naruto

naruto

Senin, 26 November 2012

pendekar kayu harum41

Episode 41 Kini Cui Im tidak menggeliat-geliat lagi seperti cacing kepanasan. Gadis itu masih terengah-engah dan memegangi lehernya, kemudian mengangkat mukanya memandang Keng Hong. Rambutnya yang terurai itu sebagian menutupi mukanya. Mukanya merah sekali, bibir dan rongga mulutnya yang agak terbuka lebih merah lagi, matanya memandang penuh gairah, hidungnya berkembang-kempis seakan-akan terlalu sempit liangnya untuk jalan keluar pernapasan. "Keng Hong..... Ah-hah..... Keng Hong........" Cui Im yang tadinya berlutut itu kini merangkak maju menghampiri Keng Hong, kemudian menubruk pemuda itu, merangkul dan menciumi sambil membisikan kata-kata yang tidak ada artinya, kemudian tangannya meraba-raba ke arah kancing pakaian Keng Hong. Keng Hong Menjadi geli hatinya dan di luar kesadaranya sendiri, dia membiarkan semua perbuatan Cui Im. Ia teringat akan gurunya, teringat akan nasihat gurunya, dan timbul watak petualang yang memang terdapat dalam sudut hati setiapa orang manusia, yang membuat dia ingin mengalami segala macam hal. Keng Hong tidak menolak segala keinginan Cui Im, dan membiarkan diri sendiri menjadi murid yang melayani segala kehendak Cui Im yang sedang diamuk nafsu berahi yang dirangsang oleh hawa racunnya sendiri. Cui Im sama sekali tidak mengira bahwa akan menjadi begini urusannya. Bukan hanya dia sendiri menjadi korban racunnya, bahkan tanpa diketahui olehnya atau oleh Keng Hong sendiri, di dalam hubungan mereka itu pun timbul pula daya sedot mujijat dalam tubuh Keng Hong sehingga setelah lewat malam itu, Cui Im terkulai seperti orang kehabisan tenaga, setengah pingsan di atas rumput. Adapun Keng Hong yang sudah membereskan pakaiannya sendiri, enak-enak saja nongkrong di bawah pohon dan membesarkan api unggun. Hanya wajahnya yang tampak kemerahan dan segar, pandang matanya berbeda dari kemarin karena ini pandang matanya menjadi "masak". Keng Hong mulai lewat tengah malam tadi telah berubah dari kanak-kanak menjadi seorang laki-laki dewasa. Agaknya benar seperti diramalkan Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai bahwa bocah ini akan lebih hebat dari Sin-jiu Kiam-ong! "Keng Hong....!" Suara itu terdengar lemah namun penuh rayuan, penuh cinta kasih, keluar dari mulut Cui Im yang menggeliat seperti seekor kucing kekenyangan. Kemudian dia bergidik, merasa betapa dinginnya hawa pagi dan agaknya baru disadarinya bahwa ia bertelanjang. Dengan malas Cui Im menyambar pakaiannya, mengenakan sejadinya, kemudian tiba-tiba ia meloncat dengan pakaian kusut dan rambut masih terurai lepas, meloncat ke dekat Keng Hong yang masih enak-enak membesarkan api unggun. "Keng Hong! Kau..... kau..... ah, lekas, kau telan pil pemunah racun itu.....! Ah, sudah pagi... celaka, terlambat sudah.... aduh, Keng Hong, Keng Hong kekasihku.....!" Cui Im menangis tersedu-sedu dan merangkul leher Keng Hong. "Kau ini kenapa sih?" Keng Hong bertanya tak acuh. "Kenapa? Kau masih enak-enakan saja? Racun itu..... engkau berada di ambang maut dan obat pemunah tidak ada gunanya lagi. Kau akan mati, Keng Hong!" Pemuda itu menoleh dan tampak olehnya betapa wajah itu tidaklah sejelita malam tadi! Ia tidak tertarik oleh kecantikan Cui Im, bahkan merasa tidak senang. Padahal wajah itu masih sama, dan mengertilah dia akan keterangan suhunya tentang perbedaan antara cinta sejati dan cinta nafsu. Cinta sejati tidak mengenal cantik atau tidak, tidak mengenal bosan karena cintanya mendalam dan ada kontak serta getaran antara jiwa dan batin kedua fihak. Sebaliknya, cinta nafsu hanyalah cinta yang timbul karena dorongan nafsu, karena kecantikan yang amat dangkal, hanya sedalam kulit sehingga cinta nafsu ini sekali terpuaskan akan menjadi bosan. "Aku tidak akan mati." "Apa? Dan racun itu.....? Racun ganas sekali!" "Sudah kutumpahkan kembali. Aku tidak akan mati oleh racunmu, Cui Im." Gadis itu terbelalak dan tidak senang melihat sikap Keng Hong yang begitu dingin, seolah-olah lenyap cinta kasihnya kepadanya, padahal baru saja, setengah malam penuh, mereka bercinta kasih tak mengenal batas. Ia menggelung rambutnya, memandang dengan kagum. Pemuda ini hebat! Hebat segala-galanya, pikirnya. Diracuni tidak mati, dan dari pengalamannya semalam harus ia akui bahwa belum pernah selamanya ia bertemu dengan seorang pria seperti Keng Hong ini. Ia segera menghampiri dan merangkul pundak Keng Hong. "Syukurlah kalau begitu, kekasihku. Keng Hong, kita telah.... telah menjadi suami isteri yang tidak syah! Engkau patut menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong. Aaahhhhh, kekasihku, kita saling mencintai, hidup berdua mati bersama, bukan? Mari kita pergi mencari peninggalan suhumu yang sakti....." "Tidak! Kau pergilah, Cui Im.Sudah cukup agaknya aku mengalah terus dan menuruti semua perintahmu. Aku itdak menyesal karena terus terang saja, aku senang padamu. Akan tetapi jangan harap untuk dapat membujuk atau memaksa aku mencari pusaka guruku karena selain aku tidak tahu tempatnya, juga aku tidak mau. Pergilah!" "Ihhhh....! keparat!" Cui Im meloncat tinggi melepaskan pelukannya dan dia jatuh berdebuk di atas tanah. "Heeeee.....? Ke.... kenapa....?" Gadis itu terbelalak matanya dan terheran-heran, juga menjadi gelisah sekali. Mengapa dia seolah-olah kehilangan tenaga sinkangnya? Meloncat begitu saja ia terbanting roboh! Akan tetap kemarahannya membuat ia melupakan keadaan yang aneh ini dan ia sudah bangkit berdiri, lalu memaki. "Kau laki-laki tak berbudi! Kau laki-laki pemikat! Setelah menikmati tubuhku, kau mengusir aku pergi begitu saja!" "Ingat, bukan aku yang memikat, melainkan kau sendiri. Pergilah!" "Jahanam.....!" Cui Im melompat maju dan mengirim pukulan ke arah punggung Keng Hong. Episode 42 "Bukkk! Aiiihhh....!" Keng Hong masih duduk enak-enak, nongkrong di depan api unggun, sebaliknya tubuh Cui Im terlempar ke belakang dan gadis itu mengelus-elus tangan kanannya yang dipakai memukul tadi, matanya terbelalak. Ia tadi merasa dalam pukulannya betapa tangannya mendadak lemah sekali, sebaliknya punggung pemuda itu seperit dilindungi hawa yang amat kuat. "Aku.... aku.... kenapa....?" Kembali Cui Im berseru heran dan penuh kengerian. "Keng Hong.... kauapakan aku.....?" Keng Hong bangkit berdiri dan membalikan tubuh menghadapi gadis itu. "Cui Im, kau tahu aku tidak melakukan apa-apa. Semenjak kemarin, adalah engkau yang selalu menggangguku." "Aku.... tenaga sinkangku..... kosong dan kering.... tenagaku amat lemah....." Keng Hong juga tidak mengerti mengapa, dan dia tidak peduli karena bukan dia yang menyebabkan gadis itu demikian. Keng Hong tidak tahu, seperti dahulu di Kun-lun-san dia juga tidak sadar bahwa dia telah menyedot tenaga Kiang Tojin dan para tosu lain, semalam pun tanpa disadarinya, sebagian besar sinkang ditubuh Cui Im telah berpindah ke dalam dirinya. Keanehan yang terjadi dalam tubuh Keng Hong adalah bahwa setiap kali dia menghadapi serangan sinkang yang kuat, secara otomatis tenaga sedotan itu bekerja tanpa disengaja dan tanpa dapat dia dicegah. Karena sinkang dari Cui Im tidaklah sekuat sinkang-sinkang Tojin dan tosu-tosu lainnya, maka Keng Hong tidak terlalu merasakan perbedaannya, tidak seperti ketika berada di Kun-lun-san itu. Kini dia hanya merasa tubuhnya segar dan sehat, sama sekali tidak merasa lelah. Sementara itu, Cui Im juga sudah menekan keguncangan hatinya. Ia menghilangkan kebingungannya dengan anggapan bahwa sinkangnya sebagian besar lenyap karena pengaruh hawa beracun, yaitu racun perangsang yang entah bagaimana telah berpindah ke dalam dadanya ketika ia mencium mulut Keng Hong semalam. Ia kni menjadi tenang kembali dan tidak menggunakan sinkang, tidak mengerahkan hawa dari pusar, melainkan mencabut pedang merahnya lalu menodong dan mengancam. "Keng Hong, sungguhpun racun itu tidak dapat membunuhmu, pedangku ini masih dapat mengirim nyawamu ke neraka kalau kau menolak permintaanku!" Keng Hong memandang ujung pedang yang menodong dadanya, lalu menghela napas panjang. "Sayang sekali, Cui Im. Engkau seorang gadis cantik jelita dan berkepandaian tinggi, namun semua itu tidak ada artinya kalau hatimu sekotor ini. Kulihat sinkangmu sudah lemah, kalau aku mempergunakan tenaga mana mungkin pedangmu dapat mengusikku? Akan tetapi aku tidak akan menggunakan tenaga, dan biarlah kujadikan engkau sebagai penguji karena selama turun gunung aku belum pernah menggunakan kiam-sut yang kupelajari dari suhu." Cui Im membuat gerakan menusukan pedangnya, akan tetapi dengan tangan miring, jari-jari tangan Keng Hong yang disaluri tenaga sakti yang hebat itu dapat menangkis dan mengibas sehingga pedang merah itu hampir terlepas dari pegangan tangan Cui Im. Keng Hong lalu membungkuk dan memunggut sebuah ranting kayu, sisa yang dijadikan umpan api unggun tadi, kemudian dia sudah siap dengan ranting ini di tangannya, memasang kuda-kuda Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut. Tentu saja ilmu pedang ini baru sempurna kalau dimainkan dengan pedang Siang-bhok-kiam, akan tetapi karena pedang itu tidak ada, ranting ini pun cukup baik, lebih baik daripada dia menggunakan pedang logam karena sifat kayi ini dan ringannya agak cocok dengan Pedang Kayu Harum. "Nah, mari kita berlatih ilmu pedang," katanya, ranting dilonjorkan lurus ke atas seperti menuding langit, kemudian perlahan-lahan turun ke bawah melingkari lehernya sendiri terus turun ditudingkan ke atas tanah. Inilah kuda-kuda atau gerakan pembukaan Siang-bhok Kiam-sut, dengan kedua kakinya tegak di kanan kiri, tangan kirinya mengikuti gerakan pedang membentuk lingkaran di depan dada yang berhenti di depan hulu hati dalam keadaan miring seperti orang menyembah dengan satu tangan. Cui Im maklum akan kelihaiannya dalam tenaga sinkang yang dapat menyedot tenaga lawan. Dia sendiri telah menyaksikan betapa Keng Hong merobohkan Kiang Tojin yang lihai bersama beberapa orang tosu Kun-lun-pai yang lain, merasa ngeri dan jerih untuk beradu kekuatan sinkang. Akan tetapi ia pun telah melihat gerak-gerik Keng Hong yang masih kaku dalam ilmu silat, maka ia pikir bahwa kalau bermain pedang, apalagi pemuda itu hanya bersenjata ranting, pasti ia akan menang. Ia sudah menggunakan racun, sudah pula menggunakan rayuan bahkan menyerahkan raganya, namun semua itu tidak berhasil menundukan hati Keng Hong. Jalan satu-satunya hanya membunuhnya! Berpikir demikian, Cui Im lalu berteriak keras dan menerjang maju dengan dahsyat sekalli, mengirim jurus serangan mematikan. Harus diakui bahwa tingkat ilmu kepandaian Cui Im sudah amat tinggi, apalagi ilmu pedangnya, karena merupakan murid terkasih dari Lam-hai Sin-ni, datuk nomer satu dalam si empat besar Bu-tek Su-kwi. Selain memiliki ginkang yang amat cepat, sungguhpun sekarang tidak dapat dipergunakan karena sinkangnya sebagian besar telah "pindah" ke tubuh Keng Hong, ia juga memilliki ilmu pedang yang amat ganas. Keng Hong bersikap berhati-hati sekali. Tadi ia sudah menyaksikan kelihaian gadis ini bermain pedang ketika melawan Kiu-bwe Toanio, maka kini ia cepat menggerakan rantingnya, digetarkan ujungnya dan menangkis dengan jurus-jurus ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut. "Ayaaaa.....!" Cui Im terkejut sekali karena begitu pedangnya bertemu dengan ujung ranting yang menggetar, pedangnya ikut tergetar dan getaran itu terus menjalar ke tangan dan lengannya, membuat lengannya kesemutan dan hampir saja ia melepaskan pedangnya kalau tidak cepat-cepat ia memutar pergelangan tangannya dan melangkah mundur. Keng Hong tidak mengejar atau mendesak lawannya, hanya berdiri siap menghadapi serangan gadis itu. Sikapnya tenang dan timbul kepercayaan pada diri sendiri. Mungkin dalam hal ilmu silat dia kalah pandai, akan tetapi ilmu pedangnya Siang-bhok-kiam adalah ciptaan gurunya, dan dalam kekuatan sinkang dia menang jauh. Asal dia dapat menjaga diri jangan sampai termakan pedang, dia tidak akan kalah. Episode 43 "Kau.... kau laki-laki keji!" Cui Im berteriak gemas lalu tubuhnya menerjang maju lagi mengirim tusukan dan bacokan bertubi-tubi. Hebat sekali gerakan pedang gadis ini, amat sukar diduga perubahannya sehingga pandang mata Keng Hong berkunang-kunang dan silau dibuatnya. Sinar pedang merah itu bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti seekor naga hendak membelit tubuhnya. Terpaksa Keng Hong menyalurkan sinkang pada rantingnya dan memutar ranting itu melindungi tubuhnya. Hawa sinkang yang disalurkan itu hebat sekali sehingga pedang yang ujungnya berubah menjadi puluhan banyak saking cepat dan tak terduga gerakannya itu selalu tertumbuk dan mental kembali, kalau tidak tertangkis ranting tentu membalik oleh hawa pukulan yang amat dahsyat. Namun, biarpun serangan Cui Im gagal semua, Keng Hong sama sekali tidak ada kesempatan untuk membalasnya. Hal ini adalah karena latihannya belum sempurna sama sekali, gerakannya masih kaku dan pedang Siang-bhok Kiam tidak berada ditangannya. Kalau ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut sudah dilatih baik dan pada saat itu dia memegang pedang pusaka itu, kirannya dalam beberapa jurus saja Cui Im yang lihai itu tentu tidak mampu bertahan terhadapnya! Cui Im makin lama makin marah. Dari mulut gadis ini keluar lengking panjang yang amat nyaring dan dengan nekat ia memutar pedang lebih cepat lagi.Namun, makin cepat ia mengerakan pedang, makin banyak ia menambah tenaga, makin lelah dia dan pedangnya juga setiap kali terbentur ranting membalik dan seperti akan menyerang tubuhnya sendiri. Hal ini membuat Cui Im penasaran dan gemas sekali. Dia memekik keras, mencabut keluar sehelai saputangan merah dan menggunakan saputangan itu menyeling serangan pedangnya, mengebutkannya ke arah Keng Hong. Keng Hong maklum akan bahayanya saputangan merah yang berbau harum ini. Teringat ia akan hawa racun yang tercampur pada arak. Menghadapi minuman, dia masih dapat bertahan karena lima tahun dia setiap hari diberi minuman racun. Akan tetapi terhadap racun yang berupa asap atau uap benar-benar amat berbahaya. Melihat berkelebatnya saputangan merah yang wangi. Keng Hong cepat menghindarkan diri dengan menggeser kaki ke kiri dan memukulkan rantingnya pada saputangan itu. Ia berhasil merobek saputangan dengan ujung rantingnya, akan tetapi dia tidak tahu bahwa serangan saputangan itu hanya pancingan belaka karena pada detik berikutnya, Cui Im sudah membanting sebuah benda seperti bola yang tadi disembunyikan dibalik saputangan. Bola itu mengeluarkan suara ledakan dan asap hitam mengelilingi Keng Hong. Pemuda itu terkejut sekali dan melompat, namun terlambat. Ia telah menghisap asap hitam yang berbau hamis, kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Ia terhuyung-huyung dan di dalam kegelapan asap itu pedang Cui Im menyambar, menusuk lambungnya. Keng Hong masih sempat menangkis sambil mengerahkan tenaga. Tranggg.....!" Pedang merah terlepas dari tangan Cui Im, akan tetapi pada saat itu Keng Hong terguling karena sebuah tendangan gadis itu tepat mengenai lutut kananya. Keng Hong terguling roboh, pandang matanya gelap, napasnya terengah-engah sehingga makin banyak asap hitam tersedot olehnya! Cui Im menjadi girang sekali dan ia sudah menubruk ke depan setelah menyambar pedang merahnya, disabetkan ke arah leher pemuda yang sudah tak berdaya lagi itu. "Singgggg..... tranggg....!" Cui Im menahan jeritnya ketika pedangnya yang sudah meluncur itu tiba-tiba tertahan di tengah udara, hanya beberapa senti meter lagi dari leher Keng Hong, dan terlepas dari tangannya kemudian terbang ke atas, terampas oleh segulung sinar putih yang datang menyambar secepat kilat. "Suci (kakak perempuan seperguruan) apa yang hendak kau lakukan itu?" Terdengar teguran halus dan ternyata di situ telah berdiri seorang gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun, berpakaian sutra putih dengan garis-garis pinggir biru, memegang sehelai sabuk sutra putih panjang yang tadi dipergunakan secara luar biasa untuk merampas pedang di tangan Cui Im. "Sumoi (adik perempuan seperguruan).....! Engkau.....??" teriak Cui Im dengan suara kaget dan jerih. Memang aneh kelihatanya. Mengapa Cui Im seorang kakak seperguruan takut terhadap adik seperguruannya? Namun kenyataannya begitulah. "Nih, kukembalikan pedangmu, Suci!" Kata pula gadis baju putih itu dan sekali menggerakan pergelangan tangan yang memegang sabuk sutera putih, pedang merah itu meluncur ke arah Cui Im yang cepat menyambutnya dan menyimpannya. Gadis baju putih itu lalu menggerakan sabuknya yang menyambar ke arah Keng Hong bagaikan seekor ular hidup, melibat-libat tubuh pemuda yang masih pening dan mabuk itu dan sekali betot, tubuh Keng Hong melayang ke dekat gadis itu! Cui Im memandang dengan muka berubah merah penasaran ketika sumoinya mengeluarkan segulung sutera hitam dan mengikat kedua pergelangan tangan Keng Hong yang masih rebah terlentang kebingungan. Setelah mengikat kedua tangan pemuda itu secara hali, gadis baju putih ini lalu memakai kembali sabuknya, dilibat-libatkan di pinggangnya yang ramping. "Sumoi kenapa kautawan dia? Dia itu....., punyaku! Aku yang menangkap dia, dan aku yang berhak atas dirinya. Dia itu kekasihku!" teriak Cui Im dengan nada penasaran dan marah, namun ia tetap tidak berani mengeluarkan ucapan kasar terhadap sumoinya ini. "Hemmm, kulihat kau tadi hendak membunuhnya," kata si gadis baju putih dengan suara halus dan tenang. "Karena dia punyaku, aku berhak melakukan apa saja terhadapnya. Aku hendak membunuhnya karena dia tidak memenuhi permintaanku untuk mencari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong." "Aku tahu semua itu, Suci. Hanya aku tak senang melihat engkau hendak membunuhnya. Ibu sendiri yang menyuruh aku menyusulmu dan mengawasi gerak-gerikmu. Dan harus kukatakan bahwa apa yang kulihat semalam tadi dan sekarang ini, sungguh mengecewakan. Kau terlalu menurutkan nafsu, nafsu berahi dan nafsu kemarahanmu. Yang dicari belum didapat mengapa hendak membunuh dia? Ibu yang menyuruh aku menangkapnya dan membawanya kepada ibu." "Aaahhhh....!" Cui Im mengeluh dengan nada kecewa sekali. "Dahulu subo tidak tertarik aka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong.... dan membiarkan aku pergi untuk merampasnya, untukku sendiri....." Episode 44 "Sudahlah, Suci. Mari kita pergi menghadap ibu dan kau boleh bicara sendiri kepada ibu." "Tapi subo (ibu guru)....." "Sudahlah!" Gadis baju putih itu membentak dan sucinya terdiam. Kemudian gadis baju putih itu mengerakan bibir diruncingkan dan terdengarlah suara suitan melengking yang amat nyaring. Tak lama kemudian terdengar suara roda gerobak yang dilarikan kuda cepat sekali menuju ke tempat itu. Ternyata kemudian bahwa gerobak itu ditarik oleh empat ekor kuda besar, dikusiri seorang wanita muda yang cantik dan di belakang gerobak itu masih ada tiga orang wanita setengah tua yang cantik-cantik dan bersikap garang. Keempat wanita yang datang ini kesemuanya memakaian pakaian kuning dan di punggung mereka tampak gagang pedang. "Masuklah dia ke dalam kereta, aku sendiri yang akan menjaganya bersama suci," kata gadis itu memberi perintahnya kepada tiga orang wanita setengah tua yang sudah melompat turun dari kuda. Tanpa bicara sesuatu, mereka lalu mengangkat tubuh Keng Hong dan memasukannya ke dalam kereta, didudukan di atas bangku menghadap ke belakang. Keng Hong masih pening kepalanya, menyadarkan diri dan meramkan mata, mulai mengumpulkan hawa sakti untuk mengusir hawa beracun yang mengotorkan dada dan kepalanya. "Kalian berempat berangkatlah lebih dulu memberi laporan kepada ibu bahwa orang yang dikehendaki sudah tertawan. Biar suci yang menggantikan menjadi kusir dan aku yang mengawal orang ini. Berangkatlah!" Empat orang itu mengangguk, wanita muda yang tadi menjadi kusir diboncengkan oleh seorang di antara mereka dan tiga ekor kuda itu lalu membalap ke sebelah depan. Cui Im menghela napas panjang penuh kekecewaan, akan tetapi ia tidak banyak membantah lalu pindah duduk di depan, menjadi kusir. Adapun gadis baju putih itu kini duduk berhadapa dengan Keng Hong. Dengan gemas Cui Im mencambuk empat ekor kuda itu yang membedal sambil mengeluarkan suara meringkik keras. Roda-roda kereta menderu di atas jalan yang berbatu, dan guncanga-guncanga ini membuat Keng Hong cepat sadar kembali. Keng Hong semenjak tadi tidaklah pingsan, hanya pening dan pandangan matanya berkunang. Namun dia masih dapat mengikuti dengan jelas apa yang telah terjadi, dapat mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh gadis baju putih yang membelenggunya dan kini duduk di depannya. Kalau tidak ada gadis ini, tentu lehernya telah putus dan nyawanya melayang oleh pedang merah Cui Im. Ia merasa heran sekali mengapa sumoi dari Cui Im ini kelihatannya jauh lebih lihai daripada Cui Im sendiri dan amat ditaati sucinya. Akan tetapi dia mengetahui semua itu sebagian besar hanya dari ketajaman pendengarannya saja karena tadi matanya berkunang dan kabur pandangannya. Sekarang, setelah dia mengusir sisa hawa beracun, dibantu guncangan kereta itu membuat pandangan matanya terang kembali, dia membuka mata memandang nona yang duduk anteng di depannya. Mula-mula yang mempesona Keng Hong adalah sepasang mata itu. Sepasang mata yang amat luar biasa indahnya, mengingatkan Keng Hong akan bintang-bintang di langit, dengan cahaya hangat lembut seperti sinar matahari pagi, bening seperti air telaga, tajam melebihi pedang pusaka, akan tetapi di balik semua keindahan itu bersembunyilah sifat dingin yang menyeramkan! Mata itu agaknya dapat menangkap kesadaranya, akan tetapi hanya sekilas saja menyapu wajahnya, kemudian mata itu memandang lagi ke depan, seolah-olah dapat menembus segala yang berada di depannya. Kemudian pandang mata Keng Hong merayapi wajah itu dan dia makin terpesona. Gadis yang jauh lebih muda dari Cui Im ini, yang usianya ditaksir tidak akan lebih tua dari dirinya sendiri, memiliki wajah yang amat cantik jelita. Bentuk wajahnya bulat telur, dengan kulit muka yang halus putih kemerahan tanpa bedak dan gincu, rambutnya hitam sekali dan amat halus seperti benang sutera, gemuk subur menghias dahi dan kedua pipi, menyembulkan dua buah telinga yang hanya tampak sedikit dan terhias dua buah anting-anting bermata merah. Alis itu amat hitam dan kecil memanjang seperti dilukis saja padahal tidak ada bekas-bekas goresan pensil dan agaknya alis ini dan bulu mata yang panjang melengkung itulah yang menambah keindahan matanya. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menantang ke atas, diapit-apit sepasang pipi yang kemerahan dan halus seperti buah tomat meranum. Ketika pandang mata Keng Hong menurun lagi, pandang matanya seolah-olah menempel dan melekat pada sepasang bibir itu. Sukar dikatakan mana yang lebih indah antara mata dan bibir itu. Bentuknya seperti gendewa dipentang, dan warnanya merah membasah, segar dan membuat Keng Hong tanpa disadarinya sendiri menelan ludah seperti seorang kehausan melihat buah yang segar. Kemudian sinar mata Keng Hong makin liar memandang ke bawah dan apa yang dilihatnya benar-benar membuat dia terpesona. Gadis ini amat cantik jelita, sikapnya agung dan pendiam, dan bentuk tubuhnya.... sukar dilukiskan dengan kata-kata sungguhpun pakaian sutera putih itu membungkusnya. Pendeknya, kalau Cui Im merupakan gadis yang luar biasa cantiknya dan yang tidak pernah sebelumnya dia temukan atau impikan, kini gadis baju putih ini merupakan seorang gadis yang tak pernah dia sangka terdapat di dalam dunia! "Hidung belang, sudah puaskah engkau meneliti dan menaksir diriku?" Pertanyaan ini halus dan merdu terdengar oleh telinga, namun bagaikan pisau berkarat menggores jantung! Keng Hong belum tentu akan menjadi semerah itu kedua pipinya kalau dia menerima tamparan keras. "Eh.... ohhh.... aku...." Ia menggagap, berusaha mengelak dari pandangan mata yang begitu halus namun tajam menembus dada. "Aku tahu, engkau hidung belang seperti gurumu, akan tetapi perlu kau ketahui bahwa aku bukanlah seorang wanita murah seperti dia itu." Dengan dagunya yang meruncing halus, gadis itu menuding ke arah depan, ke arah Cui Im yang mengemudikan kereta. Keng Hong menghela napas panjang dan tak terasa lagi dia mengangkat kedua tangan yang terbelenggu itu untuk mengosok-gosok hidungnya yang dua kali dikatakan belang! Ketika kedua tangannya mengosok-gosok hidung ini, seolah-olah baru tampak olehnya bahwa pergelangan kedua tangannya dibelenggu, terikat oleh sehelai tali sutera hitam yang amat kuat. Ia menaksir-naksir berapa kekuatan belenggu ini. Episode 45 "Jangan mencoba untuk mematahkan belenggu ," gadis itu seakan dapat membaca pikirannya. "Selain kau takan berhasil, juga kalau kau banyak tingkah, aku akan menyeretmu di belakang kereta." Wah-wah, kiranya si jelita ini malah lebih galak daripada Cui Im, pikir Keng Hong. Dia kembali menatap wajah itu dan melihat betapa gadis itu tenang seperti air telaga, dan matanya merenung jauh ke depan. Dia dianggap seperti lalat saja, atau bahkan tidak ada. Keng Hong penasaran. Dia bukanlah seorang yang tidak mengenal budi. Gadis ini telah menyelamatkan nyawanya, tidak mungkin dia yang sudah diselamatkan nyawanya diama saja seperti seorang yang tidak mengenal budi. "Nona...." Akan tetapi dia tidak melanjutkan karena gadis itu sama sekali tidak bergerak, sama sekali tidak memperhatikan tanda-tanda bahwa dia mendengar panggilannya. Keng Hong bergidik. Gadis ini seperti arca saja. Arca dari batu pualam yang halus dan dingin. Akan tetapi melihat bibirnya yang begitu merah membasah , melihat kemerahan pada rongga mulutnya ketika tadi bicara, kilaatan giginya yang kecil rata dan putih, semua ini membayangkan darah muda yang panas. Setelah kini berdiam diri, sikapnya benar-benar luar biasa dinginnya, sedingin salju di utara! "Nona.....!" Ia tidak putus asa dan memanggil lagi lebih keras. Namun gadis itu tetap diam, jangankan bergerak melirik pun tidak. "Bledak..... dak..... dorrr.....!" kereta melalui jalan yang berbatu, rodanya menumbuk batu-batu yang besar sehingga kereta itu terguncang hebat, bahkan hampir roboh miring. "Heiiiii..... eh.....!" Keng Hong mengatur keseimbangan tubuhnya dan kaget sekali, akan tetapi kereta berjalan terus dan amatlah kagumnya menyaksikan betapa gadis baju putih di depannya itu masih tetap seperti tadi, tidak bergerak, tidak berguncang, juga tidak kaget. Wah seperti orang mati saja! Keng Hong tertegun sendiri. Jangan-jangan dia ini sudah mati! Matanya terbuka akan tetapi manik mata itu sama sekali tidak bergerak, napasnya pun seolah-olah berhenti. "Nona....!" Kembali tiada jawaban. Keng Hong mulai khawatir dan mendekatkan kedua tangannya yang terbelenggu itu ke depan hidung kecil mancung itu, hendak menyatakan apakah napas nona itu masih ada. Dan tangannya tidak merasakan sesuatu! Gadis ini telah mati. Ia menjadi panik dan menurunkan tangan hendak menyentuh urat nadi lengan nona itu. "Plakkk!" Kedua tangannya ditampar dan nona itu membuka mulut, "Kau mau apa? Ingin diseret di belakang keretakah?" Keng Hong kaget setengah mati sampai pantatnya terloncat dari tempat duduknya. "Walah.....! Kau bikin kaget aku saja, Nona. hampir mati aku merasa kaget! Kusangka kau..... kau tidak bernapas lagi....." "Begini goblokkah murid Sin-jiu Kiam-ong sehingga tidak tahu orang sedang melakukan latihan Pi-khi-hoan-hiat (Menutup Hawa Mengatur Jalan Darah)?" "Ohhh.....!" Keng Hong hanya dapat mengeluarkan suara ah-eh-oh saja karena makin lama makin kagum dan heran. Ia pernah mendengar dari suhunya akan ilmu Pi-khi-hoan-hiat ini, sebuah ilmu untuk selalu mengadakan pengontrolan tentang jalan darah dan yang berhubungan dengan sinkang, namun ilmu yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang telah tinggi tingkat kepandaiannya. Dan nona cilik ini telah melatihnya di dalam kereta yang berguncang-guncang! Biarpun hanya mengeluarkan suara ah-eh-oh sejak tadi, namun suara ini jelas membayangkan kekaguman, dan hal ini agaknya terasa oleh gadis itu yang tentu saja sebagai seorang manusia normal, terutama wanita, amat senang hatinya mendapat pujian. "Kau mau apa sih, panggil-panggil orang terus?" "Nona, aku she Cia Keng Hong bukanlah orang yang tidak mengenal budi. Aku telah berhutang nyawa kepadamu....." "Aku tidak pernah menghutangkan nyawa!" "Eh, aku..... aku telah Nona selamatkan dari pedang Cui Im...." "Hemmmm, sudah jauh begitu ya hubunganmu dengan suci sehingga kau menyebut namanya begitu saja?" Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. Nona ini boleh jadi pendiam, akan tetapi seperti biasanya orang pendiam, sekali mengeluarkan kata-kata selalu akan menusuk jantung! "Kumaksudkan.... nona Bhe Cui Im.... aku telah kautolong dan selain pernyataan terima kasihku, aku pun selamanya tidak akan melupakan budi pertolongan itu. Akan tetapi, setelah menyelamatkan nyawaku yang tak berharga ini, mengapa Nona menawan aku?" "Heiii, awas Sumoi! Dia itu laki-laki pandai sekali merayu, melebihi gurunya. Jangan-jangan kau nanti dirobohkan rayuannya yang manis seperti madu. Hi-hi-hik!" dari depan Cui Im berkata dengan suara mengejek. Gadis baju putih itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. "Huh! Sejak kapan aku dapat dirobohkan rayuan orang? Tidak semudah engkau aku dapat dipikat rayuan bocah ini, Suci!" "Heh-heh-heh, bocah ya? Dia itu bocah? Hi-hi-hik, tunggu saja kau, Sumoi, kalau sudah berada dalam pelukan dan belaiannya, nanti...." "Suci, diam!" Gadis itu membentak, alisnya yang hitam panjang itu melengkung indah. Episode 46 Cui Im tidak bicara lagi, hanya terdengar ia ketawa dan mencambuk empat ekor kuda itu sehingga jalannya kereta makin kencang. Kembali Keng Hong tergoncang-goncang, akan tetapi dia segera dapat mengerahkan sinkangnya dan kini dia duduk diam tak bergerak seperti nona di depannya. Mulailah nona itu memandangnya, dan biarpun mulutnya tidak menyatakan sesuatu, namun pandang matanya penuh pengertian bahwa pemuda di depannya ini memiliki sinkang yang hebat. "Nona, jangan perhatikan omongan Cui.... eh, dia itu. Aku sama sekali tidak membujuk rayu Nona, melainkan hendak bertanya mengapa setelah Nona menyelamatkan nyawaku, kini menawanku." "Ibuku yang menyuruh, aku hanya pelaksana," jawabnya sederhana. "Dan jangan mengira aku menolongmu. Kalau tidak ingin memenuhi perintah ibu biar suci mau membunuh seribu orang macam engkau, aku tidak akan peduli." Wahhh, pahit benar ucapan ini, pikir Keng Hong. Akan tetapi tak mungkin dia bisa marah menghadapi seorang gadis seperti ini. "ibumu? Siapakah dia, Nona?" "Lam-hai Sin-ni!" "Ohhhh.....!" Tadinya Keng Hong mengira bahwa nona ini sebagai sumoi dari Cui Im tentulah murid ke dua Lam-hai Sin-ni. Kiranya bukan hanya muridnya, malah puterinya! Pantas saja, biarpun disebut sumoi oleh Cui Im, akan tetapi memiliki tingkat ilmu kepandaian yang lebih tinggi dan juga disegani oleh sucinya itu. "Kau sudah mengenal nama ibuku?" "Sudah, Nona, Ibumu adalah datuk pertama dari Bu-tek Su-kwi, bukan?" "Hemmm, kau hanya mendengar saja dari suci tentu." "Aku sudah pernah bertemu dengan tiga orang dari Bu-tek Su-kwi yang semuanya kalah oleh suhu" "Hemmm....., sombong! Kalau bertemu ibu, suhumu akan mampus sampai seratus kali" "Nona, bolehkah aku mengetahui namamu?" Alis yang indah itu terangkat, mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi dan mulut yang segar itu membentak, "Kau.....! Selain hidung belang, juga ceriwis sekali!" "Hi-hi-hik, Sumoi. Tidak benarkah kata-kataku bahwa dia pandai merayu?" "Suci, berhenti dulu!" Kereta berhentai secara tiba-tiba dan hal ini saja membuktikan betapa pandainya Cui Im menguasai empat ekor kuda yg menarik kereta, dan betapa kuat kedua lengan yang kecil itu. Alis nona baju putih itu masih berdiri ketika ia melolos sabuknya yang putih panjang, lalu tanpa banyak cakap ia mengikat kedua kaki Keng Hong dengan ujung sabuk dan setelah itu ia melempar tubuh pemuda itu ke belakang kereta! "Jalan terus, Suci!" "Hi-hi-hik, agaknya engkau pun tidak tahan terhadap rayuannya, sumoi. Hati-hatilah....., engkau sama sekali belum berpengalaman." "Diam, suci!" bentak gadis itu sambil merenggut dan kereta dijalankan cepat oleh Cui Im yang terkekeh-kekeh. Kini tubuh Keng Hong yang rebah terlentang dibelakang kereta, diseret di atas tanah berbatu! Kedua tangannya dibelenggu, kedua kakinya diikat ujung sabuk sedangkan sedangkan ujung sabuk lainya diikatkan pada tiang kereta oleh gadis itu. Sabuk itu cukup panjang sehingga tubuh Keng Hong terpisah empat meter dari kereta. Pemuda ini cepet-cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi tubuh belakangnya yang terseret. Kalau tidak kuat sinkangnya, tentu kulit tubuh belakangnya akan habis babak bundas. Biarpun kini hawa sakit di tubuhnya melindungi kulitnya, namun tidak dapat melindungi pakaiannya sehingga sebentar saja habislah pakaiannya di bagian belakang, compang-camping tidak karuan. Diam-diam dia mengutuk, "Wah, gadis setan! Benar-benar seperti iblis-iblis betina dua orang gadis itu, sungguhpun kekejian mereka itu agak berbeda. Cui Im cabul dan pengejar kepuasan hawa nafsu, sebaliknya sumoinya ini alim dan pendiam, akan tetapi keduanya memiliki kekejaman yang sama. Bahkan boleh jadi gadis baju putih ini lebih kejam lagi." Keng Hong yang rebah terlentang dan terseret di belakang kereta kini dapat melihat keadaan di kanan kiri kereta sampai jauh di depan. Mereka melalui jalan sunyi di pegunungan, jauh dari dusun-dusun. Diam-diam dia berpikir dan ingin sekali melihat apakah dua orang gadis iblis itu akan tetap menyeretnya seperti ini kalau melalui dusun dan kota? Apakah mereka akan membiarkan dia terseret dan menjadi tontonan? Tentu penguasa setempat akan turun tangan kalau melihat peristiwa ini, akan tetapi penguasa manakah yang sanggup melarang dua orang gadis iblis itu? Tiba-tiba Keng Hong melihat di depan sebelah kiri muncul dua orang penunggang kuda, dua orang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun yang menghadang kereta dengan senjata golok di tangan, memberi isyarat dengan tangan agar kereta dihentikan. Cui Im menghentikan kereta itu dan memandang dengan alis berkerut marah. "Kalian ini mau apakah? Apakah perampok-perampok buta?" "Hemmm, Ang-kiam Tok-sian-li! Masih berpura-pura tidak mengenal kami Thian-te Siang-to (Sepasang Golok Bumi Langit)? Kami memenuhi perintah suhu untuk minta tawananmu, murid Sin-jiu Kiam-ong. Memandang muka suhu kami, harap kau suka mengalah!" Jawaban ini keluar dari mulut kakek yang sebelah kiri dan setelah kini berhadapan, Cui im baru melihat jelas betapa muka kedua orang kakek itu serupa benar. Teringatlah ia akan murid kembar dari Pat-jiu Sian-ong, maka ia tertawa mengejek. Episode 47 "Hi-hi-hik, jangan hanya kalian Thian-te Siang-to yang maju meminta tawanan, biarpun gurumu sendiri yang datang takkan kuberikan. Kalian mau apa?" "Hah, Ang-kiam Tok-sian-li! kami masih memandang muka gurumu maka masih bicara dengan baik-baik. akan tetapi engkau sombong. Turunlah dan mari kita lihat siapa yang lebih unggul di antara kita. Yang unggul berhak membawa pergi murid Sian-jiu Kiam-ong!" "Bagus, kalian sudah bosan hidup!" Cui Im meloncat turun dari kereta sambil mencabut pedang merahnya. Akan tetapi begitu meloncat dan menerjang, Cui Im mengeluh karena baru teringat ia akan keadaanya, akan tenaga sinkang yang sebagian besar telah lenyap semenjak malam tadi ia bermain cinta dengan Keng Hong. Apalagi sekarang yang dihadapinya adalah dua orang murid Pat-jiu Sian-ong yang merupakan seorang di antara empat datuk Bu-tek Su-kwi! Kalau dalam keadaan normal sekalipun, tak mungkin ia dapat menangkan pengeroyokan dua orang ini dan mingkin hanya akan dapat mengalahkan seorang di antara mereka. Akan tetapi sekarang, dengan sinkangnya habis setengahnya lebih, melawan seorang di antara mereka sekalipun ia tak menang. Keng Hong yang kini sudah bangkit duduk karena kereta itu tidak menyeretnya lagi, melihat betapa Cui Im terdesak hebat oleh dua orang laki-laki bersenjata golok yang berjuluk Sepasang Golok Bumi Langit itu. Untung bahwa pedang Cui Im benar-benar hebat, kalau tidak, tentu dalam beberapa gebrakan saja ia akan roboh. Cui Im mainkan pedangnya secepat mungkin, dan biarpun ia sama sekali tidak mampu melakukan serangan balasan namun ia masih dapat mempertahankan dirinya dengan gerakan pedang dan juga sambil mengelak ke sana ke mari. Ia terdesak hebat dan menurut taksiran Keng Hong, tidak sampai sepuluh jurus lagi gadis itu tentu akan roboh. "Sumoi, tidak lekas membantuku menunggu apa lagi?" Cui Im yang repot itu akhirnya berteriak-teriak. Keng Hong hanya melihat muili (tirai) kereta itu tersingkap dari dalam, kemudian berkelebat segulung cahaya putih berturut-turut dua kali. Cahaya ini menyebar ke arah dua orang kakek yang mendesak Cui Im dan mereka cepat menangkis dengan pedang. Namun mereka berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Ternyata pangkal lengan kedua orang kakek itu telah terluka mengeluarkan darah. Yang melukai mereka adalah dua butir bola putih yang halus permukannya namun mempunyai duri-duri runcing dan ketika dua bola tadi berhasil ditangkis, bola itu tidak runtuh ke atas tanah melainkan melesat dan melukai lengan mereka. Ketika dua orang kakek itu melihat wajah ayu yang tersembul keluar dari balik tirai, mereka terkejut dan cepat menjura ke arah kereta. "Kiranya Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung) juga hadir di sini. Maafkan kelancangan kami!" setelah berkata demikian, kakek kembar itu lalu membalikan tubuh dan berlari pergi. "Heiii, kembalilah! Mari kita bertanding sampai seribu jurus! Belum bolong dadamu sudah lari, pengecut!" Cui Im berteriak-teriak menantang. "Suci, jalan terus!" terdengar gadis baju putih yang kini dikenal julukannya oleh Keng Hong berkata halus. Kereta berjalan lagi amat kencangnya, dan terpaksa Keng Hong merebahkan diri telentang lagi, diseret-seret kereta. Ia bergidik kalau mengingat julukan gadis baju putih itu. Song-bun Siu-li (Gadis Cantik Berkabung). Mengapa berkabung? Pantas saja pakaiannya serba putih, bahkan senjatanya yang lihai, sabuk yang kini mengikat kedua kakinya, juga putih dan senjata rahasia yang berbentuk bola itu pun putih! Episode 48 “Cepatlah, suci. Setelah murid-murid Pat-jiu Siang-ong muncul, kurasa yang lainya akan muncul pula." "Untung engkau berada di sini , sumoi, kalau tidak ..... wah berabe juga. Aku..... aku kehilangan sebagian besar sinkang di tubuhku, karena ..... bocah setan itu!" "Apa? Mengapa dan bagaimana?" Song-bun Siu-li bertanya heran. "Benar, aku disedot habis olehnya, keparat! Setelah malam tadi, entah bagaimana aku pun tidak tahu. Dia memang hebat, aku sampai lupa diri dan aku..... tersedot habis..... uhhh....." "Suci, diam! kau tahu aku tidak sudi mendengarkan omongan-omonganmu yang cabul!" Kereta berjalan terus lebih cepat lagi. Keng Hong tertegun mendengar omongan mereka itu. Dia sendiri pun tidak tahu mengapa Cui Im menjadi lemah. Tersedot olehnya? Ia teringat akan peristiwa di Kun-lun-san, di mana tanpa dia sadari dia pun telah menyedot sinkang dari Kiang Tojin dan tosu-tosu lain. Akan tetapi ketika itu dia menghadapi pukulan sinkang yang amat berat. Sedangkan malam tadi dengan Cui Im...... ah., dia tetap tidak mengerti. Diam-diam dia kagumi Song-bun Siu-li. Betapa lihai gadis muda itu. Hanya dengan dua butir bola saja dia mampu mengusir murid-murid Pat-jiu Sian-ong yang dia lihat tadi amat lihai ilmu goloknya. Lewat tengah hari, ketika matahari mulai condong ke barat, mereka tiba di sebuah hutan dan jauh di depan menjulang tinggi pegunungan yang rupanya banyak dusun-dusunnya karena dari jauh sudah tampak genteng-genteng rumah yang kemerahan. Keng Hong yang diseret kereta mulai merasa tersiksa karena selain haus dan lapar, juga debu yang mengebul dari roda kereta itu seolah-olah dilemparkan kepadanya semua, membuat rambut dan alisnya menjadi putih, juga mukanya menjadi putih semua. Bernapas pun sukar di dalam kepulan debu yang tebal ini. tiba-tiba Cui Im berseru nyaring dan tangan kirinya menyabar dua batang anak panah yang menyambarnya. Hebat kepandaian ini dan diam-diam Keng Hong yang melihat itu menjadi kagum. "Jalan terus, suci. Biar aku yang melayani mereka!" berkata Song-bun Siu-li dengan suara dingin. Kini berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu gadis itu telah berdiri di atap kereta, lalu minta pinjam cambuk kuda yang tadi dipegang Cui Im. Cambuk ini cukup panjang dan dengan tangan kiri bertolak pinggang, tangan kananya memegang gagang cambuk, Song-bun Siu-li berdiri dengan gagah tak bergerak, hanya matanya saja yang memandang tajam ke depan. Tiba-tiba dari arah kiri menyambar tiga batang anak panah, sebuah ke arah Cui im dan yang ke dua ke arah Song-bun Siu-li dan anak panah yang datang menyambar sekali ini, biarpun warnanya juga hitam seperti tadi, namun mengandung kecepatan dan tenaga dahsyat sehingga mengeluarkan bunyi mendesing. Cui im tidak mempedulikan datangnya anak panah yang menyerangnya, melainkan mencurahkan seluruh perhatian kepada kendali empat ekor kuda yang dipegangnya dan dibalapkanya cepat. Ia sudah percaya penuh akan penjagaan sumoinya dan kepercayaan ini pun tidak disia-sia. Terdengar bunyi cambuk meledak-ledak, dan.....tiga batang anak panah itu sudah kena digulung dan dibelit ujung cambuk. Keng Hong melongo melihat itu dan dia lebih terbelalak lagi ketika nona baju putih itu menggerakan cambuknya, membuat tiga batang anak panah meluncur ke arah kiri dan..... terdengar jerit-jerit mengerikan disusul terjungkalnya tubuh tiga orang yang tadi bersembunyi di balik batang pohon. Ternyata nona baju putih yang lihai sekali itu telah meretour anak panah kepada pemiliknya masing-masing dan secara kontan keras telah membalas mereka! Tiba-tiba terdengar suara keras yang bergema di seluruh hutan itu, seolah-olah suara raksasa yang sakit, padahal suara itu adalah suara banyak orang yang mengucapkan sebuah kalimat secara berbareng, "Atas perintah Pak-san Kwi-ong, kami mohon tawanan putera Sin-jiu Kiam-ong ditinggalkan di hutan ini!" "Suci, berhenti sebentar," kata Song-bun Siu-li dengan suara halus.Kereta berhenti dan kini tampaklah puluhan orang, sedikitnya ada tiga puluh orang yang mengurung kereta itu dalam jarak lima puluh meter. Mereka itu tadinya bersembunyi di balik pohon-pohon dan di dalam gerombolan-gerombolan. Terdengar suara Song-bun Siu-li yang berdiri di atas kereta dengan cambuk di tangan, suaranya masih tetap halus merdu, namun kini dikerahkan dengan penggunaan tenaga khikang sehingga menjadi nyaring dan bergema lebih dahsyat daripada suara banyak orang tadi. "Murid Sin-jiu Kiam-ong menjadi tawanan Lam-hai Sin-ni! Di sini ada Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li yang melindunginya, siapapun tidak boleh mengganggu tawanan!" Keng Hong yang kini sudah duduk di atas tanah, diam-diam memandang dengan hati geli. Dia tidak tahu siapakah adanya banyak orang-orang laki-laki yang tinggi besar dan kelihatan galak-galak itu, akan tetapi yang dia tahu adalah bahwa dia dijadikan rebutan! Dijadikan rebutan di antara tokoh-tokoh kang-ouw, bukan tokoh-tokoh kaum bersih seperti ketika gurunya dahulu dikepung di Kiam-kok-san, melainkan tokoh-tokoh hitam yang amat lihai. Namun, baik tokoh bersih maupun tokoh sesat, semua memiliki pamerih yang sama yaitu menghendaki Siang-bhok-kiam dan warisan mendiang suhunya. ini timbullah keinginan hatinya untuk mencari dan mendapatkan pusaka peninggalan suhunya. Kalau semua tokoh kang-ouw menginginkan pusaka itu, sudah barang tentu amat berharga dan penting. Kini para pengurung itu ketika mendengar disebutnya nama Song-bun Siu-li, menjadi ragu-ragu dan mereka terdiam, kemudian muncul empat orang tinggi besar yang usianya sudah empat puluh tahun lebih. Tangan masing-masing memegang sehelai rantai baja yang digantungi sebuah tengkorak manusia! Melihat rantai dengan tengkorak itu teringatlah Keng Hong akan kakek tinggi besar berkulit hitam arang yang matanya putih telinganya seperti telinga gajah dan badannya berbulu, yaitu Pak-san Kwi-ong. Kakek itu pun senjatanya sehelai rantai besar dengan dua buah tengkorak pada kedua ujungnya. Hanya bedanya, empat orang laki-laki ini, rantainya bertengkorak satu. Episode 49 "Kami Pak-san Su-liong (Empat Naga Pegunungan Utara), jauh-jauh datang melakukan perintah suhu. Mengingat akan sahabat segolongan, biarlah kami menyampaikan salam suhu kepada Ji-wi Siocia (Nona Berdua) untuk disampaikan kepada Lam-hai Sin-ni dan salam kami sendiri kepada Ji-wi. Kemudian, mengingat akan persahabatan, harap Ji-wi luluskan kami meminjam sebentar tawanan itu." "Hi-hi-hik! Enak saja membuka mulut!" Cui Im tertawa mengejek. "Kami yang susah payah menawan, kalian yang hendak memboyong. Aturan mana ini? Lebih baik kalian pergi dari sini dan sampaikan kepada Pak-san Kwi-ong bahwa kalau dia menghendaki tawanan, biarlah dia mencoba merampasnya dari tangan guruku!" "Suci, tidak perlu banyak bicara melayani mereka. Pak-san Su-liong harap tahu diri dan jangan mengganggu kami. Betapapun juga, kami tidak akan menyerahkan tawanan!" kata gadis baju putih sambil menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tinggi besar itu. "Hemmm, kalau begitu, terpaksa kami akan menguji kepandaian Ji-wi, apakah cukup patut menjadi pengawal tawanan penting!" "Bagus, majulah!" Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li sudah meloncat turun. Cui Im masih belum normal tenaga sinkangnya, belum pulih seperti biasa, akan tetapi tidaklah selemah tadi karena di sepanjang jalan gadis ini telah melatih nafas menghimpun tenaganya yang tercecer. Ia masih dapat mengandalkan ilmu pedangnya yang memang hebat dan pedang merahnya yang ampuh. Adapun gadis baju putih itu sudah memutar cambuknya sehingga terdengar bunyi ledakan-ledakan nyaring. Empat orang tinggi besar itu menyambut dua orang nona ini dengan sambaran rantai mereka dan terdengarlah suara bersiutan, tanda bahwa mereka itu bertenaga besar sekali dan dari mulut tengkorak-tengkorak itu kadang-kadang mengebul asap putih yang beracun! Pertandingan dua lawan empat ini berlangsung seru, akan tetapi Keng Hong yang duduk di belakang kereta dapat melihat jelas betapa sesungguhnya Cui Im hanya melawan seorang saja sedangkan yang tiga orang lawan diborong oleh Song-bun Siu-li. Makin kagumlah hatinya menyaksikan nona baju putih itu. Tiga rantai tengkorak yang mengepungnya tak boleh dipandang ringan karena ternyata bahwa naga-naga dari Pak-san itu benar-benar berkepandaian tinggi, malah kalau dibandingkan dengan Thian-te Siang-to murid Pat-jiu Sian-ong, agaknya masih lebih berat empat orang ini. Namun pecut di tangan Song-bun Siu-li amat lincah gerakannya, menyambar-nyambar dengan suara nyaring seperti halilintar mengamuk dan mengancam kepala tiga orang lawanya. Asap putih yang mengepul dari mulut empat tengkorak itu adalah hawa beracun, akan tetapi menghadapi ini, dua orang murid Lam-hai Sin-ni tentu saja memandang rendah karena guru mereka adalah hali racun nomor satu di dunia ini! baik Song-bun Siu-lu maupun Cui Im sudah mengeluarkan sehelai saputangan berwarna kuning yang amat harum, menggosok-gosokan saputangan masing-masing dengan keras ke hidung dan mulut mereka, kemudian menyimpan kembali saputangan itu lalu menghadapi lawan tanpa mengkhawatirkan asap beracun Biarpun tenaga sinkangnya belum pulih seluruhnya, namun ilmu pedang Ang-kiam Tok-sian-li memang hebat, sehingga tidak percuma dia berjuluk si pedang merah, dan kecerdikanya serta kekejamannya membuat ia patut pula dijuluki Tok-sian-li Si Dewi Beracun! Karena tiga orang lawan diborong sumoinya dan dia sendiri hanya menghadapi seorang lawan, pedangnya sudah dapat mengimbangi gulungan sinar rantai, bahkan beberapa kali hampir berhasil melukai lawan, yaitu memapas sebagian ujung bajunya dan membuat retak rahang tengkorak. Keng Hong yang menonton pertandingan itu, duduk dengan hati tegang, juga dia menjadi kagum. Semenjak turun gunung, dia menyaksikan pertandingan-pertandingan yang hebat. Kini mengikuti pertandingan antara murid-murid orang sakti, murid-murid dua orang datuk dari golongan sesat yang tinggi ilmunya, matanya kabur. Gulungan sinar pedang di tangan Cui-Im merah dan indah sekali, membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin melebar, mengurung gulungan sinar yang dibuat oleh rantai tengkorak lawannya. Adapun cambuk di tangan Song-bun Siu-li juga telah lenyap bentuknya, yang tampak hanya gulungan sinar hitam yang berkelebatan di angkasa dan mengeluarkan bunyi meledak-meledak keras dan sinar hitam ini dapat menahan rantai tengkorak tiga orang lawannya yang berusaha keras untuk mengalahkan gadis muda yang nama sudah amat dikenal di dunia Kang-ouw itu. Tiba-tiba Keng Hong mendapat perasaan aneh dan menengok ke belakang. Alangkah kagetnya ketika dia melihat bahwa dari arah belakang datang puluhan orang, berindap-indap dan jelas sekali mereka berniat untuk menangkapnya. Mereka adalah anak buah Pak-san Su-liong, datang menghampirinya dengan sikap mengancam, bagaikan segerombolan serigala yang hendak menyergap seekor kijang. Keng Hong maklum akan bahayanya kalau terjatuh ke tangan anak buah Pak-san Kwi-ong. Memang tidak enak juga menjadi tawanan dua orang gadis berhati ganas itu, akan tetap menjadi tawanan orang-orang kasar ini agaknya akan lebih mengerikan pula. Mengapa dia tidak membebaskan diri saja? Kalau tadinya dia masih belum membebaskan diri adalah pertama, dia suka melayani permainan asmara Cui Im yang benar-benar telah dinikmatinya dan ke dua, karena dia tertarik dan berterima kasih kepada Song-bun Siu-li yang menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi sekarang, melihat dirinya mulai diperebutkan seperti sebuah benda berharga, Keng Hong menjadi muak dan timbul keinginannya untuk meloloskan diri selagi ada kesempatan mereka saling gasak itu. Keng Hong mengerahkan sinkangnya, mendesak pusat tenaga di pusar menyalurkan hawa sakti yang dia luncurkan ke arah kedua lengannya, kemudian sekuat tenaga dia merenggut. Tali sutra hitam yang mengikat pergelangan tangannya bukan sembarang tali, kuatnya melebihi kawat baja. Namun masih tidak dapat menahan sinkang yang tersalur di kedua lengan itu, yang kekuatannya amat luar biasa, seperti tarikan dua buah belalai gajah. Tali itu mengeluarkan bunyi keras ketika terputus dan bergerak-gerak seperti tubuh ular terputus dan bergerak-gerak seperti tubuh ular terputus di atas tanah. Keng Hong hanya merasakan kulit pergelangannya panas. Ia cepat membungkuk dan melepaskan tali sutra putih yang mengikat kakinya. Ia tidak mau memutuskan tali kakinya yang dia tahu adalah sabuk sutera yang dijadikan senjata si nona baju putih, maka setelah tangannya bebas dia melepaskan tali kakinya. Pada saat itu, empat orang tinggi besar telah menubruk dan menangkapnya, ada yang merangkul kaki, ada yang merangkul pinggangnya, ada yang memegangi tangan dan ada yang memiting leher. Akan tetapi Keng Hong tidak perduli, dia terus bangun dan berjalan mendekati kereta, menyeret empat orang itu yang melekat di tubuhnya seperti lintah. Keng Hong menyedal sabuk putih kemudian berseru kepada Song-bun Siu-li yang sibuk melayani tiga orang musuhnya. Episode 50 "Song-bun Siu-li! Nih senjatamu, terimalah!" Ia sudah menggulung sabuk itu dan melemparkannya ke arah gadis baju putih yang mengeluarkan suara heran akan tetapi cepat menyambar senjatanya yang istimewa ini dan mengganti cambuknya dengan sabuk putih. Hebat bukan main gerakan Song-bun Siu-li setelah ia kini maikan sabuk sutera putih itu. Tampak sinar putih bergulung, amat tebal menyilaukan mata seperti pelangi berwarna putih perak dan dalam tiga jurus saja sabuknya sudah melibat rantai seorang di antara tiga lawannya dan sekali renggut, rantai itu terlepas dari tangan lawan dan ujung sabuk yang sebelah lagi sudah menotoknya roboh! Dua orang lawan yang lain menjadi marah dan menerjang lebih dahsyat lagi, namun dilayani oleh gadis baju putih itu dengan sikap tenang. Setelah kini senjatanya kembali ke tangannya, gadis ini menjadi lebih tenang dan penuh kepercayaannya pada diri sendiri. Keng Hong masih dikeroyok empat orang tinggi besar yang hedak menawannya, dan sambil berteriak-teriak belasan orang tinggi besar lain merubungnya, siap membantu teman-teman mereka kalau kawalahan. Keadaan Keng Hong seperti seekor jengkrik yang dirubung semut. Keng Hong menjadi marah dan tidak sabar lagi. Ia mengeluarkan seruan keras sambil menggoyang tubuhnya, gerakannya seperti seekor harimau yang menggoyang tubuhnya sehabis tertimpa air hujan. Terdengar pekik kaget dan tubuh empat orang yang menempel di tubuhnya tadi mencelat ke empat penjuru sampai lima enam meter jauhnya, menimpa teman-teman sendiri! "Tangkap.....!" "Jangan sampai dia lari!" Orang-orang yang menjadi kaki tangan Pak-san Su-liong itu berteriak-teriak sambil mengepung terus. Mereka ini hanya merupakan segerombolan orang liar yang mengandalkan tenaga, keberanian dan pengalaman bertempur karena orang-orang ini datang dari utara, menjadi anak buah Pak-san Su-liong yang di luar tembok besar sebelah utara terkenal sebagai pemimpin orang-orang liar. Namun tenaga mereka hanyalah tenaga otot dan tebalnya kulit, tentu saja menghadapi Keng Hong mereka itu tidak banyak artinya. Keng Hong mulai mengamuk untuk mencari kebebasannya. Ia menggunakan kaki dan tangannya, menendang dan memukul. Para pengeroyok berteriak-teriak kesakitan karena setiap pertemuan kaki tangan mereka dengan kaki tangan Keng Hong pasti mengakibatkan tulang patah dan kulit pecah. Melihat anak buah mereka kocar-kacir, ditambah lagi seorang di antara mereka sudah tertotok roboh, tiga orang di antara Pak-san Su-liong menjadi kacau permainannya. Apalagi kini Song-bun Siu-li sudah memegang senjatanya sendiri yang amat ampuh , maka tiga orang tinggi besar murid-murid Pak-san Kwi-ong itu tak dapat bertahan lagi. Pedang merah di tangan Cui Im berhasil melukai pundak lawannya, sedangkan kedua ujung sabuk sutera putih di tangan sumoinya yang amat lihai itu sudah merampas sehelai rantai dan memecut muka seorang lawan lagi sehingga pipinya terluka dan berdarah. Melihat lawannya mundur dan para anak buah mereka pun kocar-kacir dan mulai menjauhi Keng Hong, Song-bun Siu-li cepat berkata dan meloncat mendekati Keng Hong, "Lekas masuk kereta. Kita melanjutkan perjalanan!" Keng Hong berdiri memandang gadis itu dan menjawab, "Aku tidak mau! Aku ingin melanjutkan perjalanan ku sendiri, Nona." "Kau.... kau hendak melawanku?" Song-bun Siu-li berkata halus, suaranya dingin, sabuknya siap di tangan. "Hati-hati, Sumoi. Dia mempunyai tenaga mujijat!" kata Cui Im yang juga sudah melompat dekat, tidak mempedulikan Pak-san Su-liong yang mulai menolong teman-temannya dan pergi meninggalkan tempat itu karena maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat melanjutkan usaha mereka merampas tawanan. "Cia Keng Hong, lekas kembali ke kereta. Mereka tentu akan datang kembali, dan kalau yang muncul guru mereka Pak-san Kwi-ong, atau guru Thian-te Siang-to tadi yaitu Pat-jiu Sian-ong, kami tidak akan dapat mempertahankan engkau lagi!" kata pula Song-bun Siu-li, suaranya tetap halus akan tetapi bukan merupakan bujukan, melainkan peringatan. Keng Hong masih berdiri dengan kedua kaki terpentang, kokoh kuat seperti batu gunung, akan tetapi pakaian di sebelah belakangnya sudah compang-camping tidak karuan. Ia menggeleng kepala dan memandang kedua orang nona itu dengan pandang mata tajam. "Tidak, aku ingin bebas!" "Sumoi, hajar mampus saja laki-laki tak berbudi ini!" teriak Cui Im yang sudah melangkah maju dan siap dengan pedang merahnya. "Tahan, Suci. ibu menghendaki dia hidup-hidup! Eh, Keng Hong. Engkau sendiri tadi mengaku bahwa aku telah menyelamatkan nyawamu. Apakah ini balasanmu? Hendak melawan aku? beginikah kegagahan murid Sin-jiu Kiam-ong? Kasihan kakek itu yang tentu gelisah dalam akhirat kalau menyaksikan muridnya yang tak mengenal budi." Wajah Keng Hong menjadi merah sekali dan dia mengepal tinjunya. "Sudahlah, jangan membawa-bawa nama suhu. Baik, aku ikut akan tetapi ingat, hanya untuk menuruti perintahmu sebagai pembalas atas pertolonganmu. Setelah bertemu dengan Lam-hai Sin-ni, kuanggap hutangku padamu telah lunas!" Setelah berkata demikian Keng Hong lalu berjalan menuju ke kereta. Cui Im menyenggol lengan sumoinya dengan siku sambil menggerakan muka ke arah Keng Hong yang tampak oleh mereka dari belakang, sambil terkekeh dan berbisik, "Lihat, Sumoi...., hebat tidak, dia?" Gadis baju putih itu memandang dan seketika wajahnya yang cantik jelita itu menjadi merah sekali. Matanya yang jelita terbelalak ketika ia melihat ke arah tubuh belakang Keng Hong. pakaian bagian belakang yang compang-camping, kulitnya yang penuh debu itu masih tidak dapat menyembunyikan sebuah punggung yang tegak dengan lengkung kuat di bagian bawah seperti terbuat daripada baja bahu yang bidang, pinggang yang kecil dan sepasang pinggul yang bulat membayangkan otot-otot yang penuh tenaga di atas kaki yang kuat. Cepat-cepat dia memejamkan mata, tidak mau memandang lagi dan mulutnya mencela.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger