungkin dia tidak bergerak, atau mungkin juga bergerak akan tetapi tentu cepat sekali karena sama sekali tidak diketahui tiga orang itu. Akan tetapi, secawan arak telah muncrat dan menyambar muka pengawal pertama yang menjerit karena muka dan kedua matanya seperti disiram air mendidih, kemudian pada setengah detik selanjutnya, ujung sepatu mencium dada, tepat mengenai bagain di mana jantung berada. Pengawal itu terguling dengan jantung pecah oleh tenaga yang keluar dari tendangan itu. Dalam detik berikutnya, cawan dan guci melayang, entah yang mana lebih dulu menyambar kepala dua orang pengawal yang lain karena hanya terdengar suara "prok-prok!" dua tubuh orang pengawal itu. *** Dalam waktu tidak ada setengah menit, tiga orang pengawal itu telah roboh di depan kaki Cong San dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Cui Im tidak melihat ini semua karena dia berdiri membelakangi pemuda itu. Akan tetapi dia mendengar jerit tiga orang pengawalnya dan mendangar suara gaduh ketika mereka roboh. Dengan sedikit memutar kepala dan mengerling Cui Im dapat melihat ke belakang dan alangkah kagetnya melihat betapa tiga orang pengawal itu telah mati, sedangkan Cong San masih berdiri di sudut sambil memangku kedua lengan di atas dada! Keng Hong tertawa. Dia berdiri menghadap ke arah Cong San maka dia dapat melihat jelas, "Ha-ha-ha-ha-ha! Betapa lucunya! Batu baja disangka arang lapuk. Aku bermata dua akan tetapi seperti lamur! Sobat, maafkan aku yang tidak mengenal orang gagah. Akan tetapi dalam urusan pribadi ini harap engkau tidak mencampuri dan aku tidak mengharapkan bantuan!" "Cia-taihiap, lama aku mendengar nama besarmu, beruntung aku dapat bersua malam ini! Tidak ada bantu-membantu karena aku pun mempunyai perhitungan besar dengan iblis betina cabul tak bermalu itu. Aku Yap Cong San ingin membalas kematian suheng Thian Ti Hwesio!" Keng Hong dan Cui Im menjadi heran sekali. Mereka mengenal Thian Ti Hwesio, tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai yang terbunuh oleh Cui Im, Hwesio itu sudah tua, hampir tujuh puluh tahun usianya dan kabarnya murid ketua Siauw-lim-pai sendiri? Mengapa mempunyai sute yang begini muda? Akan tetapi Cui Im yang merasa kecelik dan tertipu, sudah menjadi marah sekali dan ia pun maklum bahwa kalau tidak lekas turun tangan, rencananya pasti gagal. Ia lalu melengking nyaring dan menggerakkan pedang merahnya menyerang Keng Hong. Gerakannya ini cepat disusul oleh Siauw Lek yang menggerakkan pedang hitamnya, dan disaingi menyambarnya dua buah tengkorak di ujung rantai Pak-san Kwi-ong! Keng Hong bersikap tenang akan tetapi dia sama sekali tidak berani memandang rendah. Dia maklum bahwa Cui Im merupakan lawan yang amat tangguh dan banyak mengenal ilmu silatnya, bahkan mereka belajar bersama di dalam gua di bawah Kiam-kok-san. Juga dia maklum akan kelihaian Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang kabarnya murid tunggal Go-bi Chit-kwi. Tentu saja dia sudah mengenal pula kehebatan ilmu silat Pak-san Kwi-ong sebagai seorang di antara Bu-tek Su-kwi, datuk-datuk hitam yang menggemparkan dunia persilatan. Dia dikeroyok tiga orang yang berilmu tinggi, maka pemuda sakti ini cepat menggerakkan Siang-bhok-kiam dan pertandingan yang amat seru terjadilah di dalam pondok merah di mana biasanya hanya terjadi pertandingan yang lain lagi sifatnya! Yap Cong San masih berdiri tenang dan menonton pertandingan yang dahsyat itu. Dia maklum orang apa adanya Cia Keng Hong yang sudah dia dengar namanya, murid Sin-jiu Kiam-ong yang amat lihai. Dan dia dapat menyelami watak seorang gagah seperti itu maka dia tidak berani turun tangan membantu begitu saja, khawatir kalau-kalau menyinggung harga dirinya. Dengan pandang mata tajam penuh selidik dan penilaian, dia menjadi kagum bukan main kepada Keng Hong. Memang bukan memiliki nama kosong pemuda ini, pikirnya, bahkan tidak lumrah. Dia pun terkejut menyaksikan gerakan-gerakan tiga orang pengeroyok yang dahsyat. Terutama sekali pedang merah yang digerakkan Cui Im. Maklumlah dia bahwa dia sendiri bukan tandingan wanita cabul itu. Pedang merahnya terlalu hebat dan kalau yang dikeroyok bukan seorang pemuda sakti seperti Keng Hong yang memegang Siang-bhok-kiam, agaknya tentu tak dapat bertahan lama. Cong San juga kagum menyaksikan gerakan dahsyat Pak-san Kwi-ong.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger