naruto

naruto

Kamis, 29 November 2012

pdk 220

Episode 220 Tadinya Cui Im akan menyerahkan kitab itu, akan tetapi begitu tangannya tergetar setelah kakek berambut putih itu menyetuh kitab, dia terkejut dan memandang tajam. Dilihatnya pengawal itu tersenyum mengejek, maka tahulah ia bahwa pengawal ini sengaja hendak "menguji" dan membikin malu. Ia menjadi marah dan tanpa diketahui siapapun ia mengerahkan sinkangnya sambil mempererat pegangan jari tangannya pada kitab dalam bungkusan itu. Kini giliran Theng Kiu yang kaget setengah mati. Tangan wanita itu sama sekali tidak menjadi lumpuh seperti lajimnya orang yang terkena serangan sinkangnya, dan buku itu sama sekali tidak terlepas, bahkan begitu erat terpegang ketika dia mencoba untuk mengambilnya. Kitab dalam bungkusan itu seolah-olah melekat di tangan Cui Im! Theng Kiu menjadi penasaran. Ia lalu menghimpun seluruh tenaga sinkangnya dan mengerahkan tenaga untuk mengambil kitab itu secara paksa. Namun, tetap saja kitab itu tidak terampas, bergerak sedikit pun tidak! Tadinya dia masih merasa malu untuk memperlihatkan bahwa dia mengerahkan tenaga, akan tetapi begitu mendapat kenyataan betapa kitab itu benar-benar diambil, dia tidak ingat lagi betapa dia telah memasangkan kuda-kuda di depan wanita yang berlutut itu, kedua kakinya terpentang tegak dan mengeluarkan tenaga sehingga lantai yang diijaknya seolah-olah melekat dengan telapak sepatunya, kemudian dia mengerahkan tenaga dan tampak jelas betapa dadanya melembung besar di balik bajunya. Hal ini tidak saja tampak oleh semua pengawal, bahkan kaisar sendiri melihatnya dan kaisar ini yang juga mengerti akan ilmu silat tinggi sampai mendoyong ke depan di atas kursinya untuk menyaksikan adu tenaga yang aat hebat itu. Ia tertarik sekali dan menjadi gembira karena ingin juga dia menyaksikan apakah wanita muda itu sanggup mempertahankan betotan tangan yang demikian kuat dari pengawal nomor satu. Adu tenaga itu terjadi hanya beberapa detik saja karena Theng Kiu segera maklum bahwa dia benar-benar tidak sanggup merampas kitab itu dari tangan Cui Im. Dengan muka kemerahan dia lalu melepaskan tangannya, dan berdiri seperti orang bingung. Melihat ini, hampir saja kaisar bangkit dari kurisnya saking herannya. Akan tetapi kaisar ini masih menguasai hatinya dan dia bertanya, "Theng Kiu, bagaimana? Kenapa kau tidak menerima kitab itu?" Theng Kiu menjadi makin merah wajahnya dan dia menjawab gagap, "Dia... dia tidak mau memberikannya, Sri Baginda...." Sepasang mata kaisar itu bersinar-sinar. Ia maklum apa yang terjadi diam-diam tadi, maklum atau dapat menduga bahwa pengawalnya itu tentu telah menguji tenaga wanita itu dan ternyata tidak mampu merampas kitab. "Heh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa engkau tidak menyerahkan kitab itu kepada pengawalku?" "Mohon ampun, Sri Baginda. Karena tidak ada perintah dari Sri Baginda bahwa hamba harus menyerahkan kitab kepada orang lain kecuali kepada tangan Sri Baginda sendiri, maka terpaksa hamba tidak memberikannya kepada pengawal ini," jawab Cui Im, dan hati wanita ini lega menyaksikan sinar kegembiraan di wajah kaisar. Pada saat itu, masuklah pengawal dalam dan berlutut di depan kaisar sabil melaporkan bahwa The-cai-ciangkun (Panglima Besar The) datang mohon menghadap. Mendengar ini, wajah kaisar berseri dan seolah-olah melupakan peristiwa yang dihadapinya, bertepuk tangan gembira dan berkata, "Suruh dia cepat datang menghadap. Biarpun sekarang bukan saatnya, akan tetapi aku ingin mendengar hasil persiapannya!" Theng Kiu menjadi lega hatinya karena dia merasa seolah-olah terlepas dari keadaan yang memalukan. Ia lalu melangkah kembali ke tempatnya, yaitu di antara sebelas orang rekannya yang berdiri menjaga di kanan kiri Cui Im dan Siauw Lek masih berlutut di situ dan mereka berdua pun tidak berani mengeluarkan suara atau bergerak sebelum di tanya, bahkan Cui Im masih memegangi bungkusan sutera kuning yang berisi kitab. Tak lama kemudian, masuklah dalam ruangan itu dua orang laki-laki berpakaian pembesar tinggi berpakaian sederhana berusia kurang lebih empat puluh tahun yang kelihatannya seperti orang mengantuk. Ketika Cui Im melirik ke arah dua orang pembesar itu, diam-diam ia terkejut melihat sinar mata kedua orang pembesar itu demikian terang dan tajam seperti mata harimau di tempat gelap. Kaisar sendiri menyambut dua orang pembesar itu, akan tetapi jelas bahwa kaisar amat menghormati pembesar yang bertubuh tinggi, yang usianya sudah lebih tua dari kaisar, sedangkan pembesar kedua yang pendek tubuhnya dan memakai topi bundar (peci) dan berpakaian putih pula, membungkuk-bungkuk dengan sikap tenang kepada kaisar, kemudian mereka berdua berlutut menyembah. "The-ciangkun, bangkitlah dan duduklah. Kebetulan sekali Ciangkun datang, kami sedang melakukan ujian atas diri dua orang calon pengawal yang amat menarik hati. Biarlah urusan kita itu kita bicarakan nanti setelah menguji calon pengawal ini. Dan inikah.. pembantumu yang sebut dahulu itu?" "Benar demikian, Sri Baginda yang mulia," jawab pembesar yang bertubuh tinggi dengan suaranya yang tenang dan dalam. "Hamba adalah Ma Huan, berasal dari Sin-kiang dan hamba bersiap sedia untuk membantu The-ciangkun sahabat hamba sejak dahulu untuk melaksanakan tugas memenuhi perintah Sri Baginda." "Bagus, bagus, duduklah kalian di sisiku sini, " kata kaisar. Pembesar itu adalah seorang panglima laksamana yaitu panglima yang menguasai armada yang dibentuk oleh Kerajaan Beng, bernama The Ho (tokoh ini amat terkenal, yaitu utusan Kerajaan Beng yang berlayar sampai ke Indonesia). Adapun pembesar kedua, Ma Huan, juga amat terkenal karena dia adalah seorang berilmu yang beragama Islam dan karena raja-raja kecil di seberang lautan selatan sebagian besar beragama Islam, maka Panglima The Ho mengajak Ma Huan dalam pelayarannya (ada tersebut dalam dongeng tradisionil bahwa Ma Huan ini dikeral sebagai Dampoawang yang peninggalannya banyak terdapat di Pulau Jawa, di antaranya di Gedong Batu Sampokong di Semarang). Episode 221 Dua orang pembesar itu duduk di atas kursi di sebelah kiri kaisar, sedangkan laki-laki berpakaian sederhana yang seperti orang mengantuk itu lalu berdiri di belakang The-ciangkun, sikapnya acuh tak acuh. "Kebetulan sekali engkau datang, The-ciangkun. Lihat dua orang muda itu. Bagaimana pendapat Ciangkun atas diri mereka?" The Ho menatap tajam wajah Cui Im dan Siauw Lek. Ketika Cui Im mengerling dan bertemu pandang dengan pembesar itu, ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ternyata pembesar ini memiliki wibawa yang tidak kalah hebat oleh kaisar sendiri! Ketika ia melirik ke arah Ma Huan, ia lebih bergidik lagi. Sinar mata yang amat tenang dan sabar dari kakek berkopiah putih itu seolah-olah menembus jantungnya! "Hemmm, mengingatkan hamba akan buah yang matang kepanasan, masak kulitnya mentah isinya, Sri Baginda." Jawab The Ho yang tenang ini membuat jantung Cui Im dan Siauw Lek berdebar tegang. Apakah hanya dengan sekali pandang saja panglima besar itu sudah mengenal keadaan hati mereka? Mereka menjadi gentar dan berjanji dalam hati untuk berhati-hati dan tidak sembrono menghadapi kaisar yang selain berwibawa juga memiliki banyak orang sakti itu. "Ha-ha-ha-ha-ha, wawasanmu terlalu mendalam, The-ciangkun. Akan tetapi bagaimana kalau mereka menjadi pengawal? Yang kita pentingkan adalah kegunaan mereka sebagai pengawal, bukan?" "Tergantung dari tingkat kepandaian mereka , Sri Baginda." "Justeru itulah saat ini kami sedang mengujinya. Tahukah engkau, panglimaku yang bijaksana, bahwa dia selain datang untuk melamar, juga wanita lihai yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek ini mempersembahkan sebuah kitab Thai-yang-cin-keng kepadaku?" The Ho tampak kaget dan tercengang mengerutkan keningnya. "Kalau betul demikian, jasanya tidak kecil." "Sayangnya, pengawalku tidak mampu mengambil kitab itu dari tangannya kata pula Sri Baginda sambil tersenyum. "Benarkah? Sri Baginda, bolehkah hamba menyuruh pembantu hamba Tio Hok Gwan untuk mengambilkan kitab itu dari tangannya?" "Ha-ha-ha, ini pengawal dan muridmu yang dahulu berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)? Bagus, cobalah!" The Ho menoleh ke arah pengawalnya dan mengangguk. Tio Hok Gwan dengan sikap hormat memberi penghormatan kepada kaisar dan kedua orang pembesar, lalu menghampiri Cui Im dengan malas-malasan. Cui Im maklum bahwa ia hendak diuji lagi, dan dia bingung harus bersikap bagaimana. Akan tetapi dia sudah kepalang tanggung memperlihatkan kelihaiannya, kalau kini ia menyerah begitu saja, bukankah hal ini amat mengecewakan sebagai seorang gagah? Tadi dia tidak mengalah terhadap pengawal kepala, masa sekarang terhadap orang pengantuk ini dia harus mengalah. Ketika ia melihat si pengantuk itu mengulur tangan, ia terkejut bukan main karena mendengar suara berkerotokan yang keluar dari lengan kurus itu dan angin pukulan yang menyambar ke arah lengannya bukan main kuatnya. Ia tadi mendengar kaisar menyebut si pengantuk ini Setan Bertenaga Selaksa Kati, maka ia dapat menduga bahwa si pengantuk yang malas ini tentu meiliki tenaga dahsyat. Dia sendiri mengandalkan kelihaiannya pada ilmu-ilmu silatnya yang tinggi, terutama ilmu pedangnya sedangkan dalam hal sinkang, dia belumlah terlalu mempercayai dirinya sendiri. Akan tetapi karena ia diuji dalam tenaga, tentu saja ia tidak bisa berbuat lain kecuali mengerahkan sinkangnya dan seperti tadi ia memegang kitab terbungkus sutera kuning itu dengan erat-erat. Biarpun Tio Hok Gwan diam-diam kagum menyaksikan betapa wanita itu tidak melepaskan kitab setelah disambar hawa dari tanganya, namun pada wajahnya yang aras-arasen (malas-malasan) tidak tampak perasaan hatinya. Ia melanjutkan gerakan tangannya dan memegang sebagian kitab yang terbungkus sutera kuning, kemudian mengerahkan tenaga membetot. Ia hanya mengerahkan sebagian tenaganya, karena mengira bahwa sekuat-kuatnya, wanita ini tidak akan mampu bertahan. Akan tetapi dugaannya meleset karena kitab itu tidak terlepas dari tangan Cui Im! Biarpun wanita ini merasa betapa tenaga raksasa membetot kitab sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya ikut terbetot, namun dia mengerahkan sinkang dan mempertahankan diri. Kaisar, The Ho, dan Ma Huan menonton pertunjukkan itu dengan penuh perhatian. Kaisar memandang dengan wajah berseri, The Ho dengan tenang mengelus jenggotnya, dan Ma Huan tersenyum-senyum seperti menyaksikan permainan dua orang anak nakal. Kemudian Tio Hok Gwan menggerakkan sedikit pundak kanannya dan ternyata tenaga bertambah hebat. Cui Im penasaran dan tetap mempertahankan. "Brettt....!" Kain sutera kuning pembungkus kitab hancur lebur tergencet getaran dua tenaga sakti dan Cui Im hampir tidak kuat bertahan lagi, mukanya agak pucat dan napasnya terengah-engah. "Jangan merusakkan kitab....!" Cui Im berseru dan Tio Hok Gwan melepaskan tangannya sambil menoleh ke arah kaisar, seolah-olah hendak minta nasihat. Cui Im yang cerdik dapat mempertahankan kitab, namun kaisar dan dua orang pembesarnya sudah maklum akan kehebatan tenaga Tio Hok Gwan, maklum pula akan kecerdikan Cui Im, maka kaisar berkata,"Bhe Cui Im, kami perintahkan kepadamu untuk menyerahkan kitab kepada Tio Hok Gwan." "Dengan segala kerendahan dan kesenangan hati, Sri Baginda yang mulia !" kata Cui Im dan ia tersenyum dan mengedipkan mata mengejek Tio Hok Gwan yang menerima kitab itu. Senyum dan kedipan matanya seolah-olah mengatakan bahwa betapapun juga, si pengantuk itu tidak berhasil merampas kitabnya. Akan tetapi yang diejek tetap aras-arasen, menerima kitab dan mempersembahkan kitab itu kepada kaisar. Episode 222 Mereka bertiga kaisar, The Ho dan Ma Huan, memeriksa kitab itu dan ketiganya menjadi kagum karena mengenal kitab itu benar-benar adalah peninggalan Jenghis Khan berisi taktik-taktik ilmu perang yang amat penting. "Engkau perlu mempelajarinya sebelum ke selatan, The-ciangkun," kata kaisar sambil menyerahkan kitab kepada The Ho. The Ho menerima dan menyerahkannya kepada Tio Hok Gwan untuk disimpan. Pengawal lihai yang suka mengantuk ini menyimpan kitab penting itu ke dalam saku bajunya sebelah dalam, kemudian berdiri di tempatnya sambil mengantuk! "Theng Kiu, kami memerintahkan agar engkau suka menguji Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, bangkitlah dan lawanlah Theng Kiu, perlihatkan ilmu pedang agar kami dapat menilai apakah patut engkau menjadi pengawal pribadi!" Theng Kiu memberi hormat, juga Bhe Cui Im. Adapun Siauw Lek lalu mengundurkan diri, berdiri di pinggiran sambil memandang penuh perhatian. Cui Im sudah bangkit berdiri, demikian pula Theng Kiu sudah meloncat ke depan wanita itu, di dalam hatinya ingin dia menebus kekalahannya ketika mengadu tenaga memperebutkan kitab tadi. Ketika Cui Im menggerakkan tangan, tampak sinar merah berkelebat dan dia telah mencabut pedangnya. Juga Theng Kiu sudah mencabut senjatanya yang ternyata adalah sebatang ruyung berduri yang berwarna kuning seperti emas. "Mohon ampun, Sri Baginda" kata Theng Kiu sambil memberi hormat kepada junjungannya. "Wanita ini lihai dan dalam pertandingan senjata, hamba khawatir kalau-kalau ada fihak yang terluka atau tewas oleh senjata. Bagaimana kalau sampai hamba terlanjur menewaskannya?" Kaisar menganguk-angguk. "Dalam pertandingan mengadu silat, terluka atau mati bukanlah hal yang aneh." Akan tetapi Cui Im berkata kepada kaisar sambil menyoja dengan kedua tangannya, "Mohon ampun, Sri Baginda. Seorang yang benar-benar ahli dalam menggunakan senjata, akan dapat mengalahkan lawan tanpa membunuhnya, bahkan tanpa melukainya. Setiap detik senjata masih dapat ditarik kembali sebelum terlanjur." The Ho mengelus jenggotnya dan berkata perlahan,"Omongan yang hanya dikeluarkan seorang yang benar-benar ahli. Wanita ini sombong, akan tetapi ucapannya memang benar, Sri Baginda." "Mulailah!" Kaisar menggerakkan tangan ke atas dan semua mata memandang ke arah dua orang yang sudah siap itu. "Lihat serangan!" Theng Kiu membentak dan ruyungnya menyambar, menjadi sinar keemasan menghantam ke arah kepala Cui Im. Wanita ini melihat bahwa gerakan lawannya cukup kuat dan cepat baginya. Ia merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut sehingga ia tahu bahwa ruyung itu akan melewati atas kepalanya dan langsung ia membalas dengan gerakan pedangnya menyerampang kaki lawan. Cepat sekali gerakannya itu, hampir bersamaan dengan serangan Theng Kiu seningga pengawal kepala ini terkejut dan cepat meloncat sabil miringkan tubuh dan dia pun meniru lawan untuk bergerak cepat, ruyungnya yang melewati kepala tadi dia balikkan menimpa pundak Cui Im tidak membiarkan tulang pundaknya diremukkan ruyung, ia miringkan tubuh sambil meloncat ke atas dan otomatis pedangnya yang luput menyerapang kaki tadi sudah membentuk lingkaran ke atas dan menukik dengan tusukan ke arah mata Theng Kiu! Akan tetapi Theng Kiu sudah memutar pergelangan tangannya, ruyungnya menangkis keras. "Tranggggg...!" Bunga api berhamburan dan secepat kilat Cui Im yang sudah ke bawah itu menusukkan pedangnya ke arah perut lawan. Kembali menghadapi serangan yang cepat ini tidak ada lain jalan bagi Theng Kiu kecuali menggerakkan ruyung dari samping menangkis keras. "Cringgggg....!" Kini Theng Kiu sambil menangkis, membarengi dengan pukulan tangan kiri ke arah dada Cui Im dari samping.Begitu kedua mendekati sasaran. Namun Cui I mengelak ke kanan dan mengayun kakinya menendang lutut lawan. Kalau saja Theng Kiu tidak cepat mengelak sambil memutar ruyungnya melindungi tubuh, tentu lututnya patah atau lehernya terbabat pedang karena sambil menendang tadi pedang Cui Im sudah menyambar ke leher. Kebali kedua senjata bertemu keras. "Tranggggg...!" Theng Kiu menghantam ruyung dari bawah ke arah pinggang, ditangkis Cui Im. "Cringggg!" Dan tiba-tiba tampak sinar merah bergulung-gulung ketika Cui Im membalas dengan serangan bertubi-tubi. Cepat bukan main gerakan pedang wanita ini sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedangnya yang merah. Theng Kiu terpaksa mengerahkan seluruh tenaga mengimbangi kecepatan lawan, namun tetap saja dia kalah cepat sehingg di antara dua gulung sinar pedang erah dan sinar ruyung keeasan yang membungkus tubuh kedua orang itu, terdengar suara "crang-cring-crang-cring!" nyaring berkali-kali dan kesemuanya merupakan pedang yang menyerang dan ruyungnya yang terus menerus menangkis karena tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang! Semua orang yang menonton termasuk kaisar sendiri, menahan napas, kecuali The Ho yang mengelus-elus jenggot, Ma Huan yang tersenyum-senyum dan Tio Hok Gwan yang makin mengantuk sungguhpun kedua mata yang mengantuk ini tak pernah berkedip menonton pertandingan. Pertandingan itu amat seru dan menegangkan, berlangsung dengan kecepatan yang memusingkan para penonton yang masih belum setinggi itu tingkatnya. Cui Im memang seorang ahli pedang yang lihai. Dahulu pun, ketika ia masih menjadi murid Lam-hai Sin-ni dan berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah), ilmu pedangnya sudah hebat dan jarang ada yang mampu menandinginya Sekarang, setelah ia mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dan mujijat dari peninggalan Sin-jiu Kiam-ong selama empat tahun, kepandaiannya sudah meningkat luar biasa. Ilmu pedangnya kini amat hebat, merupakan gabungan dari ilmu pedangnya sendiri yang ia pelajari dari Lam-hai Sin-ni disempurnakan dengan ilmu pedang yang ia pelajari dari kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang inti sarinya merupakan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam dan yang hanya diiliki atau diwarisi oleh Keng Hong karena Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam ini dirahasiakan oleh Sin-jiu Kiam-ong dan hanya Keng Hong yang telah menerima ajaran gurunya. Namun ilmu pedang ciptaan Sin-jiu Kiam-ong itu benar-benar mencakup semua inti dari ilmu pedang Hoa-san-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan Siauw-li-pai menjadi satu. Di masa mudanya, Sin-jiu Kiam-ong yang mencuri ilmu-ilmu dari partai-partai besar telah memetik bagian-bagian yang terlihat kemudian menggabungkannya sehingga kini ilmu pedang yang dimainkan oleh Cui Im benar-benar luar biasa sekali. Di lain fihak, ilmu silat Theng Kiu adalah ilmu silat gabungan dari utara dan selatan, dan juga dia memiliki jurus-jurus gabungan yang aneh, akan tetapi dibandingkan dengan Cui Im, tingkat ilmu silatnya kalah tinggi. Selain itu, karena Cui Im sudah mempelajari cara bersamadhi dan menghimpun tenaga dari kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, terutama sekali dari kitab kedua Siauw-lim-pai Seng-to-cin-keng dan I-kiong-hoat-hiat, maka dia telah memiliki sinkang yang amat kuat, lebih kuat daripada tenaga sinkang Theng Kiu sehingga wanita ini menang tenaga dan menang cepat.

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger