naruto

naruto

Jumat, 30 November 2012

pdk harum 341--345

Episode 341 "Marilah kita bicara di taman sana, Lo-enghiong. Sungguh tidak menyenangkan dan amat memalukan bagiku kalau ada telinga lain yang mendengarnya," kata gadis itu perlahan-lahan. Timbul kecurigaan di hati Lian Ci Sengjin. "Katakan dulu mengapa kau lakukan itu, baru aku percaya," katanya terus terang. Hun Bwee menarik napas panjang dan menoleh ke kanan kiri, kemudian melangkah maju mendekat dan berbisik lirih, "Lo-enghiong, aku adalah puteri tunggal Tan-piauwsu. Ayah dan ibuku mendendam sakit hati kepada Sin-jiu Kiam-ong dan aku sudah bersumpah membalasnya. Karena ayah dan ibu mati oleh perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, maka aku harus membalas kepadanya dan karena dia pun sudah tidak ada, maka satu-satunya jalan hanya membalas dendam kepada muridnya," Lian Ci Sengjin mengangguk-angguk. Dia mengenal Tan-piauwsu dan sudah mendengar pula piauwsu itu merupakan seorang di antara musuh-musuh Sin-jiu Kiam-ong. "Lalu bagaimana?" "Aku... eh, telah... Menjadi isteri Lo-enghiong... dan... Hal itu... amat membahagiakan hati..." "Hemmm... sesunguhnyakah?" Jantung bekas tokoh Kun-lun-pai yang sudah setengah abad kurang sedikit usianya ini berdebar. "Perlu apa aku bohong? Mengapa Lo-enghiong dahulu itu meninggalkan aku begitu saja? Padahal aku... aku mencari-carimu, maka aku menimpakan noda itu kepada Keng Hong." "Tapi... tapi kenapa engkau mengancamku ketika murid Siauw-lim-pai itu membuka... Rahasia itu?" "Aihhhhh... Lo-enghiong mengapa tidak tahu akan wanita? Tentu saja aku malu di depan begitu banyak orang dan... sudahlah, mari kita bicara ke taman sana sambil menikmati sinar bulan dan membicarakan masa depan kita. Ataukah... Lo-enghiong benar-benar berwatak habis manis sepah dibuang?" Sejenak mereka berpandangan di bawah sinar bulan yang terang. Lian Ci Sengjin memandang dengan pandang mata penuh selidik namun sudah diamuk berahi tentu saja penyedilikannya percuma sehingga makin lama makin menipis sinar menyelidik, terganti seluruh oleh sinar mata mesra dan haus, maka akhirnya hanya sepasang mata yang indah, mulut yang manis menggairahkan saja yang tampak olehnya. Adapun Tan Hun Bwee memandang bekas tokoh Kun-lun-pai itu dengan mata dikerlingkan, tajam memikat, mulut agak terbuka sehingga di balik sepasang bibir merah basah tampak deretan gigi putih mengkilap dan ujung lidah merah mengintai genit. Biarpun hatinya sudah yakin kini bahwa gadis ini benar-benar "jatuh cinta" kepadanya karena peristiwa dahulu itu, mulut Lian Ci Sengjin masih bertanya, "Nona, mana bisa aku percaya begitu saja? Aku sudah tua, engkau masih begini mmuda, segar dan cantik jelita.” "Ah, kenapa engkau berkata demikian, Lo-enghiong? Aku adalah seorang wanita dari keluarga baik-baik. Setelah... setelah menjadi milikmu... bagaiana aku tidak mencintamu? Engkkau telah memiliki diriku, berarti telah memiliki jiwa ragaku... Hun Bwee menundukkan muka dan kelihatan malu-malu kucing sehingga sikap ini makin membetot jantung Lian Ci Sengjin. "Tapi... tapi... hatiku belum yakin..." "Aahhh...!" Hun Bwee tiba-tiba melangkah maju. Lian Ci Sengjin terkejut dan siap menangkis. Akan tetapi kedua tangan Hun Bwee bergerak mesra sekali merangkul leher Lian Ci Sengjin, kedua lengan yang berkulit halus putih itu seperti dua ekor ular merayap melingkari leher, menarik leher itu sehingga Lian Ci Sengjin terpaksa menundukkan muka. Muka mereka perlahan saling mendekati, dua pasang mata bertemu pandang, makin dekat, makin dekat sehingga laki-laki itu merasa napas halus Hun Bwee menyapu pipinya, mencium keharuman yang memabukkan dan masih saja Hun Bwee menariknya sehingga akhirnya mulut bertemu dalam sebuah ciuman yang hanya pernah dialami Lian Ci Sengjin dalam alam mimpi sebelumnya! Hampir pingsan Lian Ci Sengjin dibuatnya! Sepasang matanya terbelalak dan sejenak dia tidak percaya akan pengalamannya, namun diam-diam menikmati permainan perasaan yang amat luar biasa. Betapa sepasang bibir yang lembut, hangat dan basah mengecup-ngecupnya! Betapa gigi yang putih-putih menggigit gemas! Betapa lidah kecil merah itu...! Lian Ci Sengjin semenjak mudanya menjadi tosu. Seperti juga segala macam agama di dunia ini, Agama To pun merupakan agama yang amat baik, amat suci dan merupakan pelajaran bagi manusia untuk tidak menghambakan diri kepada nafsu dan kenikmatan duniawi. Kalau toh ada seseorang beragama yang melakukan penyelewengan, hal ini bukanlah sekali-kali salahnya agama itu sendiri, melainkan kesalahan si orang yang lemah batinnya sehingga menyeleweng daripada ajaran agamanya! Agamanya sendiri tetap suci, tetap bersih, namun manusia juga tetap manusia, mahluk yang selemah-lemahnya! Semenjak mudanya, sudah banyak Lian Ci Sengjin digembleng dengan pelajaran-pelajaran Agama To, namun karena batinnya lemah, dia tidak mampu menanggulangi amukan nafsu-nafsu dirinya sendiri, terutama sekali nafsu birahi. Kini, pertahanannya yang umpama sebuah tanggul sudah bocor, mana kuat menahan nafsu yang membanjir karena dibangkitkan oleh Hun Bwee! Segala pertahanannya hancur berantakan dan dia tenggelam dalam lautan nafsunya sendiri. Geraman seperti suara seekor beruang keluar dari kerongkongan dan dia membalas ciuman Hun Bwee dengan kasar penuh nafsu, memeluk tubuh wanita itu yang seolah-olah hendak di telannya bulat-bulat di saat itu juga! Hun Bwee memegang lengan Lian Ci Sengjin yang menggerayangi pakaiannya sambil berbisik, "Lian Ci koko... Jangan ... Jangan disini... ohhh...!" Lian Ci Sengjin merasa seolah-olah terapung di langit ke tujuh mendengar sebutan "koko" ini, kedua lengannya memeluk dan sambil tertawa seperti orang mabuk, dia menggendong tubuh kekasihnya itu dan membawanya lari ke dalam taman di mana terdapat banyak pohon-pohon sehingga mereka akan terlindung dalam kegelapan bayangan pohon. Semenjak manusia tercipta, nafsu berahi merupakan nafsu yang paling kuat dan jika nafsu ini telah mencengkeram diri manusia, maka si manusia lupa akan segala hal, kehilangan kewaspadaannya dan seluruhnya menjadi permaianan nafsu. Dapat dilihat dalam catatan sejarah betapa banyaknya kaisar-kaisar yang jatuh kerena diperhamba nafsu berahi, orang-orang gagah runtuh karena wanita, dan orang-orang yang hendak menyucikan diri tergoda oleh nafsu yang merupakan godaan terkuat. Nafsu berahi merupakan anugerah alamiah yang memperindah cinta kasih antara pria dan wanita, mendorong manusia untuk berkembang biak dan sudahlah menjadi hukum alam. *** Episode 342 Namun apabila nafsu berahi tidak dikekang dan sudah mencengkeram diri manusia yang telah menciptakan hukum-hukum kesusilaan, maka segala rintangan, segala pantangan akan dilanggar di luar kesadarannya. Dalam cengkeraman nafsu berahinya yang memuncak, Lian Ci Sengjin lupa bahwa wanita cantik yang kini dipeluknya dan diletakkan dengan mesra di atas rumput tebal dalam taman itu adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, jauh lebih tinggi tingkatnya daripada dia sendiri, lupa bahwa dia pernah melakukan perbuatan keji dan terkutuk terhadap gadis ini. Dalam keadaan telanjang bulat, bagaikan seekor binatang buas dia menubruk gadis yang dianggapnya kekasihnya itu, dan gerengnya dahsyat keluar dari kerongkongannya. Akan tetapi gerengan dahsyat ini berubah menjadi pekik kaget yang tertahan. Untuk terkejut pun dia tidak sempat lagi, karena tahu-tahu tubuhnya telah menjadi lemas, tertotok oleh dua ujung jari Hun Bwee yang amat lihai. Tubuh Lian Ci Sengjin tergelimpang tak berdaya di atas rumput dan hanya matanya yang memandang betapa gadis dengan tubuh yang bagaikan terselaput emas di bawah sinar bulan purnama itu kini tidak tampak lagi oleh Lian Ci Sengjin karena seolah-olah gadis itu telah berubah menjadi setan yang amat menyeramkan baginya. "Hi-hi-hik, he-he-heh-heh-heh!" Hun Bwee merenggut pakaiannya dan tidak tergesa-gesa mengenakan pakaiannya menutupi tubuhnya yang telanjang di depan pandang mata Lian Ci Sengjin, seperti orang yang bersolek dan memikat. Setelah semua pakaian dikenakannya, ia menyanggul kembali rambutnya yang tadi terlepas dalam pergumulan mesranya dengan Lian Ci Sengjin! Lian Ci Sengjin maklum bahwa dia telah terjebak, maklum akan bahaya maut mengancam dirinya. Cepat dia membuka mulut hendak menjerit untuk menarik perhatian kawan-kawannya. Namun secepat kilat Hun Bwee menampar mulutnya, mencengkeram mulut itu dengan tangan kiri, kemudian tangan kanannya menyambar pakaian Lian Ci Sengjin. Celana bekas tokoh Kun-lun-pai itu kini disubatkan ke dalam mulut sampai hampir memenuhi kerongkongan! "Hi-hi-hik! Lian Ci Sengjin, ataukah Lian Ci Tojin? Enak benar ya engkau dahulu memperkosa aku? Hi-hi-hik, sekarang tiba saatnya engkau menerima hukumanku!" Lian Ci Sengjin hanya membelalakan matanya dengan penuh rasa ngeri dan serem, kemudian saking takutnya, air keluar dari atas dan bawah! Ia terkencing-kencing saking takutnya, dan air matanya mengalir turun, pandang matanya minta dikasihani seperti mata seekor lembu yang sudah ditelikung akan disembelih. Namun tentu saja keadaannya ini bukan menimbulkan rasa iba di hati Hun Bweee, bahkan menambah kemarahan gadis yang sudah kumat lagi gilanya itu! "Singggg...!" Sinar hitam berkelebat ketika Hek-sin-kiam dicabut. "Apamu dulu yang harus dihukum? Hi-hi-hik!" Hun Bwee mengelebatkan pedangnya depan hidung Lian Ci Sengjin. "Mula-mula tanganmu, ya? Tanganmu mencengkeramku, merenggut lepas pakaianku, membelaiku. Benar, tanganmu yang lebih dulu kurang ajar. "Sinar hitam berkelebat dan andaikata mulut Lian Ci Sengjin tidak disumbat, tentu dia melolong-lolong saking nyerinya. Satu demi satu jari tangannya dibabat buntung oleh sinar pedang hitam, tinggal setengah jari saja! Dapat dibayangkan betapa nyerinya, kiut-miut rasanya, pedih perih seperti jarum-jarum ditusukkan ke ulu hatinya. Hebatnya, gadis itu kini menari-nari di depan Lian Ci Sengjin! Menari-nari sambil terkekeh-kekeh kegirangan seperti seorang anak kecil bermain-main. "Bagus! Bagus! Hi-hik-hik, kini tanganmu tidak dapat mengerayangi tubuh wanita lagi! Sekarang apamu?" Tiba-tiba Hun Bwee berhenti menari, menengadah dan mengerutkan kening, mengingat-ingat.dahulu ketika dia diperkosa, dia berada dalam keadaan pingsan, atau setengah pingsan sehingga dia hanya ingat secara remang-remang saja. "Hemmm, engkau menciumku! Hidungmu menciumi seluruh tubuhku, keudian mulutmu yang bau bangkai itu menggigit bibirku dan leherku!" Kembali sinar hita berkelebat dua kali seperti kilat menyambar dan... ujung hidung Lian Ci Sengjin terbabat putus disusul kedua bibirnya! Tentu saja wajah yang tersumbat mulutnya itu tampak buruk mengerikan sekali. Tampak dua buah lubang hidungnya yang kehilangan bukit hidung, dan giginya yang besar-besar kuning tampak pula setelah sepasang bibir penutupnya robek. Lian Ci Sengjin memejamkan matanya, keningnya berkerut-kerut saking nyeri yang hampir tak tertahankan lagi. Darah membasahi tubuh dan lehernya, darah dari kedua tangan dan dari mukanya. Ketika dia membuka mata lagi, biji matanya berputar-putar liar penuh ketakutan. "Hi-hi-hik! Engkau makin buruk saja, menjijikan! Orang macam engkau ini hendak menjadi kekasihku? Heh-he-heh! Sekarang bagian tubuhmu yang paling menjijikan harus dibuang!" Pedang berkelebat dan Lian Ci Sengjin memejamkan mata, maklum bahwa maut akan datang merenggut nyawanya. Akan tetapi pedang tidak jadi dibacokkan dan Hun Bwee tertawa-tawa. "Ah, nanti dulu, hi-hi-hik! Keenakan engkau kalau mati sekarang! Engkau pun telah menyiksaku dan sampai kini aku masih hidup, hu-hu-huuuuuk!" Gadis itu menangis. Lian Ci Sengjin makin mengkirik ngeri. Tiba-tiba Hun Bwee tertawa lagi. "Ha-ha-hi-hi-hik! Benar! Matamu itu, ah, kalau saja matamu bukan yang kau pakai sekarang ini, belum tentu engkau akan melakukan perkosaan kepadaku. Matamu itu mata keranjang, dan lebih baik dibuang saja!" Dua kali pedang berkelebat dan sepasang biji mata Lian Ci Sengjin tercokel keluar! Mengerikan sekali keadaan bekas tokoh Kun-lun-pai itu. Kalau tadi dia masih dapat memperlihatkan rasa takut dan rasa nyeri yang luar biasa melalui pandang matanya, kini dia hanya mampu berkelojotan. Hanya gerakan berkelojotan lemah ini saja yang menandakan bahwa dia belum mati, belum pingsan dan masih menderita penyiksaan yang hanya dapat dilakukan seorang yang sudah gila itu, gila karena berubah ingatan atau juga gila karena diamuk dendam. Hun Bwee masih terkekeh-kekeh dan berkali-kali pedangnya berkelebat berubah menjadi sinar hitam. Mula-mula sepuluh buah jari kaki Lian Ci Sengjin dibabat buntung kemudian kedua telinganya dan semua anggauta tubuh yang "menonjol", dibuntungi semua satu demi satu. "Heh-heh-heh, engkau tidak merintih. Ohhh, sumbat mulutmu!" Hun Bwee yang agaknya merasa kurang puas karena melihat korbannya tidak dapat mengluarkan suara itu, menyambar dan membuka sumbat yang dijejalkan ke mulut Lian Ci Sengjin. Begitu subat mulutnya dibuka terdengar rintihan dari mulut itu, rintihan yang tidak karuan bunyinya, akan tetapi masih dapat ditangkap kata-katanya, ...ampun... ampun... ampun...!" "Hi-hi-hik! Bagus sekali...!" Tiba-tiba pedang menyambar ke bawah pusar Lian Ci Sengjin. Episode 343 "Auggghhhhrrrrr...!" Jeritan terakhir yang keluar dari kerongkongan Lian Ci Sengjin amat nyaring, juga amat mengerikan karena itu adalah pekik kematian yang mungkin dibarengi dengan melayangnya nyawa dari tubuhnya. Lian Ci Sengjin sudah mati setelah disiksa selama hampir setengah jam, akan tetapi Hun Bwee belum puas agaknya, pedangnya masih terus menyambar-nyambar membacoki tubuh yang sudah menjadi mayat itu dan tubuh itu kini terpotong-potong dicacah-cacah sampai tidak ada potongan yang lebih besar dari setengah kaki panjangnya. Kepalanya dibelah menjadi empat potong dan anggauta tubuh yang paling dibenci Hun Bwee dan paling membuatnya jijik itu telah dicacah-cacah seperti daging bahan bakso! Dan sekarang Hun Bwee tidak tertawa-tawa lagi melainkan menjerit-jerit menangis diselingi tawa sambil membacoki terus! Pakaian merahnya penuh dengan percikan darah tak dipedulikan. Pedang hitamnya juga sudah basah oleh darah. Dalam keadaan seperti itulah lima orang annk buah Pat-liu Sian-ong yang kebetulan meronda di taman mendapatkan gadis itu. Lima orang anak buah ini cepat lari mendekati dan mereka terbelalak penuh kengerian ketika melihat gadis itu membacoki mayat yang sudah menjadi onggokan daging berceceran. Hanya ketika mereka melihat pakaian Lian Ci Sengjin di atas rumput saja yang membuat mereka sadar bahwa yang dibacoki itu adalah bekas tubuh Lian Ci Sengjin! "Celaka...!" Seorang di antara mereka berseru kaget. Mendengar ini, Hun Bwee menengok dan sambil berteriak ganas ia menerjang ke depan, menggerakkan pedangnya. Lima orang itu cepat menggunakan senjata menangkis, akan tetapi dalam sekejap mata saja, empat orang di antara mereka roboh dengan nyawa melayang, dan hanya seorang yang terluka di pundaknya masih sempat lari sambil berteriak-teriak sekerasnya. Han Bwee mengejarnya. Dua bayangan orang berkelabat dan muncullah Si Iblis Cebol Gu Coan Kok dan si raksasa Kerait yang bernama Hok Ku. Melihat keadaan Han Bwee, dua orang di antara iblis-iblis Tembok Besar ini cepat menyerangnya. Gu Coan Kok menyerang dengan tongkatnya yang panjang, gerakannya cepat dan aneh sekali, menyodokkan tongkatnya ke arah perut Hun Bwee. Pada saat itu juga, Hok Ku si raksasa tinggi besar bongkok sudah menggerakkan senjatanya berbentuk cakar besi yang beracun dan yang disambung dengan kedua tangannya, menyerangnya dengan Toat-beng-tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa), mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dengan tangan kanan ke arah dada Hun Bwee. Hun Bwee menjadi marah sekali. Mulutnya mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya berkelebat, berubah menjadi segulung sinar hitam yang sekaligus menangkis tongkat yang menyodok perut dan cakar yang mencengkeram dada, sedangkan tangan kirinya dengan berani menyampok cakar yang mencengkeram kepalanya. *** "Cring! Tranggg! Plakkk!" Dua orang jagoan Tembok Besar terkejut sekali karena tangkisan pedang itu membuat senjata mereka terpental, sedangkan cakar besi beracun itu ketika disampok tangan kiri Hun Bwee, membuat Hok Ku hampir terguling! Padahal raksasa bongkok ini memiliki tenaga yang amat besar. Tahulah mereka bahwa wanita gila ini ternyata lihai luar biasa. Mereka bersilat dengan hati-hati sekali apalagi ketika Hun Bwee kini membalas dengan serangan yang bertubi-tubi dan gerakannya seperti gerakan ngawur, asal bacok dan tusuk saja bukan seperti gerakan seorang ahli pedang. Justru gerakan ngawur inilah yang menyembunyikan kelihaian ilmu pedang ajaran Gobi Thai-houw si nenek gila. Gerakan penyerangan yang ngawur ini benar-benar mengacaukan dua orang jagoan Tembok Besar. Kelihatannya ngawur, akan tetapi dari gerakan itu memancar keluar bahaya-bahaya maut sehingga mereka tidak berani memandang ringan dan cepat menggerakkan senjata untuk menangkis. "Hi-hi-hik!" Hun Bwee terkekeh dan tiba-tiba tubuhnya jatuh terpelanting sendiri karena kakinya yang kacau itu membuat ia kehilangan keseimbangan tubuh! Melihat wanita baju merah itu terguling miring, pedangnya terhimpit tubuhnya sendiri, tentu saja dua orang jagoan Tembok Besar menjadi girang bukan main. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi dan melihat keadaan lawan, mereka tahu bahwa kini mereka tentu akan dapat menundukkan lawan aneh itu. Cepat mereka berdua menubruk, seperti berlumba, menggerakkan senjata. Betapapun juga, karena mereka ingin menawan wanita gila ini hidup-hidup, senjata tongkat bergerak menotok jalan darah sedangkan kedua cakar besi mencengkeram pundak. Mereka berdua tidak mengirim pukulan maut karena keadaan lawan yang sudah tidak berdaya seperti tiu, dengan penyerangan mereka itu pun pasti mereka akan berhasil. Kedua orang jagoan Tembok Besar itu boleh jadi memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman bertanding yang matang, akan tetapi tentu saja mereka belum pernah bertemu dengan lawan yang memiliki ilmu dari Go-bi Thai-houw yang luar biasa, ilmu yang diciptakan oleh orang yang miring otaknya sehingga akal-akal yang terdapat dalam ilmu silatnya kiranya hanya akan diduga dan diperhitungkan oleh orang sinting pula. Jatuhnya tubuh Hun Bwee sehingga rebah sendiri bukanlah pedang sewajarnya, sungguhpun tampaknya demikian, melainkan gerak tipu yang berbahaya sekali! Ketika ujung senjata kedua orang sudah hampir berhasil, secara tak tersangka-sangka dan tiba-tiba tubuh gadis itu terguling menelungkup dan kedua kakinya bergerak menendang, bukan menendang seperti biasa, melainkan "menyepak" ke belakang seperti kaki belakang kuda mengarah anggota rahasia pusar kedua orang lawan! Bukan main kagetnya Gu Coan Kok dan Hok Ku! Kalau serangan mereka itu mereka lanjutkan, tentu akan mengenai lawan, akan tetapi tidak menimbulkan kematian. Sebaliknya, sepakan gadis itu itu pun akan mengenai sasaran dan tentu akibatnya amat hebat. Namun, untuk menarik kembali serangan mereka, sudah tidak keburu lagi maka mereka berusaha mengelak. Masih untung bahwa mereka adalah dua orang yang amat pandai, sehingga dalam keadaan tubuh sudah condong ke depan dan menyerang itu mereka masih sempat meloncat ke belakang sehingga sepakan yang cepat dan kuat itu tidak mengenai sasaran secara tepat dan hanya mengenai paha mereka. Dua orang itu berteriak dan masih dapat meloncat terus ke belakang, paha mereka terasa panas kena dicium belakang kaki Hun Bwee, dan serangan mereka yang tadi hanya menyentuh tubuh Hun Bwee sama sekali tidak mendatangkan kerugian apa-apa. Sambil terkekeh girang Hun Bwee sudah meloncat bangun, kemudian memutar pedangnya, mendesak dengan tikaman-tikaman berantai ke arah kedua lawannya. Terpaksa dua orang jagoan Tembok Besar ini mengerakkan senjata mereka dengan cepat untuk melindungi tubuh sehingga terdengar suara nyaring berkali-kali bertemunya pedang dengan tongkat dan cakar besi. Dalam belasan jurus saja dua orang itu terdesak hebat oleh gulungan sinar pedang hitam. Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Perempuan gila! Engkau telah membunuh lian Ci Sengjin?" Bentakan ini disusul dengan meledak-ledak seperti halilintar menyambar-nyambar dan ternyata kini di tempat itu telah muncul Pat-jiu Sian-ong sendiri, bersama Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang menggerakkan pecut bajanya sehingga menibulkan suara halilintar itu. Selain mereka berdua, juga Sian Ti Sengjin ikut datang karena mendengar bahwa sutenya terbunuh orang. Kini bekas tokoh Kun-lun-pai itu berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak memandang bekas tubuh sutenya yang sudah menjadi cacahan daging berceceran tidak karuan. Tak terasa lagi air mata menetes-netes turun membasahi pipinya yang mulai kisut. Episode 344 "Sute. Ahhh, Sute...!" Ia mengeluh dan terbayanglah segala pengalamannya bersama sutenya. Lian Ci Sengjin merupakan sutenya yang paling dicintanya, bahkan akhir-akhir ini menjadi sekutunya, ketika mereka menetang Kian Tojin, suheng mereka. Melihat sutenya telah menjadi daging berceceran seperti itu, hati Sian Ti Sengjin menjadi ngeri dan dia mengingat-ingat, dosa apa gerangan yang dilakukan sutenya sehingga kini menemui kematian yang demikian mengenaskan. Kini pertandingan dilanjutkan dengan amat hebat, akan tetapi setelah Pat-jiu Sian-ong muncul di situ, keadaan Hun Bwee terdesak hebat sekali. Tentu saja kalau dibandingkan dengan Pat-jiu Sian-ong kakek kate kecil berkepala besar yang menjadi seorang di antara Bu-tek Su-kwi, Hun Bwee kalah jauh. Betapapun juga, andaikata dia hanya menghadapi kakek ini satu sama satu, belum tentu Pat-jiu Sian-ong akan dapat merobohkannya karena gadis ini memiliki ilmu yang amat aneh sehingga Pat-jiu Sian-ong sendiri menjadi bingung dibuatnya. Dan andaikata gadis itu hanya dikeroyok ketiga orang jagoan Tembok Besar, yaitu Gu Coan Kok yang bersenjata tongkat, Hok Ku yang bersenjata pecut baja, kiranya Hun Bwee masih akan dpat mengalahkan mereka dengan akal-akalan yang aneh. Akan tetapi kini dia dikeroyok empat dan terutama sekali senjata kebutan hudti dari Pat-jiu Sian-ong dibarengi pukulan-pukulan sinkang tangan kiri kakek ini yang amat ampuh membuat Hun Bwee kewalahan. Setelah lewat lima puluh jurus di mana Hun Bwee membela diri mati-matian, tiba-tiba ujung hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong berhasil membelit pedang Hek-sin-kiam sehingga kedua orang ini berkutetan mengadu tenaga untuk mempertahankan senjata masing-masing. Saat itu dipergunakan oleh Cou Seng untuk menyembar pecut bajanya ke arah kepala Hun Bwee dan dari depan, tongkat Gu Coan Kok menyodok dada sedangkan cakar baja Hok Ku mencengkeram muka! Hun Bwee yang masih berkutetan mempertahankan pedang, cepat berjongkok sehingga pecut baja Cou Seng bertemu dengan cakar besi, adapun tongkat Gu Coan Kok yang menyodok telah ditangkis oelh tangan kirinya. Akan tetapi pada saat itu, tahu-tahu tubuh Cou Seng yang bulat besar telah menubruknya dari belakang dan telah memeluk dengan kedua lengannya yang besar berbulu sehingga Hun Bwee tidak mampu berkutik! Cou Seng ini selain merupakan seorang ahli bermain pecut baja, juga berjuluk Thai-lek Sin-mo (Iblis Sakti Bertenaga Besar), tenaganya hebat bukan main seperti tenaga seekor gajah, dan dia pun merasa ahli gulat maka pelukannya bukanlah sembarang pelukan. Kedua lengannya yang besar kuat itu menelikung Hun Bwee melalui bawah ketiak gadis itu dan terus membelit ke belakang leher di mana jari-jari tangannya yang kuat saling membelit. Pelukan maut! "Ahhhhh...!" Uuhhh...!" Gadis itu meronta-ronta namun percuma saja, sedikit pun ia tidak mampu melepaskan diri. Meleihat keadaan gadis yang sudah tidak berdaya ini, Pat-jiu Sian-ong mengerahkan tenaganya membetot hudtim, akan tetapi dia menjadi kaget dan kagum sekali karena gadis itu tetap mampu mempertahankan pedangnya. Dua orang jagoan Tembok Besar yang lain kini tertawa saja melihat bahwa lawan yang lihai itu telah kena ditelikung. Tiba-tiba Coa Seng mengeluarkan teriakan memaki secata tidak terduga-duga sama sekali Hun Bwee menundukkan muka dan menggigit lengan yang melingkari lehernya melalui bawah ketiak, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari lurus dan mengeras penuh tenaga sinkang ditusukkan ke belakang melalui pundak ke arah mata Cou Seng yang berada di belakangnya! Cou Seng yang merasa lengannya sakit karena kulit lengan robek dihujam gigi putih kecil yang kuat, menarik kepala ke belakang untuk menyealamatkan mata, akan tetapi kiranya jari-jari tangan kiri itu tidak jadi menusuk mata, melainkan menusuk jala darah di lehernya! Kaget sekali hati Thai-lek Sin-mo dan karena kaget, lingkaran lengannya mengendor dan dia miringkan tubuh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hun Bwee yang tiba-tiba menggerakkan kaki kanan, kembali seperti seekor kuda "menyepak" ke belakang, tungkak (tumit) kakinya mengancam anggota tubuh paling lemah dari setiap pria, yaitu dibawah pusar! "Celaka...!" Cou Seng cepat merenggangkan tubuh dan detik itulah yang dinanti Hun Bwee yang seperti seekor belut saja tiba-tiba menggeliat dan melempar tubuh ke bawah sehingga lingkaran lengan yang merupakan pelukan maut itu terlepas. Hun Bwee membalik dan menendang. Cou Seng mengelak, namun tetap saja tulang keringnya kena ditendang. *** "Wadouuuwwwww...!" Raksasa ini meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil memegang kaki kirinya. Berdenyut-denyut rasanya saking nyerinya. Kalau tulang kering kakinya itu patah sekali, tidaklah akan sedemikian nyerinya. Akan tetapi patah tidak, utuh pun tidak, mendekati retak-retak, bukan main nyerinya sampai terasa menembus jantung! Akan tetapi, pada saat itu, kebutan di tangan Pat-jiu Sian-ong sudah melepaskan belitan dan menyambar kepala Hun Bwee. Gadis ini sudah membuang tubuh ke belakang berjungkir balik, pedangnya diputar. "Cringgg...! Tranggggg...!" Tongkat Gu Coan Kok dan tangan yang berselubung cakar besi Hok Ku ditangkisnya dengan tepat. Karena kedudukan tubuhnya sedang berjungkir-balik sambil menangkis, maka datangnya hudtim dari Pat-jiu Sian-ong tak mampu lagi ia mengelaknya. Ujung kebutan meledak dan menotok punggungnya. Untung Hun Bwee masih dapat mengerahkan sinkang yang aneh, yang membuat jalan darah yang tertotok itu seolah-olah "mati" sehingga ketika totokan mengenai sasaran, ia hanya roboh terguling dengan bantingan cukup keras. Cakar besi Hok Ku menyambar dan biarpun ia sudah menggulingkan tubuh di atas tanah, tetap saja bahunya robek berikut kulit dan daging terkena cakaran, sedangkan tongkat Gu Coan Kok menghantam pundak kirinya sehingga tulang pundak kirinya patah! Hun Bwee menjerit lalu tertawa bergelak, tiba-tiba ia berlutut di depan Pat-jiu Sian-ong seperti orang minta ampun! Melihat ini, kakek yang merupakan seorang di antara datuk-datuk golongan sesat ini tertegun. Hanya beberapa detik tertegun namun cukuplah bagi Hun Bwee. Tangan kirinya yang pundaknya sudah patah itu masih dapat bergerak dan tanah berdebu menyembur ke atas. "Celaka...!" Pat-jiu Sian-ong yang tadi menuduk, cepat mengelak tanpa berani memejamkan mata karena memejamkan mata menghadapi lawan merupakan pantangan besar. Hal inilah yang membuat matanya kemasukan debu. Sambil berseru keras hudtimnya menyambar ke depan dan tubuhnya sendiri mencelat ke belakang, matanya untuk sementara tak dapat melihat. Namun Hun Bwee sudah mengelak, meloncat jauh dan lari sambil terkekeh-kekeh. Di antara para pengeroyoknya, yang hebat kepandaiannya adalah Pat-jiu Sian-ong, aka dla keadaan terluka seperti itu satu-satunya jalan baginya untuk dapat melarikan diri haruslah membuat kakek lihai itu tidak berdaya lebih dulu. Benar saja, karena Pat-jiu Sian-ong membersihkan kedua matanya yang kelilipan debu, hanya tiga orang jagoan Tembok Besar yang melakukan pengejaran. Akan tetapi Cou Seng mengejar sambil terpincang-pincang, dan mereka bertiga tidak mampu menandingi ginkang Hun Bwee yang sudah menghilang ditelan bayang-bayang pohon yang gelap. Episode 345 Selama terjadinya pertempuran itu, Sian Ti Sengjin hanya menonton saja, berulang-ulang dia menarik napas panjang dan ketika Hun Bwee melarikan diri, dia tidak ikut mengejar melainkan berlutut menghadapi ceceran daging-daging bekas tubuh sutenya. "Biar dia lari! Jangan khawatir, dia tidak akan mampu keluar dari benteng ini! "Pat-jiu Sian-ong berkata penuh kemarahan ketika kedua matanya sudah dapat dibuka lagi. Ia merasa malu dan penasaran mengapa dia sebagai seorang datuk kenamaan sampai dapat diakali oleh seorang bocah gila. Justeru karena gila, maka akal yang dilakukan Hun Bwee tadi sama sekali tidak pernah disangkanya sehingga dia kena ditipu. Dengan hati penasaran, Pat-jiu Sian-ong lalu mengeluarkan perintah untuk melakukan penjagaan ketat dan meronda agar gadis gila itu tidak sampai dapat lolos dari dalam benteng itu. Ketika Cui Im mendengar laporan tentang peristiwa terbunuhnya Lian Ci Sengjin dan larinya Hun Bwee, dia menerima dengan sikap dingin dan tidak peduli. Lian Ci Sengjin bukan merupakan seorang pembantu yang terlalu kuat, bahkan lenyapnya tokoh ini malah meringankan gangguan terhadap dirinya, hanya dia menyayangkan Hun Bwee yang ia tahu memiliki kepandaian aneh dan hebat, terutama sekali terjadinya peristiwa itu melenyapkan harapan mereka semua untuk dapat menarik tenaga Go-bi thai-houw sebagai sekutu. "Sian-ong, kalau dia sudah membunuh Lian Ci Sengjin, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kita karena mereka itu mempunyai urusan pribadi sendiri. Lebih baik biarkan dia lari dari sini, karena kalau sampai kita membunuhnya dan kelak hal ini didengar oleh gurunya kita malah akan menanam bibit permusuhan dengan lawan yang tidak lemah." Ucapan ini dapat diterima oleh semua orang dan Cui Im sengaja melirik ke arah Sian Ti Sengjin, akan tetapi bekas tokoh Kun-lun-pai ini kelihatan diam saja, agaknya belum lenyap rasa kaget dan dukanya atas kematian sutenya. Pak-san Kwi-ong juga menerima berita ini sambil tertawa-tawa saja, sama sekali tidak memperdulikannya. Karena sikap dua orang sekutu inilah maka Pat-jiu Sian-ong tidak turun tangan sendiri dalam mengejar Hun Bwee sehingga seolah-olah membiarkan gadis yang sudah terluka itu meloloskan diri, kalau masih memiliki kemampuan untuk menerobos garis penjagaan anak buahnya. Namun larinya Hun Bwee ini membuat Cui Im berhati-hati dan cepat ia mengatur rencana yang telah ia persiapkan untuk menghadapi empat orang tawanannya yang ia tahu merupakan orang-orang yang amat berbahaya karena mereka berempat itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Keng Hong. Hun bwee yang berhasil lolos dari kepungan, lari di dalam gelap sambil menangis dan kadang-kadang tertawa. Kalau ia teringat betapa ia telah menemukan orang yang telah memperkosanya, kemudian melampiaskan dendamnya, ia sendiri tidak tahu harus menangis atau tertawa. Kelegaan hati telah dapat membunuh orang yang telah merusak hidupnya membuat ia ingin tertawa bergelak sampai mati, akan tetapi kalau teringat lagi bahwa yang memperkosanya bukanlah Keng Hong seperti yang selama ini di duganya, bahkan diharapkannya karena dia mencinta pemuda itu, membuat ia ingin menangisi nasibnya yang amat buruk. Kini dia tidak kumat lagi. Otaknya benar-benar waras dan kini ia menggunakan segala kecerdikanya untuk dapat lolos dari tempat berbahaya ini. Dia harus bebas! Untuk dirinya sendiri? Tidak! Dia harus lolos karena kalau tidak, tentu empat orang muda yang tertawan itu akan celaka nasibnya. Terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng! Dia harus lolos dan mencari daya upaya untuk menolong mereka dari cengkeraman Bhe Cui Im yang amat lihai. Tiba-tiba Hun Bwee menyelinap di dalam gerombolan pohon yang gelap ketika mendengar suara para penjaga yang siap melakukan penjagaan ketat sesuai dengan perintah Pat-jiu Sian-ong. Dari balik pohon ia dapat melihat kegiatan mereka. Setiap pintu benteng dijaga ketat, bahkan di sepanjang tembok benteng itu dijaga dengan penjaga-penjaga dala jarak kurang sepuluh meter. Dia telah dikurung rapat! Dan lapat-lapat ia mendengar suara anjing-anjing mengonggong. Bulan hanya para penjaga anak buah Pat-jiu Sian-ong, juga anjing-anjing ikut menggurungnya. Hun Bwee menggigit bibir menahan rasa nyeri di pundaknya. Gadis ini berindap-indap mencari bagian tembok benteng yang paling gelap. Dengan hati-hati ia merayap melalui semak-semak sampai berada tidak jauh lagi dari tembok benteng itu. Pandang matanya berusaha menembus keadaan remang-remang di bawah sinar bulan untuk meninjau keadaan Tembok itu terlalu tinggi bagi tubuhnya yang sudah terluka. Akan gagallah kalau dia berusaha meloncati tembok setelah merobohkan beberapa orang penjaga yang tentu saja dipandangnya rendah. Pundak kirinya yang patah tulangnya itu akan menjadi penghalang besar. Jalan satu-satunya hanyalah menerjang pintu gerbang yang terjaga oleh kurang lebih dua losin orang itu. Tidak ada jalan lain. Biar pundaknya telah terluka, dengan pedangnya ia masih sanggup untuk membuka jalan darah melalui pintu gerbang itu, pikirnya. Akan tetapi sebelum ia bergerak, tiba-tiba ia mendengar suara anjing menggereng tak jauh dari tempat ia bersembunyi dari arah belakangnya. Hun Bwee terkejut dan cepat menengok, akan tetapi pada saat itu, seekor anjing berbulan hitam sebesar anak kerbau telah meloncat menerkamnya dengan gerengan dahsyat. Hun Bwee sedang bertiarap, menelengkup dan pedangnya masih tergantung di punggung. Melihat binatang buas ini menerkamnya. Hun Bwee cepat menggulingkan tubuhnya ke kiri sampai lima kali. Dia harus dapat membunuh binatang ini sebelu para penajga mendengar dan datang mengeroyok sehingga pintu gerbang akan terjaga lebih ketat sebelum ia dapat mendejangnya. Tubrukan anjing itu luput dan sebelum binatang itu dapat melakukan penyerangan susulan, tangan kanan Hun Bwee sudah melayang dengan hantaman kuat. Akan tetapi, anjing itu agaknya lebih awas di tempat gelap. Pukulan itu dapat ia elakkan sehingga bukan kepala anjing yang terpukul, melainkan lehernya yang amat kuat. "Bukkk!" Anjing itu terlempar ke samping, akan tetapi dia mengeluarkan pekik yang menandakan dia takut, melainkan meloncat bangun dan menubruk lagi, moncongnya yang bergigi besar-besar dan runcing itu menyerbu ke arah tenggorokan Hun Bwee. Gadis ini melihat berkilaunya gigi tertimpa sinar bulan yang menembus dari celah-celah daun pohon, cepat membuang diri ke samping dan kakinya melayang, menendang perut anjing itu kembali terdengar suara berdebuk keras dan tubuh anjing itu terlempar ke belakang. *** Ternyata anjing itu tubuhnya kuat sekali karena kini ia sudah menubruk lagi. Hun Bwee sudah siap dengan pedangnya sekali Hek-sin-kiam menyambar leher binatang itu terbacok hampir putus! Pada saat itu terdengar gerengan keras dan tiga ekor anjing sekaligus menubruk ke arah Hun Bwee! Gadis ini menjadi marah. "Bedebah!" Ia memaki dan pedangnya berkelebatan. Sepandai-pandainya anjing, binatang ini kurang akal dan melihat sinar hitam, agaknya binatang-binatang ini tidak mengerti bahaya dan terus menubruk. Seekor anjing berbulu coklat roboh tak berkutik dengan leher putus, anjing ke dua mengeluarkan suara menguik keras, akan tetapi karena gerakan tiga ekor anjing yang nekat ini membuat Hun Bwee agak gugup sehingga ketika pedangnya menusuk ke dada anjing ke dua, pedang itu menyelip dan terjepit di antara tulang iga. Belum sempat ia menarik pedangnya, anjing ke tiga telah menubruknya sedeikian keras sehingga ia roboh terguling tertindih badan anjing yang berat. Dengan ganas dan mengeluarkan suara menggeram mengerikan anjing itu membuka lebar mocongnya dan menggigit ke arah leher. Hun Bwee cepat menggunakan tangan menampar moncong itu, akan tetapi karena ia terbanting dengan pundak kiri di bawah, tadinya terlupa akan luka di pundaknya, ia merasakan nyeri hebat yang membuat tenaganya berkurang. Moncong anjing itu menyeleweng dan masih berhasil menggigit punggungnya!

Tidak ada komentar:

naruto

naruto
naruto

Daftar Blog Saya

naruto

naruto
Powered By Blogger